Uang Muka Menurut Hukum Islam

SUDUT HUKUM | Uang Muka Menurut Hukum Islam

Definisi

Secara Bahasa

Uang muka dalam istilah fiqih dikenal dengan istilah al-urbuun (العربون), namun kadang juga dibaca dengan cara berbeda, antara lain:

  • al-‘arabun (العربون)
  • al-‘urban (العربان)

Secara bahasa, kamus Al-Muhith menyebutkan bahwa makna al-urbun adalah:[1]

مَا عُقِدَ بِهِ الْبَيْعُ

Apa yang menjadi transaksi dalam jual beli

Secara Istilah

Secara istilah fiqih, uang muka atau urbun didefinisikan oleh para ulama sebagaimana disebutkan dalam Kasysyaf Al-Qinna’: [2]


أَنْ يَشْتَرِيَ السِّلْعَةَ وَيَدْفَعَ إِلَى الْبَائِعِ دِرْهَمًا أَوْ أَكْثَرَ عَلَى أَنَّهُ إِنْ أَخَذَ السِّلْعَةَ احْتَسَبَ بِهِ مِنَ الثَّمَنِ وَإِنْ لَمْ يَأْخُذْهَا فَهُوَ لِلْبَائِعِ

Membeli barang dengan memberikan kepada penjual satu dirham atau lebih, dengan kesepakatan bila dia jadi mengambil barang itu, maka dirham itu termasuk uang pembayaran dan bila tidak jadi maka uang itu menjadi hak penjual.

Gambaran yang bisa kita dapatkan dari definisi di atas adalah adanya uang yang dijadikan sebagai pembayaran awal dalam jual beli, namun bersama dengan itu juga ada kemungkinan uang itu akan ‘hangus’ kalau jual-beli itu dibatalkan.

Misalnya A berencana membeli mobil milik B dengan harga 200 juta rupiah. Namun A belum langsung melunasinya saat itu juga. Pelunasan disepakati akan dibayarkan dua bulan kemudian. Untuk itu sebagai tanda jadi, A menyerahkan uang sebesar 5 juta rupiah sebagai uang muka atau down-payment (DP).

Fungsi dari uang muka ini antara lain bahwa A dapat ‘mengikat’ B untuk tidak menjual mobilnya kepada orang lain, setidaknya selama masa dua bulan itu. Akan tetapi kalau lewat masa dua bulan, ternyata A tidak segera melunasi harga pembayaran, maka disepakati bahwa uang muka itu menjadi hak B dan kemudin B juga terlepas dari ikatan dengan A, lantas B berhak menjual mobilnya kepada orang lain.

Uang Muka Menurut Hukum Islam

Hukum Jual Beli dengan Uang Muka Menurut Hukum Islam

Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat:

Jumhur Ulama : Haram

Para ulama umumnya mengharamkan sistem uang muka yang bisa hangus ini, karena dianggap termasuk memakan harta orang dengan cara yang batil.

Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyyah, Al-Malikiyyah dan Asy-Syafi’iyyah termasuk di antara mereka yang mengharamkan penghangusan uang muka.

Al Khothobi menyatakan, “Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan jual beli ini. Malik, Syafi’i menyatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits dan karena terdapat syarat fasad dan Al Ghoror. Juga hal ini masuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan bathil. Demikian juga Ash-habul Ra’yi (madzhab Abu Hanifah -pen) menilainya tidak sah.”

Ibnu Qudamah menyatakan, “Ini pendapat Imam Malik, Al Syafi’i dan Ash-hab Al Ra’yi dan diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas dan Al Hasan Al Bashri.”

Dasar argumentasi mereka di antaranya:

a. Larangan Nash

Adanya hadits yang melarang jenis jual-beli urban berikut ini :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ r عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ

Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka.

