Katagori Rawi Berdasar Jarh wa Ta’dil

SUDUT HUKUM | Dalam proses transmisi hadits, keberadaan rawi menjadi kajian penting guna menentukan diterima atau ditolak hadits yang diriwayatkan. Dari kelima syarat keshahihan hadits, hal yang berkaitan dengan rawi hadits mendapat porsi lebih besar yakni:
  1. Ketersambungan sanad,
  2. Dhabitnya rawi dan
  3. Adilnya rawi.

Ketersambungan sanad (ittishal al-sanad) sebagai piranti melacak keabsahan proses transmisi hadits. Integritas rawi (‘Adalah) disyaratkan untuk mengantisipasi periwayatan yang bohong. Sedangkan untuk mengantisipasi kesalahan periwayatan, seorang rawi disyaratkan memenuhi standar profesionalitas (dabth).


Berpijak pada aspek integritas dan profesionalitas tersebut, rawi dapat dikelompokkan dalam tiga katagori yaitu:
    Katagori rawi berdasar jarh wa ta’dil

  • Martabah al-qabul; yakni para rawi dengan integritas dan profesionalitas periwayatan tinggi sehingga nyaris tidak ditemukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits.
  • Martabah al-I’tibar; yakni para rawi dengan integritas moral namun profesionalitasnya lemah sehingga kadang ditemukan kesalahan redaksi maupun substansi dalam periwayatannya.
  • Martabah al-Radd; para rawi dengan integritas moral yang rendah terlebih dalam kejujuran ilmiah atau para rawi dengan integritas moral tinggi namun tidak profesional dalam periwayatan hadits hingga sering melakukan kesalahan periwayatan.
Dengan merujuk pendapat ulama jarh wa ta’dil yang dirangkum dalam kitab tahzib al-kamal dan tahzib al-tahzib, bisa diketahui kesimpulan penilaian dari beragam penilaian yang disematkan pada rawi dimaksud. Ada fenomena unik dari kesimpulan penilaian terhadap rawi dalam kitab tahzib al-kamal dan tahzib al-tahzib sehingga rawi dapat dikelompokkan berdasar kesepakatan penilaian yang ada seperti tabel berikut:

No
Kategori
1
Muttafaq ‘ala tautsiqih (rawi yang disepakati integritas dan
profesionalitasnya)
a. Disepakati sebagai rawi hadits shahih
b. Disepakati sebagai rawi hadits hasan
c. Diperselisihkan antara sebagai rawi hadits shahih atau
hasan
2
Al-tsiqah alladzin dhu’ifu fi halin mu’ayyan (rawi tsiqah yang
dalam kondisi tertentu dinilai dha’if)
3
Muttafaq ‘ala tajrihih (rawi yang disepakati dhaif dengan
berbagai tingkatan
a. Disepakati sebagai rawi dengan katagori i’tibar
b. Disepakati sebagai rawi dengan katagori al-radd
4
Mukhtalaf fih (rawi yang diperselisihkan kualitasnya)
a. Berbeda antara katagori al-qabul dan al-i’tibar
b. Berbeda antara katagori al-qabul dan al-radd
c. Berbeda antara katagori al-i’tibar dan al-radd

Kesimpulan kualitas rawi dapat diketahui dan ditentukan kiranya rawi tersebut disepakati para ulama jarh ta’dil (muttafaq ‘ala ta’dilih ataupun muttafaq ‘ala tajrihih). Namun apabila rawi yang dimaksud diperselisihkan (mukhtalaf fih), tentu berimplikasi menimbulkan masalah yang ujungnya dipermasalahkan pula derajat hadits yang diriwayatkan.

Pada kasus rawi mukhtalaf fih, suatu keniscayaan bila serangan (tajrih) yang disifatkan mungkin didasarkan pada hal-hal subjektif kritikus (naqid), oleh karena para ulama jarh wa ta’dil mempertimbangkan perkara firqah, madzhab, bid’ah yang jelas terjadi dalam kaum muslimin, ada ulama (misal Imam Ahmad) yang berpendapat boleh menerima periwayatan rawi bermadzhab
(murji’ah, qodariyah dan golongan sesat lain) asal dia tidak mengajak orang lain dalam membahas madzhabnya. Di lain kondisi ada pula ulama yang keukeuh menolak selama rawi berbeda madzhab.

Dengan kondisi seperti ini tentu akan sangat rancu apabila tidak disusun kaidah yang kuat dalam penilaian jarh wa ta’dil, karena sebagai manusia setiap rawi tidak akan pernah luput dari kritikan (jarh). Dengan demikian kaidah jarh wa ta’dil mutlak harus ada sebagai acuan menilai kualitas integritas dan profesionalitas rawi.