Pengelolaan Zakat Pada Masa Rasul

SUDUT HUKUM | Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para sejarawan Islam tentang waktu pensyariatan zakat. Ada yang menyatakan pada tahun kedua hijrah yang berarti satu tahun sebelum pensyariatan puasa, tetapi ada juga yang berpendirian zakat disyari’atkan pada tahun ketiga hijriah yakni satu tahun setelah pensyari’atan shiyam yang diwajibkan satu tahun sebelumnya (kedua hijriah). Lepas dari perbedaan pendapat itu, yang jelas Nabi Muhammad SAW menerima perintah zakat setelah beliau hijrah ke Madinah.


Pada waktu Nabi Muhammad SAW masih di Makkah hingga tahun pertama setelah hijrah, kewajiban yang menyangkut harta kekayaan kaum muslimin adalah shadaqah yang belum ditentukan batas-batasnya seperti dalam kewajiban zakat. Shadaqah yang diperuntukkan bagi fakir-miskin, anak-anak yatim dan orang-orang yang memerlukan bantuan atas dasar kerelaan hati pemberi shadaqah. Zakat di Makkah adalah zakat yang tidak ditentukan batas dan besarnya, tetapi diserahkan saja pada rasa iman, kemurahan hati, dan perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain sesama orang-orang yang beriman.

Pengelolaan Zakat Pada Masa Rasul


Setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, zakat baru disyari’atkan secara terperinci. Diatur macam-macam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, berupa kadar zakat yang wajib dibayarkan dan bagaimana zakat harus dibagikan. Setelah zakat disyari’atkan secara terperinci pada tahun II Hijriah, untuk beberapa waktu lamanya pelaksanaannya masih diserahkan kepada kesadaran para wajib zakat itu sendiri tanpa ada petugas negara yang melakukan pemungutan.


Peraturan mengenai zakat pengeluaran zakat diatas muncul pada tahun ke-IX Hijriah ketika dasar Islam telah kokoh, wilayah negara berekspansi dengan cepat dan orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Peraturan yang disusun meliputi sistem pengumpulan zakat, barang-barang yang dikenai zakat, batas-batas zakat, dan tingkat presentase zakat untuk barang yang berbeda-beda. Para pengumpul zakat bukanlah pegawainya tidak diberikan gaji resmi, tetapi mereka mendapatkan bayaran dari dana zakat.


Agar zakat itu benar-benar sampai kepada yang berhak (mustahiq), maka Al- Qur’an dan Al-Hadist mengaturnya demikian rupa melalui pembentukan para petugas khusus yang oleh Al-Qur’an disebut dengan istilah ’’al-amilina ’alayha’’.


Berkenaan dengan sejarah keamilan di awal-awal Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Khulafa’Al-Rasyidin, terutama zaman Abu Bakar Al-Siddiq, dapat ditelusuri dari sejumlah Hadits di bawah ini:

Dari Ibnu Abbas,Ra, dia berkata : ketika Nabi SAW, hendak mengutus Mu’adz ke Yaman beliau bersabda:”Sesungguhnya engkau (Mu’adz),akan mengunjungi suatu kaum dari Ahli Kitab(di Yaman). Begitu kamu tiba menjumpai mereka, hendaklah kamu suruh mereka untuk bersyahadat (bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan (Yang wajib disembah) selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Kemudian jika mereka mentaati seruanmu itu, beritahukan kepada mereka bahwa Allah memfardhukan kamu supaya melakukan shalat lima kali dalam seharisemalam, katanya.Jika mereka juga mentaati seruanmu itu, maka hendaklah kamu kabari bahwa Allah SWT juga mewajibkan zakat kepada mereka untuk kemudian diserahkan (dibagikan) kepada orang-orang fakir yang ada di tengah-tengah mereka….” (HR.Al-Bukhari,Muslim dan An-Nasa’i)


Dari Mu’adz bin Jabal, ra.Bahwasanya ketika Nabi Muhammad SAW mengutusnya ke Yaman, Nabi memerintahkannya supaya mengambil(zakat) dari tiap-tiap tiga puluh ekor sapi, satu tabi’ atau tabi’ah ( sapi yang berumur satu tahun,jantan atau betina) dan tiap-tiap empat puluh ekor, satu musinnah (sapi yang berumur dua tahun berjenis kelamin betina) dan tiap-tiap orang yang baliqh (hendaklah ditarik) satu dinar atau sebanding dengan itu (dari) kaum ma’fri (nama salah satu kabilah di Yaman). (HR.Al-Khamsah)

