SUDUT HUKUM | Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio mendefinisikan Bank Islam sebagai bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, yakni bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam.
Fakta yang paling mencolok dari pertumbuhan perbankan syariah dan keuangan syariah adalah, bahwa hal tersebut telah menunjukkan dimasukkannya hukum agama dalam wilayah kehidupan komersial pada saat dimana sekularisme mengatur hampir seluruh dunia.
Perbankan dan keuangan syariah merupakan wilayah dimana hukum Islam kontemporer mengalami perkembangan yang sangat cepat dan subur. Beberapa kemajuan yang sangat impresif telah banyak dicapai, dan langkahnya tampaknya menjadi semakin meningkat. Keberhasilan yang telah diperoleh antara lain : training para kader akademisi yang memiliki jiwa praktis, institusi-institusi baru dan metoda untuk pengembangan hukum, saluran baru untuk kerjasama internasional dalam penelitian dan opini hukum islam, dan keakraban dan hormat terhadap hukum islam dalam masyarakat non-muslim. Berbeda dengan hukum nasional, hukum Islam pada hakekatnya meliputi etika dan hukum, dunia dan akhirat, serta masjid (agama) dan negara. Hukum Islam tidak membedakan aturan yang dipaksakan oleh kesadaran individual dengan aturan yang dipaksakan oleh pengadilan atau negara.

Dengan diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, maka legalitas hukum baik dari aspek kelembagaan dan kegiatan usaha bank syariah telah diakomodir dengan jelas dan menjadi landasan yuridis yang kuat bagi perbankan dan para pihak yang berkepentingan. Demikian pula dengan berlakunya UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, telah memberikan landasan hukum yang kuat kepada Bank Indonesia untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap perbankan Syariah. Pada dasarnya pengaturan hukum kegiatan usaha bank syariah diupayakan untuk diberlakukan secara “equal treatment regulations” atau prinsip kesetaraan hukum.
Namun demikian kadangkala terdapat pengaturan yang bersifat khusus terhadap kegiatan usaha bank syariah yang disesuaikan dengan karakter usaha bank Syariah yang memiliki perbedaan yang sangat mendasar dibandingkan bank konvensional. Karakter kegiatan usaha bank Syariah yang berbeda dengan bank konvensional sudah berlaku standar dan diterima secara universal diterapkan pada berbagai negara yang mengadopsi sistem perbankan syariah. Standarisasi yang dilakukan seperti dalam penerapan akuntansi dan audit bank syariah yang diperlakukan secara khusus sebagaimana ditentukan dalam standar internasional untuk akuntansi dan audit lembaga keuangan syariah yang diterbitkan oleh AAOIFI Bahrain.
Dalam kegiatan usaha bank syariah peranan DPS juga sangat penting dalam rangka menjaga kegiatan usaha bank syariah agar senantiasa berjalan sesuai dengan nilai-nilai syariah, DPS harus independen dan terdiri dari para pakar Syariah Muamalah yang juga memiliki pengetahuan dasar bidang perbankan. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari DPS wajib mengikuti fatwa DSN. DSN merupakan badan independen yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa syariah terhadap produk dan jasa lembaga keuangan syariah di Indonesia. Saat ini terdapat dua issues yang akan sangat berpengaruh kepada perkembangan hukum perbankan syariah dan perkembangan perbankan syariah itu sendiri ke depan yang pertama adalah nasib RUU Perbankan Syariah yang saat ini masih sedang dalam tahap pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan masuknya sengketa ekonomi syariah ke dalam kompetensi Peradilan Agama.
Apabila kelak RUU Perbankan syariah disahkan menjadi Undang-undang diperkirakan bahwa perkembangan perbankan syariah akan menjadi lebih pesat lagi. Hal tersebut disebabkan RUU Perbankan Syariah telah memungkinkan ruang gerak yang lebih besar kepada kegiatan perbankan syariah yang tidak ”dibatasi” oleh pengertian dan batasan-batasan kegiatan perbankan konvensional yang cenderung lebih restriktif apabila dibandingkan dengan kegiatan perbankan syariah, khususnya di wilayah investasi dan perdagangan.
