Tujuan pemidanaan

SUDUT HUKUM | Menurut Sudarto, tujuan pemidanaan pada hakikatnya merupakan tujuan umum negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka politik hukum adalah berarti usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu dan untuk sama-sama yang akan datang. Lebih lanjut Sudarto mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan adalah:

  1. Untuk menakut-nakuti agar orang agar jangan sampai melakukan kejahatan orang banyak (general preventie) maupun menakut-nakuti orang tertentu orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie);
  2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat;
  3. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk, yakni:

  • Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna
  • Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Romli Atmasasmita, mengemukakan, jika dikaitkan dengan teori restributif tujuan pemidanaan adalah:

  1. Dengan pemidanaan maka si korban akan merasa puas, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya maupun keluarganya. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe restributif ini disebut vindicative.
  2. Dengan pemidanaan akan memberikan peringatan pada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak sah atau tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe restributif ini disebut fairness.
  3. Pemidanaan dimaksudkan untk menunjukkan adanya kesebandingan antara apa yang disebut dengan the grafity of the offence dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe restributif ini disebut dengan proportionality.
Termasuk ke dalam ketegori the grafity ini adalah kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik yang dilakukan dengan sengaja maupun karena kelalainnya.[1]

Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana sebagai pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan, memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberpa tujuan yang bisa dikasifikasikan berdaarkan teori-teori tentang pemidanaan.

Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Maka pada tahun 1970 telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman.[2]

Dalam menetapkan tujuan pemidanaan Sholehuddin, mengemukakan bahwa untuk menciptakan sinkroniasi yang bersifat fisik dalam tujuan pemidanaan harus diperhatikan adanya 3 (tiga) faktor, yaitu : Sinkronisasi struktural (structural synchronizaton), Sinkronisasi substansial (subtansial synchronizaton), dan Sinkrinosasi kultural (cultural synchronizaton).[3]

Menurut Romli Atmasasmita, ada 4 (empat) tujuan pemidanaan yang tercermin dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:

Pandangan social defence, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana, pandangan hukum adat dan tujuan yang bersifat spriritual berlandaskan Pancasila. Menurutnya dari keempat tujuan pemidanaan tersebut dipertegas kembali dengan mencantumkan Pasal 50 ayat (2) ang menyebutkan, pemidanan tidak dimaksudkan utuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia”.[4]

Menurut Muladi, dalam tujuan pemidanaan dikenal istilah restorative justice model yang mempunyai beberapa karakteritik, yaitu:

  • Kajahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;
  • Titik perhatian pada pencegahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;
  • Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
  • Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;
  • Keadilan dirumuskan sebagai hubungan- hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;
  • Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
  • Masyarakat memerlukan fasilitator di dalam proses restoratif;
  • Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun dalam penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;
  • Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
  • Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial, dan ekonomis;
  • Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

[1] Romli Atmasasmita, 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Mandar Maju, Bandung. hlm. 83-84

[2] Sholehuddin, 2002. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hlm. 61

[3] Ibid., hlm. 119

[4] Romli Atmasasmita, 1996. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta, Bandung. hlm. 90