Eksistensi Fatwa Dalam Kajian Konfigurasi Politik Hukum

SUDUT HUKUM | Fatwa dilihat dari kacamata objektivitas, dapat menjadi dua hal yang saling bertolak belakang.Di satu sisi, secara substansi sosiologis, fatwa mengikat bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Namun ditinjau dari sisi formal legal, fatwa tidak memiliki kekuatan mengikat.Hal ini menjadikan fatwa memiliki dua sisi yang berbeda.Namun, eksistensi fatwa kembali diperdebatkan ketika mufti sebagai orang yang mengeluarkan fatwa dilembagakan oleh negara.

1. Eksistensi Fatwa Dalam Perspektif Otoritas Hukum Islam

Ketika mengkaji eksistensi fatwa dalam perspektif otoritas hukum Islam, maka yang didapatkan adalah fatwa sebagai “penjelas” dan “penjabaran” dari nash-nash di dalam hukum Islam. Oleh sebab itu, fatwa mengikat bagi umat Islam yang telah diwajibkan tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum Islam. Bagi seseorang yang mengaku beragama Islam, berdasarkan teori penerimaan otoritas hukum Islam, wajib baginya untuk tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum Islam.

 Eksistensi Fatwa Dalam Kajian Konfigurasi Politik Hukum



Hanya saja, ketentuan hukum Islam yang bersumber langsung kepada Al Qur’an dan Hadis seringkali tidak dapat dipahami secara langsung oleh sebagian umat Islam.Seperti adanya ayat-ayat 82 yang mutasyabihat, maupun adanya ayat-ayat yang bersifat umum dan memerlukan penjelasan dari para ahli hukum Islam. Fatwa sebagai drop down dari nash yang lebih tinggi merupakan “sumber” alternatif bagi umat Islam dalam mengambil tindakan yang berakibat hukum. Oleh sebab itu, ditinjau dari aspek substantif sosiologis, fatwa bersifat mengikat kepada umat Islam.

2. Eksistensi Fatwa Dalam Perspektif Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Apabila ditinjau dari penjenjangan norma hukum di Indonesia, yang ditegaskan oleh Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, fatwa tidak memiliki kedudukan apapun di dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Secara formal legal, fatwa sama dengan doktrin para pakar hukum (legal opinion) yang sifatnya hanya menilai dan memberikan rekomendasi hukum.Hanya saja, dengan dilembagakannya mufti di Indonesia melalui Majelis Ulama Indonesia yang berwenang mengeluarkan fatwa tentang hukum Islam, telah terjadi transformasi fatwa tidak hanya bagi subjek produk fatwa itu sendiri, namun juga bagi kedudukannya.

Lahirnya Dewan Syariah Nasional yang kedudukannya diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjadi landasan formal bagi kekuatan mengikat fatwa DSN-MUI bagi pelaku aktifitas ekonomi syariah, khususnya Perbankan Syariah. Fatwa DSN-MUI dijadikan sebagai “legitimasi” bahwa produk Perbankan Syariah telah sesuai dengan tuntunan syariat Islam, sebagaimana nilai dan moralitas yang diinginkan oleh aktifitas ekonomi syariah.


Penulis menyimpulkan, fatwa menjadi relatif ketika dilihat dari kacamata tata hukum nasional, tetapi menjadi mutlak dan mengikat ketika dilihat dari tata hukum Islam perspektif Majelis Ulama Indonesia (self regulation).Adanya kepentingan terhadap lahirnya fatwa DSN-MUI untuk melegitimasi lahirnya produk lembaga keuangan syariah menjadikan eksisnya fatwa DSN-MUI dilihat dari kacamata konfigurasi politik hukum.Dalam hal ini, fatwa yang lahir dari kelembagaan DSN-MUI, merupakan syarat mutlak dapat dikeluarkannya produk lembaga keuangan syariah.