Sistem Nilai Proses Peradilan Pidana

SUDUT HUKUM | Sistem nilai dalam proses peradilan pidana ini bukan merupakan bentuk kongkrit dalam arti sesuatu yang dapat dilihat secara nyata, tetapi merupakan suatu pilhan nilai-nilai yang muncul dalam praktek peradilan pidana di berbagai Negara. Jadi merupakan suatu value sistem dalam hal lmana dalam praktik nilai-nilai ini saling berinteraksi dan mempengaruhi praktik sistem peradilan di negara yang bersangkutan dalam pelaksanaanya.
Perlu dikemukakan, bahwa yang dimaksud dengan sistem nilai dalam peradilan pidana, adalah merupakan suatu cara pandang atau merupakan sistem nilai yang dibangun atas dasar pengamatan terhadap praktik peradilan pidana dalam beberapa negara. Jadi sistem nilai demikian ini bukanlah merupakan suatu hal yang nampak secara nyata dalam suatu sistem yang dianut secara eksplisit (dalam undang-undangnya). Untuk memahami sistem nilai penyelenggaraan peradilan pidana menurut KUHAP berdasarkan cara pandang sebagaimana tersebut diatas, perlu dilakukan analisa normatif dengan melakukan interpretasi norma kaitannya dengan situasi atau kondisi yang berlaku dalam masyarakat.
Hal demikian ini berarti harus dipelajari aspek sejarah hukum atau sejarah undang-undang dari terbentuknya norma tersebut. Berkaitan dengan KUHAP, sebagaimana dinyatakan baik dalam konsideran maupun dalam penjelasan atas undang-undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 1981 tentang hukum Acara Pidana (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) dinyatakan; Bahwa undangundang ini menggantikan HIR jo undang-undang Darurat Tahun 1981. KUHAP dianggap sebagai karya agung (master piece) dalam arti, jika dilihat dari sudut cepatnya undang-undang tersebut dihasilkan lembaga legislatif (kurang lebih dari
12 tahun), dilihat dari sudut substansi KUHAP yang memuat dan melindungi HAM yang tidak ada dalam HIR.
Penyelenggaraan tidak bisa dilepaskan dari sudut pelaksananya yaitu penegak hukum. Di Belanda penegak hukum (starke arm van de wet/law enforcement officials), terdiri dari polisis dan jaksa penuntut umum (officier van justitie) tidak termasuk hakim (rechter). Demikian pula di Inggris penegak hukum terdiri dari polisi dan jaksa (policy and prosecutor-district attorney), hakim (judge/justice) hanyalah sebagai penilai atau wasit atau penegak keadilan bukan penegak hukum.

Di Indonesia penegak hukum adalah disamping polisi dan jaksa penuntut umum termasuk juga hakim, petugas lembaga pemasyarakatan, serta penasehat hukum. Sedangkan Hagan sebagaimana dikutip oleh Ramli Atmasasmita, memberikan pengertian proses peradilan pidana (criminal justice process) sebagai setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan sesorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya, sedangkan sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Sementara itu, Mardjono Reksodiputro menulis bahwa proses peradilan pidana merupakan suatu rangkaian kesatuan (continuum) yang menggambarkan peristiwa yang maju secara teratur, mulai dari penyelidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, diperiksa pengadilan, diputus oleh hakim, dipidana dan akhirnya kembali ke masyarakat.
Setiap sistem peradilan pidana mungkin sama atau berbeda dalam hal mengatur tahap-tahapan atau proses peradilan pidana. Namun demikian, secara garis besar tahapan tersebut setidaknya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
  • Tahapan sebelum sidang pengadilan (pre-adjudication atau pre-trial processes);
  • Tahapan pemeriksaan di sidang pengadilan (adjudication atau trial processes);
  • Tahapan sesudah sidang pengadilan selesai (post-adjudication atau post-trial processes).

Sedangkan tahapan proses peradilan pidana menurut KUHAP dapat dijelaskan seperti pembagian tersebut diatas, yaitu:
  1. Tahap Pemeriksaan Pendahuluan Terdiri Atas Tahap Penyelidikan, Tahap Penyidikan Dan Tahap Penuntutan;
  2. Tahap Pemeriksaan Perkara Di Pengadilan;
  3. Tahap Sesudah Persidangan Adalah Tahap Pelaksanaan Putusan Hakim.

Tahapan proses peradilan pidana ini berlaku untuk seluruh tindak pidana, termasuk tindak pidana terorisme. Dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 disebutkan bahwa, “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali jika Peraturan Pengganti Undang-Undang ini mencantumkan lain”. Dengan demikian, ketentuan beracara di dalam KUHAP juga berlaku terhadap proses peradilan perkara tindak pidana terorisme, kecuali Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menentukan lain.