Masa Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

SUDUT HUKUM | Pada awal masa pemerintahan Orde Baru sampai dengan Tahun 1973, seperti telah dijelaskan sebelumnya tidak memberikan banyak harapan bagi perkembangan dan transformasi nilai-nilai hukum Islam ke dalam produk legislasi nasional. Hal ini cukup mengecewakan bagi kalangan umat Islam yang telah ikut bersama-sama dengan penguasa Orde Baru untuk menumbangkan kekuasaan pemerintahan Orde Lama. Pada Tahun 1973 tepatnya pada 16 Agustus 1973, pemerintah Orde Baru mengajukan sebuah Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disingkat RUU) tentang Perkawinan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi undang-undang.

Namun sebulan sebelum diajukannya RUU tersebut kepada DPR, muncul reaksi keras dari kalangan umat Islam, terutama dari para ulama tradisional maupun ulama modernis hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Karena RUU Perkawinan yang akan diajukan tersebut sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum perkawinan dalam Islam, bahkan ada reaksi yang lebih keras lagi dari sebagian umat Islam dengan mengatakan bahwa RUU Perkawinan tersebut akan mengkristenkan Indonesia. Menurut Kamal Hasan, setidaknya ada 11 Pasal yang dipandang bertentangan dengan ajaran Islam dalam RUU Perkawinan yang akan diajukan ke DPR tersebut, yaitu Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 huruf (c), Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 37, Pasal 46 huruf (c) dan (d), dan Pasal 62 ayat (2) dan (9).

Selain itu, di lembaga legislatif pun RUU tersebut mendapat penentangan yang tidak kalah sengitnya. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) yang dianggap sebagai wakil umat Islam di parlemen, adalah fraksi yang paling keras menentang RUU Perkawinan tersebut, karena dianggap sangat bertentangan dengan fikih Islam. Pada masa itu, FPPP berusaha sangat maksimal agar Undang-Undang Perkawinan yang akan disahkan nantinya tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Melalui lobi-lobi antara tokoh-tokoh Islam dan juga FPPP dengan pemerintah, akhirnya RUU yang diajukan tersebut dapat diterima oleh umat Islam dengan menghilangkan pasal-pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan untuk kelancaran pembahasan RUU tersebut di DPR, sempat dibuat suatu kesepakatan antara fraksi PPP dengan fraksi ABRI yang isinya:
  • Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau diubah.
  • Sebagai konsekuensi dari poin 1, maka alat-alat pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau diubah, tegasnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 dijamin kelangsungannya.
  • Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan undang-undang ini, dihilangkan (didrop).
  • Pasal 2 ayat (1) dari rancangan undang-undang ini disetujui untuk dirumuskan sebagai berikut:

  1. Ayat (1): Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
  2. Ayat (2): Tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  • Mengenai perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.


Usaha seluruh komponen umat Islam pada masa itu berhasil merubah RUU Perkawinan yang sebelumnya sangat bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga menimbulkan keberatan dan penolakan dari kalangan Islam dihapuskan, kemudian berhasil dirubah dengan ditandai masuk dan diakomodirnya nilai-nilai ajaran perkawinan Islam dalam RUU tersebut. Adapun pasal-pasal yang kemudian dicoret adalah Pasal 11 mengenai sistem parental dan perkawinan antar agama, Pasal 13 mengenai Pertunangan, Pasal 14 mengenai Tata Cara Gugatan Perkawinan, dan Pasal 62 mengenai Pengangkatan Anak.

Sehingga pada akhirnya setelah dilakukan rapat yang berulang-ulang, pada tanggal 22 Desember 1973 melalui fraksi-fraksi di DPR, RUU Perkawinan tersebut disetujui untuk disahkan. Selanjutnya pada tanggal 2 Januari 1974 disahkanlah RUU Perkawinan menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa mulai sejak saat itu perkembangan hukum Islam di Indonesia khususnya dalam bidang hukum materil, telah menampakkan wujudnya secara nyata. Kelahiran Undang-Undang Perkawinan ini merupakan babak baru pengakuan terhadap keberadaan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia, karena pada masa ini dapat disebut sebagai fase taqnin (fase pengundangan) ketentuan-ketentuan ajaran Islam tentang perkawinan yang sebelumnya hanya ditelaah dan tersebar dalam kitab-kitab fikih, kemudian berhasil ditransformasikan ke dalam peraturan perundang-undangan yang legal dan berlaku positif, meskipun terdapat modifikasi di sana sini. (Dr. EMK Alidar).

Rujukan:

  • Arso Sostroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
  • Rachmadi Usman, Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 2003),
  • Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendikiawan Muslim, (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987)