Dari Abdillah bin Awfa, dia berkata:”adalah Rasulullah SAW itu manakala beliau didatangi suatu kaum untuk menyerahkan sedekah(zakatnya), Nabi berdo’a:”Ya Allah, berikanlah rahmat atas mereka”.(HR.Muttafiq’alaih)

Dari Anas ra, bahwasanya Abubakar Al-siddiq ra,pernah menulis (surat) kepadanya(sewaktu Anas di utus ke Bahrain).Isinya:” ini adalah kewajiban zakat yang difardhukan oleh Rasulullah SAW atas kaum muslimin, dan yang telah diperintahkan Allah kepada Rasulnya (yaitu) pada tiap-tiap dua puluh empat ekor unta dan yang kurang dari padanya ada zakat seekor kambing, pada setiap lima ekor unta-zakatnya-seekor kambing, kemudian jika untanya mencapai 25 sampai 35 ekor, zakatnya satu ekor unta bintu makhadh(anak sapi betina yang usianya memasuki tahun kedua), jika tidak ada, boleh di ganti dengan ibnu labun(anak unta jantan yang umurnya memasuki tahun ketiga). Apabila telah mencapai 36 sampai 40 ekor sapi, maka zakatnya adalah satu hiqqah(unta betina yang umurnya memasuki tahun keempat) yang bisa dinaiki oleh unta jantan……….(HR.Al-Bukhari)

Dari sejumlah hadits di atas, dapat diambil beberapa pemahaman berharga tentang berbagai persoalan yang berkenaan dengan pengurusan zakat. Beberapa pemahaman yang dimaksud adalah:

  • Bahwa untuk menangani persoalan zakat, di samping Nabi sendiri menempatkan dirinya sebagai amil, beliau juga pernah mengangkat orang lain sebagai amil. Di antara orang yang pernah diangkat oleh Nabi Muhammad SAW menjadi amil ialah Mu’adz bin Jabal, salah seorang ahli hukum Islam(fiqih) terkemuka yang oleh Nabi Muhammad SAW sebagai salah seorang amilin, sementara hadits dari Ibn Abbas secara tersurat maupun tersirat membuktikan penunjukan dan pengangkatan Mu’adz bin Jabal sebagai amilin zakat. Demikian pula dengan pengangkatan Anas bin Malik ra sebagai amil di Bahrain oleh Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq ra.
  • Pengangkatan amilin tidak hanya dilakukan untuk kepentingan pemerintahan pusat akan tetapi juga diangkat amilin untuk tingkat daerah. Hadits dari Abdullah bin Awfa menggambarkan keberadaan Nabi Muhammad SAW sebagai amilin pusat yang berdiam di Madinah (ibu kota negara Islam kala itu), sementara Mu’adz bin Jabal diangkat sebagai amilin di daerah Yaman. Demikian pula dengan Khalifah Abu Bakar sebagai amil di Madinah (meskipun kemudian akhirnya pernah juga menyerahkan urusan zakat kepada Umar bin al-Khattab ra) dan pengangkatan Anas bin Malik sebagai amil di Bahrain.
  • Dalam hal pengangkatan amilin, tampak Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar memilih orang-orang yang bukan saja memiliki sifat-sifat kejujuran dan keadilan (amanah dan adil), melainkan juga memperhatikan pejabat amilin benar-benar paham tentang persoalan zakat pada khususnya dan perkara-perkara hukum Islam pada umumnya. Pengangkatan Mu’adz bin Jabal sebagai amil mengisyaratkan hal itu. Demikian pula dengan pelantikan Anas bin Malik sebagai amil pada masa


Khalifah Abu Bakar ra. Baik Mu’adz bin Jabal maupun Anas bin Malik keduanya adalah sahabat handal yang memiliki kecerdasan secara akademik dan mengedepankan nilai dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, oleh Nabi dijuluki sebagai salah seorang sahabat Nabi yang cukup senior, oleh Nabi dijuluki juga sebagai salah seorang yang sangat piawi dalam bidang hukum halal dan haram. Rasulullah bersabda :

Orang yang paling alim pengetahuannya tentang halal dan haram diantara umatku ialah Mu’adz bin Jabal.”

