Landasan dan Azas Pembentukan Perda

SUDUT HUKUM | Menurut M.Solly Lubis, ada tiga (3) landasan pembuatan peraturan perundang-undangan, yakni:
  • landasan filosofis yaitu dasar filsafat, pandangan atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan negara .
  • landasan yuridis, ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi pembuatan suatu peraturan, dan
  • landasan politis, ialah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan dan pengarahan ketata-laksanaan pemerintahan negara.

Sama halnya dengan pendapat M. Solly Lubis, Rosjidi Ranggawidjaja berpendapat bahwa, suatu peraturan perundang-undangan yang baik sekurang-kurangnya harus memiliki tiga landasan, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis, yang diuraikan sebagai berikut:
Landasan dan Azas Pembentukan Perda

  • Landasan filosofis (filosofis grondslag), yakni filsafat atau pandangan hidup (way of life) suatu bangsa yang berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut.
  • Landasan sosiologis (sociologische), yakni sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat, agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat dan tidak hanya menjadi huruf-huruf mati belaka.
  • Landasan yuridis (juridische gelding), yakni landasan hukum (juridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid, competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu Amiroeddin Syaif menegaskan, bahwa dalam perundang-undangan dikenali atas 5 (lima) asas yakni;
  1. asas tingkatan hirarki,
  2. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat,
  3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis),
  4. Undang-undang tidak berlaku surut,
  5. Undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama (lex posteriori derogat lex priori).

Berkenaan dengan asas-asas peraturan perundang-undangan ini, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto pun memperkenalkan pula enam (6) asas perundang-undangan yaitu:
  • Undang-undang tidak berlaku surut,
  • Undang-undang yang di buat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula,
  • Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogat generali),
  • Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogat lex priori),
  • Undang-undang tidak dapat diganggu gugat, dan
  • Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan/pelestarian (asas welvaarstaat).

Tercantum dalam buku yang diterbitkan Dirjen Peraturan Perundang-undangan (DEPHUMKAM) bahwa dalam pembentukan Peraturan Daerah selain didasarkan pada Pancasila yang menjadi sumber segala hukum dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan, juga tertuang dalam Pasal 5 UU No 12 tahun 2011 yang meliputi beberapa asas yakni:
  1. Kejelasan tujuan; artinya bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
  2. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; artinya bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenan.
  3. Kesesuaian jenis, hierarki, dan materi muatan; artinya setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.
  4. Dapat dilaksanakan; bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
  5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  6. Kejelasan rumusan; bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
  7. Keterbukaan; bahwa dalam setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.

Patut pula diperhatikan pasal 138 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menetapkan bahwa materi muatan perda mengandung asas:
  • pengayoman;
  • kemanusiaan;
  • kebangsaan;
  • kekeluargaan;
  • kenusantaraan;
  • bhineka tunggal ika;
  • keadilan;
  • kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
  • ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
  • keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Dijelaskan melalui buku panduan Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah bahwa terdapat pula peran serta masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah, yaitu memperhatikan prinsip partisipasi. Mengenai partisipasi dalam Undang-undang No 12 Tahun 2011 diatur secara tegas dalam Pasal 96 yang menyatakan bahwa, (1) masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (2) masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
  • rapat dengar pendapat umum;
  • kunjungan kerja;
  • sosialisasi; dan/atau
  • seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
Partisipasi masyarakat dalam tahap pembahasan di tingkat legislatif dapat dilakukan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD. Melalui akses partisipasi memungkinkan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi atau menyumbangkan pemikirannya terhadap suatu kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah Daerah.