Pengaturan Peninjauan Kembali dalam KUHAP

SUDUT HUKUM | Lembaga PK adalah produk hukum yang baru mendapatkan perhatian di Indonesia sejak tahun 1979 ketika pengadilan melakukan kesalahan dalam memberikan hukuman penjara kepada orang yang tidak melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan. Kasus Sengkon dan Karta yang terkenal itu mendorong masuknya PK dalam KUHAP yang sedang di bahas di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (selanjutnya disingkat DPR RI) saat itu.

R.O. Tambunan sebagai pelaku sejara masuknya PK di dalam KUHAP (pada saat itu anggota DPR RI yang ikut membahas soal PK) sebagaimana dikutip oleh Abdul Azis (2004: 59) menyatakan, bahwa “PK diperuntukkan bagi terpidana atau ahli warisnya, bukan diperuntukkan bagi jaksa penuntut umum. Sebab, spirit PK adalah untuk melindungi terhukum yang tidak bersalah. Dengan demikian, hakim seharusnya secara otomatis menolak PK yang diajukan oleh jaksa penuntut umum”.

Pengaturan PK dalam KUHAP ditentukan dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 268. adapun landasan filosofisnya sebagaimana dikemukakan oleh R.O. Tambunan diwujudkan dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menentukan “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung” (dalam Abdul Azis (2004: 61).

Pengaturan Peninjauan Kembali dalam KUHAP


Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP sebagaimana dikutipkan di atas, secara tersurat dan tegas menyatakan, bahwa terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Dengan demikian, dari sisi legal formal telah jelas bahwa hak untuk mengajukan PK merupakan hak terpidana atau ahli warisnya.

Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP merupakan kehendak pembentuk undang-undang. Hakim tidak dibenarkan membuat tafsir dengan melanggar kehendak pembentuk undang-undang.

Menurut H. Adami Chazawi dalam Majalah Gatra 19 Agustus 2009, hal. 23, “Norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut merupakan norma yang sudah jelas, limitatif, dan tuntas, maka bersifat tertutup (lihat Penjelasan Pasal 263). Rumusan norma hukum yang demikian tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretation cessat in claris)”. Dengan kata lain, berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, kecuali terpidana atau ahli warisnya tidak seorang pun, baik atas nama pribadi ataupun lembaga yang dapat mengajukan PK.

Adapun Pejelasan Pasal 263 KUHAP menentukan “Pasal ini memuat alasan secara limitatif

untuk dapat dipergunakan meminta peninjauan kembali suatu putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang berhak mengajukan PK ditegaskan kembali oleh KUHAP melalui ketentuanketentuan, antara lain sebagai berikut:

  1. Pasal 264 ayat (1) KUHAP yang menentukan, “Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya”.
  2. Pasal 265 ayat (1) KUHAP yang menentukan, “Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintaklan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2)”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1), Pasal 264 ayat (1), dan Pasal 265 ayat (1) KUHAP, jelaslah dan tidak diragukan lagi bahwa PK yang diatur oleh KUHAP adalah upaya hukum yang diperuntukkan bagi terpidana atau ahli warisnya untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berbentuk putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pernyataan bahwa hak untuk mengajukan PK merupakan hak terpidana, sesungguhnya juga telah tersurat dalam rumusan Pasal 1 angka 12 KUHAP, yang menentukan bahwa yang dimaksud “Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Abdul Azis (2004: 64) menyatakan, bahwa “Ketentuan Pasal 1 angka 12 KUHAP sudah sangat jelas dan tidak dapat ditafsirkan lagi, bahwa upaya hukum yang dimiliki oleh terdakwa dan penuntut umum adalah hak untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi. Sedangkan PK merupakan upaya hukum yang hanya merupakan hak dari terpidana”.


Untuk mengimbangi hak terpidana berupa PK, KUHAP memberi hak kepada Jaksa Agung untuk mengajukan satu kali permohonan Kasasi Demi Kepentingan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 259, yang menentukan:

(1) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung”.

(2) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.

Jika ketentuan Pasal 259 KUHAP dibandingkan dengan ketentuan Pasal 263 KUHAP, dilihat dari obyeknya terdapat perbedaan yang signifikan antara kasasi demi kepentingan hukum dengan PK.

Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung terhadap putusan

pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, baik

terhadap putusan pemidanaan maupun terhadap bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum.

PK yang merupakan hak terpidana atau ahli warisnya dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap, baik putusan pengadilan negeri, putusan pengadilan tinggi, maupun putusan MARI. Pengajuan PK hanya semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya. karena itu PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas.

Menurut Adami Chazawi (2008: 265) “ketentuan Pasal 263 (2) KUHAP, ada tiga alasan diajukannya PK, yaitu :
  1. adanya keadaan baru;
  2. ada beberapa putusan yang saling bertentangan; dan
  3. putusan memperlihatkan adanya suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata. Ketiga alasan ini dikenal sebagai syarat materiil pengajuan PK”.
Selanjutnya dinyatakan oleh Adami Chazawi (2008: 265-266):

  • Keadaan baru sebagai salah alasan diajukannya PK adalah suatu keadaan yang sudah ada sebelum/pada saat sidang-pemeriksaan perkara berlangsung, yang baru diketahui setelah putusan menjadi tetap. Sesungguhnya yang baru bukan keadaannya. Keadaan tersebut sudah ada pada saat sidang berlangsung, bahkan sebelumnya. Namun baru diketahui keberadaannya dari alat-alat bukti yang baru diketahui setelah perkara diputus dan menjadi tetap. Alat- bukti ini sesungguhnya juga bukan alat bukti baru, melainkan alat bukti yang sudah ada pada saat sidang berlangsung, bahkan sebelumnya, namun belum diajukan dan diperiksa di sidang, oleh sebab berbagai hal.
  • Pelbagai putusan yang saling bertentangan, adalah terdapatnya dua atau lebih putusan yang saling berhubungan dan bersifat saling menentukan terhadap satu dengan yang lain secara timbal balik, dimana pertimbangan hukumnya atau amar putusannya saling bertentangan.
  • Putusan yang memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, merupakan kesalahan hakim dalam memutus perkara. Disebabkan oleh banyak hal dan keadaan yang sangat luas. Dapat dicari dalam beberapa keadaan, antara lain:
  1. Pertimbangan hukum putusan maupun amarnya secara nyata bertentangan dengan azas-azas hukum dan norma hukum;
  2. Putusan tersebut melampaui kewenangan hakim;
  3. Amar putusan yang sama sekali tidak didukung oleh pertimbangan hukum;
  4. Amar putusan menyimpang jauh dari pertimbangan hukum;
  5. Putusan dibuat atas pelaksanaan peradilan yang menyalahi prosedur;
  6. Putusan peradilan yang sesat, baik karena kesesatan fakta maupun kesesatan hal hukumnya.
  7. Pengadilan telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk UU mengenai maksud dibentuknya norma tersebut;
  8. Pengadilan telah menafsirkan suatu norma di luar cara-cara yang lazim & dikenal dalam doktrin hukum. Penafsiran suatu norma secara bebas, tanpa landasan teoritis dan diluar logika hukum. Penafsiran yang merusak (interpretatio est perversio).
  9. Putusan yang mengakibatkan norma hukum yang sudah jelas, tuntas menjadi berubah/berlainan atau norma yang sudah limitatif menjadi bertambah, norma yang tertutup menjadi terbuka.