Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana

SUDUT HUKUM | Hukum pidana subjektif atau disebut ius poeniendi sebagai aspek subjektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara:
  • untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum;
  • untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya dengan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut; serta
  • untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.

Sebagai organisasi yang terbesar, tertinggi, dan terkuat, hanya negara yang berhak dan berwenang untuk menentukan hukum pidana dan menjalankannya. Artinya, negaralah sebagai satu-satunya subjek hukum yang boleh membentuk aturan-aturan yang mengikat semua warga, serta mampu menjalankannya dengan sebaik-baiknya agar aturan-aturan itu ditegakkan dan dilaksanakan dalam rangka terjaminnya ketertiban umum.

Jadi dari segi subjektif, negara memiliki dan memegang tiga kekuasaan / hak fundamental, yakni:
  1. hak untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan menentukan bentuk serta berat ringannya ancaman pidana (sanksi pidana) bagi pelanggarnya;
  2. hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan menjatuhkan pidana pada si pelanggar aturan hukum pidana yang telah dibentuk tadi; dan
  3. hak untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan pada pembuatnya/petindaknya tersebut.

Hak negara yang begitu luas perlulah diatur dan dibatasi. Jika tidak, dapat terjadi kesewenangwenangan yang bukan saja dapat menimbulkan ketidakadilan, namun juga ketidaktenteraman dan ketidaktenangan warga di antara negara. Untuk itu, hak dan kewenangan yang luas itu perlu diatur. Pengaturan berarti pembatasan hak, dan aruran yang membatasi hak negara ini terdapat dalam hukum pidana objektif, yang berupa hukurn pidana materiil dan hukum pidana formil. karena kewenangan negara dalam menjalankan hak subjektifnya itu diatur dalam arti dibatasi, tiga hak subjektif negara di aras tadi tidak dapat keluar dan melampaui koridor-koridor yang ditetapkan dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formil ( Adami Chazawi, 2002: 9).

Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana sampai sekarang masih jadi masalah,
sehingga timbul sikap pro dan kontra. Pihak yang setuju mengemukakan alasan-alasan (H.
Setiyono, 2002 : 12). sebagai berikut:
  • menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah;
  • bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan sebagainya);
  • bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan pada korporasi;
  • bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah;
  • bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana.

Penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana menyatakan:
  1. ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya perlu dimungkinkannya memidana korporasi, korporasi dan pengurus atau pengurus saja;
  2. mengingat dalam kehidupan sosial-ekonomi korporasi semakin memainkan peranan yang penting pula;
  3. hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat, yaitu melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan, ketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya ditentukan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi;
  4. dipidananya korporasi merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.
Terlepas dari setuju tidak setujunya terhadap pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek
hukum pidana, Oemar Seno Adji berpendapat, “…kemungkinan adanya pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan, didasarkan tidak saja atas pertimbangan-pertimbangan utilitas, melainkan pula atas dasar-dasar teoritis dapat dibenarkan” (Hamzah Hatrik, 1996 : 31).

Pengertian korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak hanya sebatas pengakuan yuridis. Pengertian subjek tindak pidana dibedakan antara yang melakukan tindak pidana (pembuat), dan yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana tergantung pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban pidana yang akan digunakan.

Perkembangan hukum pidana Indonesia, ada 3 sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu (1) pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab, (2) korporasi sebagai 26 pembuat, maka pengurus yang bertanggungjawab, (3) korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab (Hamzah Hatrik, 1996 : 30).