Imam Malik menyatakan bahwa jual-beli ini seperti seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian menyatakan,”Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan apabila saya gagal beli atau gagal menyewanya maka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu”.

b. Memakan Harta Orang Dengan Cara Batil

Jenis jual beli semacam itu termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan bagi si penjual tanpa ada kompensasinya. Sedangkan memakan harta orang lain hukumnya haram sebagaimana firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An Nisaa’ : 29)

Al-Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa diantara bentuk memakan harta orang lain dengan batil adalah jual beli dengan jual-beli urbun ini. Jual beli ini tidak benar dan tidak boleh menurut sejumlah ahli fiqih dari ahli Hijaz dan Iraq, karena termasuk jual beli perjudian, gharar, spekulatif, dan memakan harta orang lain dengan batil tanpa pengganti dan hadiah pemberian dan itu jelas batil menurut ijma’.[3]

c. Dua Syarat Batil

Karena dalam jual beli itu ada dua syarat batil: syarat memberikan uang panjar dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha. Padahal Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ سَلَف وَبَيْعَ وَلاَ شَرْطاَنِ فيِ بَيْعٍ

“Tidak boleh ada hutang dan jual beli dan dua syarat dalam satu jual beli.” (HR Al Khomsah).

Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui (Khiyaar Al Majhul). Kalau disyaratkan harus ada pengembalian barang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga apabila dikatakan, “Saya punya hak pilih. Kapan mau, akan saya kembalikan dengan tanpa dikembalikan uang bayarannya. Ibnu Qudamah menyatakan, “Inilah qiyas (analogi).”

”Pendapat ini dirojihkan Al Syaukani dalam pernyataan beliau, “Yang rojih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama, karena hadits ‘Amru bin Syu’aib telah ada dari beberapa jalan periwayatan yang saling menguatkan. Juga karena hal ini mengandung larangan dan hadits yang terkandung larangan lebih rojih dari yang menunjukkan kebolehan sebagaimana telah jelas dalam ushul Fiqih…”

‘Illat (sebab hukum) dari larangan ini adalah jual beli ini mengandung dua syarat yang fasid; salah satunya adalah syarat menyerahkan kepada penjual harta (uang muka) secara gratis apabila pembeli gagal membelinya. Yang kedua adalah syarat mengembalikan barang kepada penjual apabila tidak terjadi keridhoan untuk membelinya.

Mazhab Al-Hanabilah : Halal

Berbeda dengan jumhur ulama, pendapat madzhab Al-Hanabilah justru membolehkan jual-beli dengan sistem uang muka yang bisa hangus ini.

Dasar argumentasi mereka adalah:

a. Kebolehan Nash

Atsar yang berbunyi,

عَنْ نَافِعِ بْنِ الحارث أَنَّهُ اشْتَرَى لِعُمَرَ دَارَ السِّجْنِ مِنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ فَإِنْ رَضِيَ عُمَرُ وَ إِلاَّ فَلَهُ كَذَا وَ كَذَا

Diriwayatkan dari Nafi bin Al-Harits, ia pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan ketentuan) apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak mendapatkan uang sekian dan sekian.

Al-Atsram berkata, “Saya bertanya kepada Ahmad, ‘Apakah Anda berpendapat demikian?’ Beliau menjawab, ‘Apa yang harus kukatakan? Ini Umar rodhiyallohu ‘anhu (telah berpendapat demikian).’”

b. Lemahnya Hadits Yang Melarang

Hadits Amru bin Syuaib adalah lemah sehingga tidak dapat dijadikan sandaran dalam melarang jual beli ini.

Kelemahannya karena semua jalan periwayatannya kembali kepada orang tsiqah yang mubham (tidak disebut namanya). Ini karena imam Malik menyatakan, Telah menceritakan kepadaku seorang tsiqah sebagaimana dalam riwayat Ahmad dan Malik di Muwatha’.” Sedangkan dalam riwayat Abu Daud dan ibnu Majah diriwayatkan imam Malik menyatakan, “Telah sampai kepada kami bahwa Amru bin Syu’aib …”

Ini tentu saja menunjukkan adanya perawi yang dihapus antara Malik dengan Amru bin Syu’aib. Adapun ibnu Majah meriwayatkan dari jalan lain, namun ada perawi bernama Abu Muhammad Habieb bin Abi Habieb Katib Malik yang matruk (lemah sekali) dan Abdullah bin Amir Al Aslami yang juga lemah.

