Sejarah Advokat

SUDUT HUKUM | “Istilah advokat sudah ada sejak zaman Romawi. Dimana jabatan atau profesinya disebut dengan nama Officium Nobile (profesi yang mulia)”.[1] Para advokat pada saat itu mengabdikan kepada masyarakat dan tidak hanya untuk dirinya sendiri, serta berkewajiban untuk turut menegakkan hak asasi manusia, dan mereka menolong orang-orang yang terjebak dengan hukum dan melanggar aturan tanpa mengharap menerima imbalan atau honorarium.


Orientasi mereka banyak mengenai bantuan hukum terhadap orang miskin. Pada zaman Romawi pemberian bantuan hukum oleh Patronus hanyalah didorong oleh motivasi untuk mendapat pengaruh dalam masyarakat. Kala di Indonesia dikenal dengan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma khususnya kepada masyarakat miskin dan buta hukum. Pada zaman ini pemberian bantuan hukum dari penguasa hanyalah didorong oleh motivasi untuk mendatangkan pengaruh dalam masyarakat. Pertengahan zaman Romawi bantuan hukum mendapat motivasi baru sebagai akibat pengaruh agama Kristen, dengan adanya advokat Gereja (kerkelijke advocaten) yaitu advokat yang tugasnya memberikan segala macam keberatan-keberatan dan atau nasehat-nasehat dalam suatu acara pernyataan suci bagi seorang yang telah meninggal.[2]


Sejarah Advokat
Momen ini memberikan motivasi kepada keinginan orang untuk berlomba-lomba memberikan sesuatu dalam bentuk membantu si miskin, dengan itu pula tumbuh nilai-nilai kemuliaan (nobility) dan kesatrian (chivalry) yang sangat diagungkan orang. Indonesia memiliki sejarah tentang advokat yang terbagi atas 3 (tiga) zaman, (zaman pemerintahan Hindia Belanda, zaman balatentara Jepang, dan zaman Republik Indonesia atau zaman kemerdekaan).


Pertama, Zaman Hindia Belanda. Pada zaman ini para pihak yang berperkara diwajibkan untuk mewakili kepada seorang prosureur yaitu seorang ahli hukum yang untuk itu mendapat perizinan dari pemerintah. Kewajiban ini tertuang dalam pasal 106 (1) Reglement of de Burgenlijke Rechtsvordering (B.Rv) bagi penggugat sedangkan untuk tergugat dalam pasal 109 (B.Rv).


Zaman ini pula dikenal dengan adanya 2 (dua) sistem peradilan. Pertama, hierarki peradilan untuk orang-orang Eropa yang dipersamakan (Residentie gerecht, Raad van Justitie, dan Hoge Rechtshof). Kedua, hierarki peradilan untuk orang-orang pribumi atau masyarakat Indonesia asli yang dipersamakan (District Gerecht Regent Cheps Gerecht, dan Lanraad). Dalam prakteknya orang-orang Belanda lebih diutamakan dari pada orang-orang Indonesia. Advokat terbatas dalam memberikan bantuan hukum jika mereka bersedia, bersedia membela orang-orang yang dituduh diantara hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup.


Keberadaan advokat ini sangat membatu dalam proses beracara di Pengadilan kepada klienya, karena pada zaman pemerintahan Hindia Belanda sangat sulit untuk menjadi seorang advokat, diantaranya harus Doctor atau Mester Inde Rechten, dan sudah magang selama 3 (tiga) tahun, itu pun juga harus lulusan dari Universitas Negeri Belanda atau RHS di Jakarta, diangkat oleh Gubernur Jendral dan lulus ujian mata kuliah Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, dan Hukum Tata Negara.


Advokat pada zaman Hindia Belanda ini sangat mahal sehingga hanya orang-orang yang memiliki status tinggi saja yang dapat mewakilkan perkaranya di Pengadilan, karena kebanyakan orang pribumi sangat miskin karena selain merampas kekayaan di Indonsia mereka juga memaksa orang Indonesia untuk bekerja membangun infrastruktur bangunan maupun jalan agar mempermudah transportasi mereka, padahal untuk beracara di Pengadilan harus benar-benar orang yang tau tatacara serta memahami mengenai hukum, atau setidaknya ada nasehat-nasehat yang diberikan kepada orang yang terjebak dengan hukum karena melanggar peraturan yang ada.


