Klasifikasi Tindak pidana

SUDUT HUKUM | Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHP, tindak pidana terdiri dari kejahatan dan pelanggaran, tetapi dalam KUHP tidak diberikan syarat-syarat ketentuan untuk membedakan keduanya. Dalam KUHP dinyatakan bahwa semua ketentuan yang dimuat dalam Buku II adalah merupakan delik-delik kejahatan, sedangkan yang terdapat dalam Buku III adalah merupakan delik pelanggaran. Kata kata ”kejahatan” dan ”pelanggaran” merupakan istilah dari terjemahan misdrijf dan overtreding. Misdrijf atau kejahatan berarti suatu perbuatan tercela dan berhubungan dengan hukum, atau perbuatan melanggar hukum.

Overtreding atau pelanggaran berarti suatu perbuatan yang melanggar sesuatu dan berhubungan dengan hukum atau perbuatan melanggar hukum. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama, serta menjadi sinonim bagi istilah yang lainnya atau keduanya bermakna tunggal, sehingga keduanya tidak dapat dilihat perbedaan antara kedua golongan tindak pidana ini.

Klasifikasi Tindak pidana


Menurut Sudarto ada beberapa perbedaan kejahatan dan pelanggaran, yaitu :
  1. Rechtdelichten adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang undang atau tidak, jadi yang benar benar dirasakan oleh masyarakat sebagian bertentangan dengan keadilan. Delik delik semacam ini dinamakan kejahatan.
  2. Wetsdelichten adalah perbuatan yang oleh umum baru diasadari sebagai suatu tindak pidana, karena undang undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena adanya undang undang mengancamnya dengan pidana. Delik delik semacam ini disebut pelanggaran.

Umumnya kejahatan diancam dengan pidana yang lebih berat dari pelanggaran, karena menurut sifatnya tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar hukum dan perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat. Tetapi tidak semua perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat dapat disebut dengan tindak pidana.

Kejahatan merupakan masalah yang ada dalam kehidupan bermasyarakat yang dapat mengganggu ketertiban, keamanan, kenyamanan dan ketentraman. Untuk dapat ditentukannya suatu perbuatan sebagai suatu yang melanggar hukum adalah tugas dari aparat penegak hukum, karena penentuan perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum, haruslah disesuaikan dengan dasar-dasar hukum yang ada. Jadi syarat utama adanya perbuatan tindak pidana adalah adanya peraturan atau ketentuan yang melarang dan mengancam dengan sanksi pidana kepada siapapun yang melanggar larangan tersebut.
Selain pembagian tindak pidana menurut KUHP, para ahli hukum juga membedakan tindak pidana atas :
  • Tindak pidana materil dan formal

Tindak pidana ini digolongkan atas cara perumusan ketentuan hukum pidana oleh pembentuk undang undang. Apabila tindak pidana yang dimaksudkan dalam suatu ketentuan hukum pidana (Strafbepaling) di sini dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan terjadinya suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu, maka tindak pidana ini dikalangan ilmu pengetahuan hukum dinamakan ”tindak pidana materil” (materieel delict). Dan apabila tindak pidana yang dimaksud, dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu, maka disebut tindak pidana formal (formeel delict). (Wirjono Prodjodikoro, 1980 : 34).
  • Tindak pidana berupa tak berbuat (Nalaten)

Wujud perundang-undangan dalam hukum pidana, adakalanya seseorang akan dihukum pidana apabila tidak melakukan perbuatan tertentu, seperti misalanya Pasal 224 KUHP yang mengancam hukuman pidana seorang yang telah dipanggil dengan sah sebagai saksi dalam suatu perkara dimuka hakim, yang bersangkutan tidak datang menghadap tanpa sebab yang sah (Wirjono Prodjodikoro, 1980 : 35).
  • Tindak pidana yang tak ada hentinya (Voordurend delict)

Biasanya suatu tindak pidana ada saat permulaannya dan ada saat terhentinya oleh karena perbuatan yang dilarang sudah selesai. Seperti misalnya suatu pencurian mulai dengan mengulurkan tangan untuk mengambil barang, dan selesai setelah barangnya pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya dalam kekuasaan pencuri. Namun ada beberapa tindak pidana yang tidak demikian halnya. Misalnya Pasal 529 KUHP menentukan :

Siapa yang tidak memenuhi kewajiban berdasar undang-undang untuk melakukan pemberitahuan kepada Pegawai Catatan Sipil guna dimasukkan daftar kelahiran atau kematian, akan di denda sebesarbesarnya seratus rupiah”.


Disamping itu ada peraturan, yang mewajibkan dilakukannya pemberitahuan itu dalam tempo sepuluh hari setelah peristiwa yang bersangkutan terjadi. Apabila tempo sepuluh hari itu sudah lampau tanpa ada pemberitahuan, maka pada saat itu orang yang wajib memberitahukan itu, mulai melakukan tindak pidana yang dimaksudkan dalam Pasal 529 KUHP. Kini tidak dapat ditentukan, kapan tindak pidana ini berhenti. Selama setelah tempo sepuluh hari lampau tidak dilakukan pemberitahuan, maka ia terus menerus melakukan tindak pidana, jadi tak ada hentinya.

  • Tindak pidana karena lalai (Omissie delict)

Terdapat dua istilah yakni : omissie delict dan comissie delict. Omissie berarti melalaikan kewajiban untuk melakukan sesuatu. Jadi yang dimaksud dengan omissie delict seperti yang dimaksud dengan pembahasan voordurend, yaitu “tidak melakukan pemberitahuan” hal kelahiran atau kematian dalam tempo sepuluh hari kepada Pegawai Catatan Sipil. Sebaliknya comissie delict adalah tindak pidana yang melakukan suatu perbuatan positif, jadi hampir meliputi semua tindak pidana.
  • Tindak pidana istimewa (Gequalificeerd delict)

Istilah ini dipergunakan untuk suatu tindak pidana tertentu yang bersifat istimewa, seperti misalnya suatu pencurian dari pasal 362 KUHP menjadi pencurian yang Gequalificeerd apabila dilakukan merusak pintu, dan oleh karenanya masuk pasal 363 ayat 1 nomor 5 KUHP.