Definisi Saksi dan Korban

Definisi Saksi

Pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dari acara pidana. Sebagaimana diketahui bahwa suatu keberhasilan dari suatu proses peradilan pidana sangat bergantung dari pada alat bukti yang berhasil dimunculkan dalam suatu proses persidangan terutama alat bukti yang berkenaan dengan saksi. Saksi merupakan alat bukti atau unsur yang paling penting dari sebuah proses pembuktian dalam proses persidangan suatu perkara.

Saksi merupakan kunci utama dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses persidangan karena dapat dikatakan bahwa keterangan dari saksi merupakan alat bukti yang utama dari suatu perkara pidana sebab tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian dari keterangan saksi. Hampir semua sumber pembuktian perkara pidana selalu bersumber dari keterangan saksi walaupun selain dari keterangan dari saksi masih ada alat bukti yang lain namun, pembuktian dengan menggunakan keterangan saksi masih sangat diperlukan. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 184 – 185 KUHAP yang menerapkan keterangan saksi pada urutan pertama hal ini juga dikarenakan keterangan saksi merupakan alat bukti yang pertama kalinya diperiksa dalam tahap pembuktian didalam persidangan.

Definisi Saksi dan KorbanSaksi dalam hukum pidana dapat saja ada semenjak mulainya suatu tindak pidana dimana tindak pidana ini mengakibatkan masyarakat merasa tidak aman dan tidak tertib serta merasa terganggu ketentramannya. Masyarakat menghendaki agar si pelaku dari suatu tindak pidana itu dihukum menurut hukum yang sedang berlaku. Saksi diperlukan guna mencari suatu titik terang atas telah terjadinya suatu tindak pidana.

Keterangan saksi sebagai alat bukti yang salah harus dibedakan apakah termasuk keterangan saksi sebagaimana tercantum pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP atau sebagai “petunjuk” sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1)d KUHAP.

Pengertian saksi dalam Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini menggunakan konsep tentang pengertian saksi seperti yang diatur oleh KUHAP yang membedakan adalah jika dalam KUHAP seseorang disebut sebagai saksi adalah pada tahap penyidikan sedangkan pada Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006 ini seseorang disebut sebagai saksi semenjak tahap penyelidikan dimulai.

Pasal 1 butir 26 dan 27 KUHAP diatur mengenai pengertian Saksi serta Keterangan Saksi.
Pasal 1 butir 26 KUHAP menyatakan:

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri.”

Pasal 1 butir 27 KUHAP menyatakan:

Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”


Berdasarkan kajian teoretik dan praktik dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. Apabila orang itu memang benar-benar mengetahui atas telah terjadinya suatu tindak pidana. Seseorang dipanggil menjadi saksi, tetapi menolak/tidak mau hadir di depan persidangan, saksi tersebut dapat diperintahkan supaya menghadap ke persidangan, hal ini sesuai dengan Pasal 159 ayat (2) KUHAP.

Pasal 159 ayat (2) KUHAP menyatakan:

Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk manyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan kepersidangan.”

Keterangan seorang saksi dalam hukum pidana tidak langsung saja dapat di jadikan alat bukti yang sah, karena begitu pentingnya keterangan seorang saksi maka agar dapat diterima sebagai alat bukti yang sah harus lah sesuai dengan ketentuan yang dinyatakan dalam Pasal 185 KUHAP.
Pasal 185 KUHAP:

  • Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan;
  • Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;
  • Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;
  • Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri – sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu;
  • Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi;
  • Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh – sunggguh memperhatikan:

  1. Persesuaian antara keterangan saksi atau satu dengan yang lain;
  2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
  3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
  4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
  5. umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

  • Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Umumnya semua orang dapat dijadikan saksi namun, ada orang – orang tertentu yang tidak dapat dijadikan saksi yaitu terdapat pada Pasal 168 KUHAP dimana pada Pasal tersebut dijelaskan orang – orang yang tidak dapat di jadikan seorang saksi suatu perkara pidana dalam suatu proses persidangan yaitu:

  1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa;
  2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
  3. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa.
Pasal 171 KUHAP ditambahkan kekecualian untuk memberikan kesaksian dibawah sumpah yaitu:

  1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
  2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.
Pasal 170 KUHAP yang menyatakan:

mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka”.

