Akibat Hukum Nusyuz

SUDUT HUKUM | Nusyuz itu haram hukumnya karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui al-Quran dan hadis nabi. Dalam hubungannya kepada Allah pelakunya mendapat dosa dari Allah dan dalam hubungannya dengan suami dan rumah tangga merupakan suatu pelanggaran terhadap kehidupan suami istri.

Atas perbuatan itu si pelaku mendapat ancaman di antaranya gugur haknya sebagai istri dalam masa nusyuz itu. Meskipun demikian, nusyus itu tidak dengan sendirinya memutus ikatan perkawinan. Menurut Imam madzab, istri yang nusyus tidak taat kepada suami hukumnya adalah haram dan dapat menggugurkan hak nafkah.

Nafkah itu diwajibkan sebagai penunjang kehidupan suami istri. Bila kehidupan suami istri berada dalam keadaan biasa, dimana suami atau istri sama-sama melaksanakan kewajiban yang ditetapkan agama tidak ada masalah. Dalam hal istri tidak menjalankan kewajibannya yang disebut dengan nusyus, menurut jumhur ulama suami tidak wajib memberi nafaqah dalam masa nusyusnya itu.

Alasan bagi jumhur itu adalah bahwa nafaqah yang diterima istri itu merupakan imbalan dari ketaatan yang diberikannya kepada suami. Istri yang nusyus hilang ketaatannya dalam masa itu, oleh karena itu ia tidak berhak atas nafaqah selama masa nusyus itu dan kewajiban itu kembali dilakukan setelah nusyus itu berhenti.

Ulama Dhahiriyyah berpendapat bahwa istri yang nusyus tidak gugur haknya dalam menerima nafaqah. Alasannya ialah nafaqah itu diwajibkan atas dasar akad nikah tidak pada dasar ketaatan. Bila suatu waktu ia tidak taat kepada suaminya atau nusyus ia hanya dapat diberi pengajaran, atau pisah tempat tidur atau pukulan yang tidak menyakiti. Jumhur Ulama berpendapat bahwa istri yang tidak mendapat nafaqah dari suaminya, berhak tidak memberikan pelayanan dari suaminya, bahkan boleh memilih untuk pembatalan perkawinan.

Nusyus menghilangkan nafkah dan seluruh hak- hak istri. Jika istri telah kembali lagi maka hak haknya juga kembali. Akibat kedurhakaan itu maka hilanglah hak istri menerima belanja, pakaian, dan pembagian waktu. Berarti dengan adanya durhaka istri, ketiga perkara tersebut menjadi tidak wajib atas suami, dan istri tidak berhak menuntut.

Rujukan:

  • Ali Yusuf Subki, Fiqih Keluarga, Jakarta: Sinar Grafik, 2010,
  • Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994,
  • Muhamad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Yogyakarta: Kalimedia, 2015,
  • Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana,
  • Muhamad bin Abdurrahman ad Dimasyqi, Fiqih Empat Madzab, Bandung: Hasyimi, 2001,