Hadits ini dinilai lemah oleh Imam Ahmad, Al Baihaqi , Al Nawawi, Al Mundziri, Ibnu Hajar dan Al Albani

c. Biaya Kompensasi

Panjar ini adalah kompensasi dari penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Ia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Tidak sah ucapan orang yang mengatakan bahwa panjar itu telah dijadikan syarat bagi penjual tanpa ada imbalannya.

d. Qiyas Pengharaman Tidak Sesuai

Tidak sahnya qiyas atau analogi jual beli ini dengan Al Khiyar Al Majhul (hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui), karena syarat dibolehkannya panjar ini adalah dibatasinya waktu menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, maka batallah analogi tersebut, dan hilanglah sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.

e. Bukan Judi

Jual beli ini tidak dapat dikatakan jual beli mengandung perjudian sebab tidak terkandung spekulasi antara untung dan buntung. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarah Bulugh Al Maram hal. 100 menyatakan, “Ketidakjelasan dalam jual beli al-Urbun tidak sama dengan ketidak jelasan dalam perjudian, karena ketidakjelasan dalam perjudian menjadikan dua transaktor tersebut berada antara untung dan buntung, adapun ini tidak, karena penjual tidak merugi bahkan untung dan paling tidak barangnya dapat kembali.

Sudah dimaklumi seorang penjual memiliki syarat hak pilih untuk dirinya selama satu hari atau dua hari, dan itu diperbolehkan. Dan jual beli dengan uang muka ini menyerupai syarat hak pilih tersebut. Hanya saja penjual diberi sebagian dari pembayaran apabila barang dikembalikan, karena nilainya telah berkurang bila orang mengetahui hal itu walaupun hal ini didahulukan namun ada maslahat disana. Juga ada maslahat lain bagi penjual karena pembeli bila telah menyerahkan uang muka akan termotivasi untuk menyempurnakan transaksi jual belinya.

Demikian juga ada maslahat bagi pembeli, karena ia masih dapat memilih mengembalikan barang tersebut bila menyerahkan uang muka. Padahal bila tidak tentu diharuskan terjadinya jual beli tersebut.”

Fatwa Ulama Kontemporer

1. Syeikh Abdulaziz bin Baaz

Syeikh Abdulaziz bin Baaz pernah tentang hukum melaksanakan jual beli urbun apabila belum sempurna jual belinya. Bentuknya adalah dua orang melakukan transaksi jual beli, apabila jual beli sempurna maka pembeli menyempurnakan nilai pembayarannya dan bila tidak jadi maka penjual mengambil uang muka tersebut dan tidak mengembalikannya kepada pembeli?”

Beliau menjawab,”Tidak mengapa mengambil uang panjar tersebut dalam pendapat yang rajih dari dua pendapat ulama, apabila penjual dan pembeli telah sepakat untuk itu dan jual belinya tidak dilanjutkan.”[4]

2. Fatwa Lajnah Daimah

Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta dalam fatwa no. 9388 menybutkan tentang kebolehan urbun ini. Berikut petikannya:

Bolehkah seorang penjual mengambil uang muka (’Urbuun) dari pembeli dan dalam keadaan pembeli gagal membeli atau mengembalikannya apakah penjual berhak secara hukum syari’at mengambil uang muka tersebut untuk dirinya tanpa mengembalikannya kepada pembeli?

Jawaban:

Apabila realitanya demikian maka dibolehkan baginya (penjual) untuk memiliki uang muka tersebut untuk dirinya dan tidak mengembalikannya kepada pembeli –menurut pendapat yang rojih- apabila keduanya telah sepakat untuk itu. Fatwa ini ditandatangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan.[5]

Selain itu Lajnah ini juga punya fatwa dengan no. 19637 yang terkait dengan masalah yang sama.

“Al ‘Urbuun sudah dikenal dengan uang muka sedikit yang diserahkan pada waktu membeli untuk tanda jadi hingga menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa hukum jual beli tersebut? Banyak dari para penjual yang mengambil harta Urbuun (panjar) ketika gagal pelunasan pembayaran, bagaimana hukumnya?”

Jawaban:

Jual beli dengan uang muka hukumnya diperbolehkan. Jual beli ini dengan membayar seorang pembeli kepada penjual atau agennya (wakilnya) sejumlah uang yang lebih sedikit dari nilai harga barang tersebut setelah selesai transaksi, untuk jaminan barang.