Dengan demikian bank syariah maupun nasabah bank akan memiliki keyakinan yang lebih tinggi di dalam melakukan kegiatan bisnis perbankan syariah. RUU Perbankan Syariah juga diharapkan dapat menjawab berbagai persoalan yang terkait dengan kewenangan dan koordinasi antar lembaga-lembaga yang berwenang terhadap pengaturan dan pengawasan perbankan syariah. Kejelasan kewenangan ini sangat diperlukan agar dapat menciptakan situasi yang kondusif bagi perkembangan perbankan syariah, dan dapat mendorong menciptakan suatu struktur kelembagaan dan hukum yang sesuai dengan kondisi ekonomi, politik dan hukum nasional. RUU ini diharapkan juga dapat memberikan pedoman dan arah yang jelas dalam hal penyelesaian sengketa di dalam maupun di luar pengadilan.
Dalam hal kompetensi peradilan, perkembangan yang menarik adalah dilakukannya perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. Perubahan yang dimaksud adalah tambahan dan perluasan kewenangan pengadilan agama yang meliputi juga bidang zakat, infaq dan ekonomi syariah. Sengketa ekonomi syariah yang dimaksud tidak saja meliputi bank syariah melainkan juga bidang ekonomi syariah lainnya seperti asuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah, dan sekuritas syariah.
Walaupun banyak kalangan menyambut baik amandemen Undang-undang Tentang Peradilan agama yang meliputi sengketa ekonomi syariah, nampaknya hal tersebut masih memerlukan proses perbaikan sarana dan prasarana Pengadilan Agama. Disamping itu, dikhawatirkan bahwa dengan dimasukannya sengketa perbankan syariah menjadi kompetensi Peradilan Agama diperkirakan secara psikologis dan politis akan menghambat perkembangan perbankan syariah dalam waktu mendatang. Dengan mempertimbangkan bahwa lebih dari 98% kegiatan perbankan di Indonesia masih merupakan kegiatan perbankan konvensional, maka pemberlakuan UU Peradilan Agama terhadap sengketa perbankan syariah ini dikesankan menjadi kegiatan ekslusif keagamaan (Islam).
Walaupun dimungkinkan konsep penundukan diri secara sukarela bagi non Islam kepada hukum Islam, secara psikologis dan politis akan menyulitkan mengingat dalam sistem hukum nasional dengan kedudukan warga negara yang sama konsep penundukan hukum akan mengesankan orang non muslim dalam posisi inferior. Dalam tahaptahap perkembangan awal perbankan syariah dewasa ini akan lebih baik nampaknya untuk memberikan kompetensi sengketa perbankan syariah dan ekonomi syariah lainnya dalam kompetensi peradilan umum (niaga). Dengan cara ini kegiatan perbankan (ekonomi) syariah akan dikesankan menjadi kegiatan inklusif alternatif perekonomian bagi orang-orang beragama Islam maupun non Islam di Indonesia. Dengan demikian konsep Islam sebagai rahmatan lil alamin akan lebih dirasakan dalam tataran praktek bisnis dan perekonomian nasional.
Di masa mendatang harus lebih dilakukan kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai arah pendekatan pengembangan perbankan syariah (ekonomi syariah), agar antara pengembangan praktikpraktik kegiatan ekonomi syariah akan lebih sejalan dan saling mendukung dengan pengembangan infrastruktur hukum perbankan syariah (ekonomi syariah). Hukum harus sedemikian rupa mendorong perkembangan perbankan syariah, dan bukan sebaliknya men-discourage perkembangan kegiatan perbankan syariah. Pembahasan yang masih berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat mengenai RUU Perbankan Syariah diharapkan dapat menjawab sebagian persoalan dan keragu-raguan mengenai arah perkembangan perbankan syariah ke depan, termasuk arah perkembangan hukum yang mengatur kegiatan perbankan syariah.