SUDUT HUKUM | Undang-undang dibedakan menjadi dua, yaitu undang-undang dalam arti materiil dan undang-undang dalam arti formil.[1] Hal ini merupakan terjemahan secara harafiah dari “wet in formele zin”dan “wet materiёle zin”yang dikenal di Belanda. Yang dinamakan undang-undang dalam arti materiil merupakan keputusan atau ketetapan penguasa yang dilihat dari isinya disebut undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum.[2] Undang-undang dalam arti formil ialah keputusan penguasa yang disebut dengan undang-undang dilihat dari cara pembentukannya.[3] Bandingkan dengan pendapat dari ahli hukum Paul Laband:
Das Staatsrecht des deutsches Reiches” (1911).[4]
Undang-undang bersifat umum karena mengikat setiap orang dan merupakan produk lembaga legislatif. Pada umumnya undang-undang terdiri dari dua bagian, yaitu konsederans atau pertimbangan yang berisi pertimbanganpertimbangan mengapa undang-undang itu dibuat, dan diktum atau amar. Di dalam amar terdapat isi dari undang-undang yaitu yang kita sebut pasal-pasal.
Selain dua bagian tersebut ada bagian lain yang juga penting keberadaannya, yaitu ketentuan peralihan. Ketentuan peralihan mempunyai fungsi penting, yaitu untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) karena ada kemungkinannya suatu undang-undang baru tidak mengatur semua hal atau peristiwa yang diatur oleh undang-undang yang lama. Kalau terjadi suatu peristiwa yang diatur dalam undang-undang yang lama tetapi tidak diatur dalam undang-undang yang baru maka disinilah peranan ketentuan peralihan. Biasanya bunyi dari ketentuan peralihan yaitu: “apabila tidak ada ketentuannya, maka berlakukan peraturan yang lama”.
Undang-undang adalah hukum.[5] Hal ini karena undang-undang berisi kaedah hukum yang bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia. Setiap orang dianggap tahu akan adanya suatu undang-undang. Pernyataan ini merupakan fictie karena kenyataannya tidak setiap orang dapat mengetahui setiap undang-undang yang diundangkan hal ini karena ketidaktahuan seseorang bukanlah termasuk dasar pemaaf.[6]
Agar dapat diketahui setiap orang, maka undang-undang harus diundangkan atau diumumkan dengan memuatnya dalam lembaran negara. Dengan dimuatnya dalam lembaran negara maka peraturan perundang-undang tersebut mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1AB): mengikat setiap orang untuk mengetahui eksistensinya.
[1] L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hal. 92.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Djakarta: P.T. Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar, 1961), hal.136.
[5] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal.80.
[6] Hal ini sesuai dengan pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya nomor 645K/Sip/1970.