Ini dilakukan agar selain pembeli tersebut tidak mengambilnya dengan ketentuan apabila pembeli tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung dalam bagian pembayaran dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak mengambil uang muka tersebut dan memilikinya.

Jual beli sistem uang muka ini sah, baik telah menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya dan penjual memiliki hak secara syar’i menagih pembeli untuk melunasi pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang.

Kebolehan jual beli ‘urbuun ini didasari atas perbuatan Umar bin Al-Khaththab radhiyallahuanhu. Imam Ahmad menyatakan tentang jual beli panjar ini, “Boleh.”

Dan dari Ibnu Umar radhiyallahuanhuma bahwa beliau pun membolehkannya. Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin menyatakan, “Diperbolehkan bila ia tidak ingin untuk mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya sejumlah harta.

Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berbunyi :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ

“Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka.”

menurut mereka merupakan hadits yang lemah (dhaif), sebagaimana Al-Imam Ahmad dan selainnya telah mendhoifkannya sehingga tidak bisa dijadikan sandaran.

Fatwa ini ditanda tangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan.

3. Majlis Fikih Islam

Majlis Fikih Islam pada seminar ke delapan telah selesai berkesimpulan dibolehkannya jual beli panjar. Berikut ini ketetapan-ketetapan yang mereka buat:

Pertama: Yang dimaksud dengan jual beli sistem panjar adalah menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual dengan syarat bila ia jadi mengambil barang itu, maka uang muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau ia tidak jadi membelinya, maka sejumlah uang itu menjadi milik penjual. Transaksi ini selain berlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti membeli fasilitas.

Di antara jual beli dikecualikan jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad (jual beli As-Salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money Changer).

Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase penjualan kedua yang dijanjikan.

Kedua: Jual beli sistem panjar dibolehkan bila dibatasi waktu menunggunya secara pasti, dan panjar itu dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila sudah dibayar lunas. Dan menjadi milik penjual bila si pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian.

4. Bank Islam Al Rajihi

Fatwa Al Hai’at Al Syar’iyah Li Syarikat Al Raajihi Al Mashrafiyah Lil Istitsmaar (Dewan syari’at Bank Islam Al Rajihi KSA), ketetapan no. 99.Dengan demikian yang rojih –insya Allah- adalah pendapat yang membolehkannya. [6]

Namun perlu diingat bila penjual mengembalikan uang muka tersebut kepada pembeli ketika gagal menyempurnakan jual belinya, itu lebih baik dan lebih besar pahalanya disisi Allah sebagaimana disabdakan Rasululloh SAW :

مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ عَثْرَتَهُ

Siapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada seorang muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan dan dosanya.

Iqalah dalam jual beli dapat digambarkan dengan seorang membeli sesuatu dari seorang penjual, kemudian pembeli ini menyesal membelinya, ada kala karena sangat rugi atau sudah tidak butuh lagi atau tidak mampu melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan barangnya kepada penjual dan penjualnya menerimanya kembali (tanpa mengambil sesuatu dari pembeli).[7]

Rujukan
[1] Al-Fayumi, Kamus Al-Muhith, madah : urbun, bab nun fashl ‘ain.
[2] Kasysyaf Al-Qinna, jilid 3 hal. 195
[3] Al-Qurthubi, Al-Jami’ li ahkam al-Quran, jilid 5 hal. 133
[4] Fiqh wa Fatawa Al-buyu, disusun Asyraf Abdul Maqshud, hal.291, dinukil dari Shahih Fiqhus Sunnah (4/412)
[5] Fatawa Lajnah Daimah (13/132) yang ditanda tangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdur Razaq Afifi dan Abdullah bin Ghadayan
[6] Ketetapan no. 72, Lihat majalah Al-Majma edisi 8 dan kitab Ma La Yasa’u Yasa’u At-Tajira Jahluhu, Prof Dr Abdullah.Al-Mushlih dan Prof. Dr Shalah Ash-Shawi. Telah diindonesiakan dengan judul Fiqih Ekonomi Keungan Islam, Penerbit Darul Haq, Edisi terjemah, hal. 134
[7] Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud (9/237)