Sejarah dan Perkembangan Dinar dan Dirham

SUDUT HUKUM | Uang dalam berbagai bentuknnya sebagai alat tukar perdagangan telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu dalam sejarah Mesir kuno sekitar 4000 SM – 2000 SM. Dalam bentuknya yang lebih standar uang emas dan perak diperkenalkan oleh Julius Caesar dari Romawi sekitar tahun 46 SM. Julius juga yang memperkenalkan standar koversi dari uang emas ke perak dan sebaliknya dengan perbandingan 12:1 untuk perak terhadap emas.
Standar Julius ini berlaku di belahan dunia Eropa selama sekitar tahun 1250 sampai tahun 1204. Di dunia Islam, emas dan perak yang dikenal dengan dinar dan dirham juga digunakan sejak awal Islam baik untuk kegiatan muamalah maupun ibadah sampai kekhalifahan Turki Usmani tahun 1924 berakhir. Standarisasi berat uang dinar dan dirham mengikuti hadist Rasululah SAW, ‘timbangan adalah timbangan penduduk Makkah, dan takaran adalah takaran penduduk Madinah’.[1]
Pada zaman khalifah Umar Bin Khattab sekitar tahun 642 Masehi, bersamaan dengan percetakan uang dirham pertama di Kekhalifahan, standar hubungan berat antara uang emas dan perak dibakukan yaitu berat 7 dinar sama dengan berat 10 dirham sampai pertengahan abad ke-13 baik di Negeri Islam maupun Non Islam, sejarah menunjukkan bahwa mata uang emas relatif yang standar tersebut digunakan. Islam mulai merambah Eropa dengan berdiri kekhalifahan Usmaniyyah dan tonggak sejarahnya tercapai pada tahun 1453 ketika Muhammad Al Fatih menaklukkan Konstatinopel dan terjadilah penyatuan dari seluruh kekuasaan kekhalifahan Utsmaniyah.

Sejarah dan Perkembangan Dinar dan Dirham

Pada puncak kejayaan kekhalifahan Utsmaniyah pada abad 16 dan 17 membentang mulai dari Selat Gibraltar di bagian barat sampai sebagian kepulauan Nusantara di bagian timur, kemudian dari sebagian Austria, Slovakia, dan Ukraina di bagian utara sampai Sudan serta Yaman di bagian selatan.[2]
Menurut pendapat Abdul Qodim Zallum dalam kitabnya Al Amwal Fi Daulatil Khilafah, dinar dan dirham telah dikenal oleh orang Arab sebelum Islam datang, karena aktivitas perdagangan yang mereka lakukan dengan Negara-Negara di sekitarnya. Ketika pulang dari Syam, mereka membawa dinar emas Romawi (Byzantium) dan dari Iraq mereka membawa dirham (Sassanid). Kadang-kadang mereka membawa pula sedikit dirham himyar dari Yaman.[3]
Tetapi orang-orang Arab saat itu tidak menggunakan emas tersebut menurut nilai nominalnya, melainkan menurut beratnya. Sebab mata uang yang ada hanya dianggap sebagai kepingan emas dan perak. Orang arab tidak menganggapnya sebagai mata uang yang dicetak, mengingat bentuk dan timbangan dirham yang tidak sama dan karena kemungkinan terjadinya penyusutan berat akibat peredaraannya. Oleh karena itu untuk mencegah terjadi penipuan, mereka lebih suka menggunakan standar timbangan khusus yang telah dimiliki antara lain: auqiyah, nasy, nuwah, mitsqal, dirham, daniq, qirath, dan habbah.
Setelah Islam datang, Rasulullah mengakui berbagai muamalat yang berhubungan dengan Dinar Romawi dan Dirham Persia. Beliau juga mengakui standar timbangan yang berlaku di kalangan kaum Qurays untuk menimbang berat dinar dan dirham. Umat muslim terus menggunaakan Dinar Romawi dan Dirham Persia dalam bentuk aslinya sepanjang hayat Rasulullah dan dilanjutkan masa kekhilafan Abu Bakar Ash Siddiq dan awal kekhilafahan Umar Ibn Khattab. Pada masa Umar yang tepat tahun ke-8 Umar menjabat khalifah, Umar mencetak uang dirham baru berdasarkan pola dirham Persia. Berat, gambar, maupun tulisan bahlawinya tetap ada, hanya ditambah dengan lafadz yang ditulis dengan huruf arab gaya kufi, seperti lafadz bismillah dan bismillah rabbi yang terletak pada tepian lingkaran.
Pada tahun 75 Hijriyah atau 695M Khalifah Abdul Malik Bin Marwan mencetak dirham khusus yang bercorak Islam, dengan lafadzlafadz Islam yang ditulis dengan huruf arab gaya kufi, pola dirham Persia tidak dipakai lagi. Dua tahun kemudian Abdul Malik Bin Marwan mencetak dinar khusus yang bercorak islam setelah meeninggalkan pola dinar Romawi, selain itu beliau juga menginstrusikan untuk menghapus gambar-gambar manusia dan hewan pada dinar dan dirham untuk diganti dengan lafad islam, lafadz islam yang tercetak misalnya kalimat Allahu Ahad dan Allahu Baqq’, gambar manusia dan hewan tidak dipakai lagi, dinar dan dirham pada satu sisinya diberi tulisan Laa Ilaaha Illallah, sedangkan sisi sebaliknya terdapat tanggal percetakan dan nama khalifah yang sedang memerintah pada saat percetakan mata uang. Percetakan dinar dan dirham yang belakangan memperkenalkan kalimat syahadat, shalawat Nabi Muhammad, satu ayat Al Qur’an atau lafadz yang menggambarkan kebesaran ALLAH SWT.[4]
Terobosan unik yaitu yang dilakukan gubernur Kuffah yang mencetak uang dengan gaya kombinasi Persia dan Romawi. Pada tahun 72-74 H Bishri bin Marwan mencetak mata uang yang disebut atawiyya. Sampai pada zaman ini mata uang khalifah beredar bersama dinar Romawi dan dirham Persia serta sedikit himyarite Yaman. Barulah pada zaman Abdul Malik (76 H) tempat percetakan dapat terorganisasi dengan kontrol pemerintah yaitu dengan didirikannya tempat percetakan di Dara’jarb, Suq Ahwaz, Sus, Jay, Manadar. Maysan, Ray, Abarqubadh.

[1] Muhaimin Iqbal, Dinar The Real Money: Dinar Emas, Uang Dan Investasiku, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 29-30.
[2] Ibid., hlm. 31.
[3] Ahmad Hasan, Op. Cit., hlm. 22.
[4] Muhammad Ismail Yusanto, et al. Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, Jakarta Selatan: PIRAC, SEM Institute Infid, 2001.