Rasulullah tidak segan-segan mengganti amilin yang nakal atau tidak jujur. Di antara contohnya, suatu ketika Nabi mengutus Al-Walid bin Uqbah supaya mengambil zakat sebuah kampung pemukiman Al-Harist dan kawan-kawan yang belum lama masuk Islam, tetapi menyatakan kesiapan pengikutnya untuk mengeluarkan zakat. Ketika Al-Walid berangkat, diperjalanan hatinya merasa gentar dan diapun pulang sebelum sampai ditempat yang dituju seraya dia menyampaikan laporan palsu kepada Rasulullah bahwa Al-Haris dan kawan-kawan tidak membayar zakat. Tidak lama berselang, Rasul mengganti Al-Walid dengan sahabat lain dan memberinya tugas yang sama yaitu memungut zakat, sementara pada saat yang bersamaan, Al-Harist dan kawan-kawan meninggalkan kampungnya untuk menghadap Rasulullah SAW dalam upaya melaporkan hasil penarikan zakat yang telah dia lakukan. Akhirnya diketahui bahwa Al-Walid ternyata dusta, dan kemudian Nabipun menggantikan dengan sahabat lain yang benar-benar amanah (jujur) dalam melaksanakan tugasnya sebagai amil.

  • Penarikan zakat pada dasarnya harus bersifat proaktif. Perintah penarikan/pengambilan zakat pada ayat 103 surat At-Taubah dan instruksi Nabi kepada Mu’adz supaya mengambil zakat penduduk Yaman menunjukkan asas proaktif tersebut. Demikian pula dengan hadits lain semisal hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib yang menyatakan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW memerintahkan penarikan zakat umat Islam di tempat-tempat mereka memberi minum ternaknya. Asas proaktif ini tidak berarti menghalangi partisipasi aktif para muzakki yang berkemauan untuk mengantarkan /menyerahkan zakatnya kepada amilin. Sebab, Nabi Muhammad SAW sendiri sering menerima zakat di tempat beliau.
  • Alokasi pembagian hasil dana zakat tampak lebih mengutamakan pula mustahiq yang ada di daerah para muzakki itu sendiri. Perintah Nabi Muhammad SAW kepada Mu’adz bin Jabal dan membagikannya kepada para fuqara’ yang ada di Yaman mengisyaratkan upaya kesejahteraan sosial berdasarkan sumber asal ekonomi dalam kaitan ini zakat itu sendiri. Maksudnya, Nabi memerintahkan Mu’adz supaya menggali potensi dana zakat yang ada di daerah Yaman untuk kesejahteraan sosial ekonomi rakyat Yaman itu sendiri. Tidak ada perintah kepada Mu’adz untuk mengirimkan zakat penduduk Yaman (sebagian atau seluruhnya) ke pemerintah pusat yang berada di kota Madinah. Namun demikian, tidak berati tidak boleh mengalirkan sebagian atau seluruh dana zakat daerah tertentu untuk para mustahiq zakat yang ada di daerah-daerah lain, terutama yang benar-benar membutuhkan bantuan dana zakat.
  • Nabi Muhammad SAW, maupun Abu Bakar ra,keduanya memberikan informasi yang sangat jelas dan lugas tentang hukum, objek, besar penarikan zakat dan hal-hal lain bertalian dengan seluk beluk perzakatan. Kejelasan detail informasi zakat ini seperti mutlak dipandang perlu untuk membantu mempermudah para muzakki dalam penghitungan dan teknik pembayaran zakat. Surat Abu Bakar yang ditunjukan pada Anas, benar-benar mencerminkan rangkaian informasi zakat hewan (binatang) ternak yang demikian konkrit.
  • Baik Nabi Muhammad SAW, maupun Abu Bakar al-Shiddiq, keduanya berupaya sekuat tenaga untuk mendorong amilin bekerja keras agar seberapa dapat setiap muzakki mau mengeluarkan zakatnya. Bahkan jika seseorang belum bisa mencapai derajat muzakki baik Nabi Muhammad maupun Abu Bakar tidak berkeberatan untuk menarik sebagian kecil dari harta yang dimiliki muslim yang belum mencapai nishab (kadar minimal tertentu untuk pemberian ternak yang bersedia memberikan sedikit harta/hewan ternaknya meski belum mencapai ekor kambing atau 5 ekor unta, mengisyaratkan hal itu. Demikian pula dengan anjuran Nabi kepada Mu’adz bin Jabal di Yaman untuk memungut beberapa dirham dari mereka yang belum menjadi muzakki. Pendeknya Islam semua umatnya supaya turut terlibat dengan usaha mewujudkan kesejahteraan sosial dalam berbagai bidang tidak terkecuali dalam bidang ekonomi.