Adapun jenis – jenis saksi dalam peradilan pidana yaitu:

  • Saksi a charge ( Memberatkan )
Pada dasarnya menurut sifat dan eksistensinya maka keterangan saksi a charge adalah keterangan seorang saksi dengan memberatkan terdakwa dan terdapat dalam beberapa perkara serta lazim diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Saksi a charge ini dicantumkan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaannya. Hal ini dilakukan oleh Jaksa karena nantinya di persidangan ia harus dapat membuktikan semua tuntutan yang di jatuhkan kepada terdakwa

  • Saksi A de Charge ( Meringankan )
Merupakan saksi yang meringankan bagi tersangka/terdakwa atau saksi yang tidak menguatkan bahwa tersangka itu melakukan tindak pidana. Saksi meringankan ini diajukan oleh terdakwa pada saat persidangan di Pengadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 65 KUHAP yang mengatakan bahwa tersangka atau terdakwa berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau sesorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan baginya. Jaksa Penuntut Umum dapat menyatakan keberatan terhadap saksi – saksi a de charge ini namun keberatan itu harus di sertai dengan alasan – alasan yang dapat diterima.
  • Saksi Korban ( Mengalami sendiri )
Korban dari suatu tindak pidana berhak mengajukan laporan kepada penyidik atau penyelidik. Korban dapat dijadikan sebagai saksi yang umumnya disebut dengan saksi korban. Saksi korban ini dapat memberikan keterangan mengenai kejadian atau tindak pidana yang dialaminya sendiri.

  • Saksi Pelapor ( Mendengar/melihat sendiri)
Saksi pelapor merupakan orang yang bukan sebagai korban tindak pidana, tetapi ia adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri sacara langsung kejadian itu dan bukan diketahui oleh orang lain. Orang – orang yang menjadi saksi ini adalah seseorang yang memberikan laporan kepada aparat kepolisian bahwa telah terjadi suatu tindak pidana di suatu tempat atau dapat juga seseorang yang berada di tempat kejadian perkara tersebut.

  • Saksi Mahkota ( Yang bersama menjaadi terdakwa )
Saksi mahkota adalah saksi yang berasal dari atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama – sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Namun demikian kelemahan dari pemeriksaan seperti ini sering mengakibatkan terjadinya keterangan saksi palsu, sehingga ada kemungkinan yang timbul para terdakwa yang diperiksa menjadi saksi mahkota akan saling memberatkan atau meringankan.

  • Saksi Testamonium de Auditu
Saksi Testamonium de Auditu merupakan saksi yang menerangkan tentang apa yang didengarnya mengenai suatu tindak pidana dari orang lain. Sebenarnya saksi Testamonium de Auditu bukan merupakan alat bukti yang sah dalam suatu proses perkara pidana di persidangan sebab saksi Testamonium de Auditu ini tidak melihat atau mendengar sendiri suatu tindak pidana yang telah terjadi saksi ini hanya mendengar keterangan dari orang lain walaupun saksi ini tidak mendengar secara langsung mengenai telah terjadinya suatu tindak pidana tetapi saksi Testamonium de Auditu ini perlu pula didengar oleh Hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan Hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain. Saksi Testamonium de Auditu ini dapat dijadikan alat bukti yang sah jika tidak ada alat bukti lain.

Definisi Korban

Terjadinya suatu tindak pidana dalam masyarakat mengakibatkan adanya korban tindak pidana dan juga pelaku tindak pidana. Dimana dalam terjadinya suatu tindak pidana ini tentunya yang sangat dirugikan adalah korban dari tindak pidana tersebut. Ada beberapa pengertian mengenai korban, pengertian ini diambil dari beberapa penjelasan peraturan perundang – perundangan yaitu:

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 butir 2 menyatakan bahwa pengertian korban adalah:

Seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”

Menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985 pengertian korban adalah:

orang – orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.”

Pengertian tentang korban juga dapat dilihat dalam PP Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Kepada Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat yaitu menyatakan bahwa korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.

Korban juga dapat merupakan pihak yang sifatnya secara kolektif dan hanya bersifat perseorangan. Sebab, akibat terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa mengakibatkan jatuhnya korban yang bisa saja tidak hanya satu orang namun bisa saja korban dari tindak pidana tersebut lebih dari satu orang. Korban suatu tindak pidana ini dapat melaporkan secara langsung perkara pidana yang telah menimpa dirinya kepada pihak yang berwenang yaitu pihak kepolisian.

Korban dalam suatu tindak pidana berhak untuk medapatkan perlindungan baik itu bagi dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Mardjono Reksodipuro mengemukakan beberapa alasan mengapa korban memerlukan hak untuk mendapatkan perlindungan diantaranya adalah:

  1. sistem peradilan pidana dianggap terlalu memberikan perhatian pada permasalahan dan peran pelaku kejahatan;
  2. terdapat potensi informasi dari korban untuk memperjelas dan melengkapi penafsiran tentang statistik kriminal melalui riset tentang korban dan harus dipahami bahwa korbanlah yang menggerakkan mekanisme sistem peradilan pidana;
  3. semakin disadari bahwa selain korban kejahatan konvensional, tidak kurang pentingnya untuk memberikan perhatian kepada korban kejahatan non konvensional maupun korban penyalahgunaan kekuasaan.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut memang sudah seharusnya korban mendapatkan haknya untuk perlindungan.