Dalam beracara masalah pidana jika terdakwa buta akan hukum dan tidak ada advokat yang membantunya untuk memberikan pertolongan maupun nasehat-nasehat yang baik tentang hukum, karena perkataan yang keluar dari terdakwa dapat menjadi bumerang bagi dirinya dan memperberat hukumannya, begitu halnya dengan beracara masalah perdata, seorang hakim sangat memerlukan penjelasan-penjelasan yang berguna dan berfaedah dalam hukum, agar suatu putusan yang dilakukan oleh hakim benar-benar tepat,perlu adanya pengacara untuk menjelaskan semua itu, keberadaanya untuk meghindarkan segala hal yang tidak berfaedah dan tidak berguna, karena dalam beracara di Pegadilan butuh waktu, tenaga dan pikiran untuk dapat sampai pada putusan hakim.


Legalisasi tentang advokat-prosureur ini dalam zaman Pemerintahan Hindia Belanda atau Rechterlijke Organisation (RO) yakni: S.1847 – 23 jo S.1848-57, dalam hal ini pada BAB VI tentang, Advokat dan Pengacara, diantaranya pasal 185. Para advokat sekaligus menjadi pengacara, sifat dan pemberi jasa dalam pekerjaan yang bersangkutan dengan jasa, ditetapkan dengan peraturan mengenai hukum acara perdata dan hukum acara pidana (R.v. 23, 28 dst.,S.v 101, 120, 180). “Menurut Adnan Buyung Nasution, bahwa advokat pertama bangsa Indonesia adalah Mr. Besar Martokoesoemo yang baru membuka kantornya di Tegal dan Semarang pada tahun 1923”.


Kedua, Zaman Balatentara Jepang, zaman ini sangat berbeda dengan zaman Hindia Belanda, itu terlihat dengan adanya pemberian hak sama kepada pribumi maupun orang-orang Belanda di muka Pengadilan dimana sebelumnya adanya perbedaan perlakuan di Pengadilan antara golongan Eropa dan golongan pribumi asli Indonesia, karena terjadi pelegalan dengan munculnya Undang-undang No.1 Tanggal 7 Maret 1942, untuk Jawa Madura yang dilakukan Balatentara Jepang yang bernama Dai Nippon.


Selain hal tersebut di atas tepatnya pada bulan April 1942 terjadi sebuah pengaturan yang dilakukan oleh Balatentara Jepang yaitu mengenai susunan dan kekuasaan pengadilan. Adapun pengaturan tersebut mengenai Pengadilan tingkat satu atau pengadilan Negeri yang disebut Tihoo Hooin dan untuk perkara tingkat kedua disebut Koo Too Hooin. Mengenai asas kebebasan beracara bagi orang yang berperkara di Pengadilan tidak boleh sendiri dan jika yang bersangkutan sedang sakit dapat diwakili orang tua atau walinya.[3] Inti dari asas tersebut yaitu tidak harus menggunakan jasa bantuan hukum dalam beracara di pengadilan dan dapat pula diwakilkan, jika terdakwa benar-benar sakit atau tidak bisa beracara di Pengadilan keberadaan ini berlanjut hingga tahun 1946, sehingga kekuasaan Jepang telah merata di Indonesia.


Ketiga, zaman Republik Indonesia atau zaman kemerdekaan, setelah kemerdekaan Republik Indonesia, kondisi pengacara Indonesia sebagaimana ditemukan pada masa penjajahan Belanda terus berlanjut akibat pilihan konstitusinya, yaitu pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:

Segala Badan Negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”[4]

Secara otomatis produk hukum yang diberlakukan tetap masih berlaku selama produk hukum tersebut belum ada yang baru atau yang menggantikannya. Sejarah panjang pengacara setelah Indonesia merdeka, pada masa demokrasi terpimpin, masa orde lama, orde baru sampai sekarang eksistensi pengacara dalam sistem hukum di Indonesia jelas dipengaruhi oleh idiologi kolonial yang memperkecil ruang gerak bagi perkembangan pengacara Indonesia. Kemudian secara nyata diakhir perkembangannya peran eksternal pengacara lebih banyak digantikan oleh lembaga-lembaga bantuan hukum serta organisasi-organisasi nonpemerintah yang bergerak dibidang hukum.[5]

Rujuka:

[1] Ari Yusuf Amir, Strategi Bisnis Jasa Advokat, Yogyakarta: cetakan III, Navila Idea, 2010. Hal.7

[2] Ibid, Hal. 2

[3] Ibid. Hal. 19

[4] Nur Laila Musfa’ah dkk, Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, Hal. 182

[5] Ibid. Hal. 190