Pendapat Ulama’ tentang Penentuan Awal bulan Kamariyah

SUDUT HUKUM | Pendapat Ulama’ tentang Penentuan Awal bulan Kamariyah

bercerita kepada kami Adam, bercerita kepada kami Muhammad bin Ziyad, ia berkata : aku mendengar Abu Hurairah RA berkata : bersabda Nabi SAW : “berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal,, dan apabila mendung maka sempurnakanlah Bulan Syakban menjadi 30 hari. (HR. Al-Bukhari).


Fiqih penentuan awal bulan Kamariyah berawal dari berbedanya pemahaman terhadap hadits diatas. Dan hal inilah yang menjadi akar lahirnya mazhab-mazhab dalam penentuan awal bulan Kamariyah. Hadits diatas dapat kita jadikan sebagai patokan untuk menentuakan awal bulan Kamariyah. Oleh karena itu apabila hadits diatas dipahami dengan pemahamn yang berbeda-beda, maka wajar apabila masing-masing pemahaman melahirkan metode yang berbeda pula.

Pendapat Ulama’ tentang Penentuan Awal bulan Kamariyah



Dalam hadits diatas digunakan kata kerja perintah (fi’il amar) “ صىمىا “ yang artinya “ berpuasalah” dan kata “ وافطروا “ yang artinya “ berbukalah atau berlebaranlah” dan indikasi (qarinah)-nya لرؤ يته “ (karena melihat Bulan).

Dalam kajian ushul fiqh “ Melihat Bulan “ disini disebut sebab. dan kata صىمىا dan اوافطرو ini ditujukan untuk masyarakat banyak74. Para ulma sepakat bahwa perintah tersebut menunjukan suatu kewajiban. Hal ini sesuai dengan kaidah :

Ashal dari perintah itu adalah wajib”

Hemat penulis bahwa perintah dalam hadits diatas adalah ditujukan kepada seluruh umat islam di dunia, akan tetapi perintah rukyah atau melihat hilalnya tidak diwajibkan kepada semua orang.

Ibnu Hajar Asqalani mengatakan bahwa Rasulullah SAW itu tidaklah mewajibkan rukyah untuk setiap orang yang hendak melaksanakan ibadah puasa. Akan tetapi hanyalah ditujukan kepada salah seorang atau sebagian orang yang dianggap mampu melaksakannya. Demikian pendapat menurut Jumhur Ulama. Dan pendapat lain juga mengatakan bahwa dengan dua orang yang adil.

Al-San’ani mengatakan, bahwa menurut lahiriyah hadits tersebut mengisyaratkan rukyah adalah untuk semua orang. Akan tetapi apabila sudah ditetapkan bahwa ijtima telah terjadi dan menentukan bahwa rukyah cukup dicapai oleh seorang atau dua orang yang adil. Annawawi juga menerangkan bahwa rukyah itu cukup dicapai oleh dua orang yang adil ditara kaum muslimin tidak diisyaratkan setiap orang harus melakukan rukyah.

Acuan dalam menentukan waktu dalam islam terutama dalam penentuan awal bulan Kamariyah adalah hilal. Hilal dijelaskan dalam Alqur’ an sebagai berikut:

Mereka bertanya kepadamu tentang Bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”. (QS. AlBaqoroh:189)

Dalam memahami ayat diatas, diantaranya ada dua pendapat ulama yang dapat diambil, yaitu:
1. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah

Imam ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat tersebut menjadi sebuah ketetapan agama dalam mengetahui waktu „iddah bagi wanita-wanita waktu haji mereka.

2. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Menurut Syaikh Islam Ibnu Taimiyah bahwa Allah telah menciptakan hilal sebagai tanda waktu bagi manusia pada hukum-hukum yang ditetapkan dengan syari’ah seperti puasa, haji, masa iddah, dan kafarat puasa.

Di lain pihak bahwa Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tandatanda waktu bagi manusia itu dibatasi dengan sesuatu yang tampak dan jelas. Bermula dari sini kemudian orang mengatakan bahwa dalam menentukan awal bulan Ramadhan harus berpegang teguh pada Rukyah hilal, dan bukan pada hisab. Seperti yang sudah disinggung di pembahasan sebelumnya, bahwa permasalahan yang lain dalam Mazhab rukyah ini adalah permasalahan tentang mathla’.

Menurut Imam Hanafi dan Maliki penanggalan Kamariah harus sama di dalam satu wilayah hukum suatu negara. Menurut Imam Hambali, kesamaan tanggal Kamariah ini harus berlaku di seluruh dunia di bagian malam dan siang yang sama. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, penanggalan Kamariah ini hanya berlaku di tempat-tempat yang berdekatan sejauh jarak yang dikatakan satu mathla’. Dalam prakteknya batas mathla’ ini tidak jelas, sehingga muncul Wilayat al-Hukmi.

Indonesia menganut prinsip wilayat al-hukmi yakni bahwa bila hilal terlihat di manapun dalam wilayah wawasan nusantara, maka dianggap berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Meskipun wilayah Indonesia dilewati oleh garis penanggalan Islam Internasional yang secara teknis berarti bahwa wilayah Indonesia terbagi atas dua bagian yang mempunyai tanggal Hijriah yang berbeda, maka seluruh umat Islam di Indonesia melaksanakan ibadah puasa dan berhari raya secara serentak.

Selain pendapat diatas, ada dua pendapat lain sebagi berikut:
a. Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah
Mengatakan bahwa apabila seseorang di Saudi Arabiyah atau di negara lain memulai puasanya lebih dahulu dari pada negara yang akan dikunjungi, kemudian sisanya berpuasa di negara yang akan dikunjunginya tersebut, maka ia harus berbuka bersama penduduk negara tersebut, meskipun lebih satu hari. Kemudian beliau mengatakan bahwa apabila seseorang berpuasa kurang dari 29 hari karena bersafar, maka hendaklah bias menyempurnakannya. Hal ini karena Bulan tidak ada yang kurang dari 29 hari.

b. Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullah
Mengatakan pendapat yang senada dengan pendapat syaikh Abdul bin Baz, yaitu setiap muslim berpuasa dan berbuka bersama kaum muslimin di negaranya. Hendaknya kaum muslimin memperhatikan hilal di Negara tempat tinggal mereka, hal ini karena mathla’ tersebut berbeda pada masing-masing negara.

c. Syaikh Muhammad Arsyad al_banjari
Mengatakan bahwa apabila seorang dari penduduk negeri yang melihat hilal pergi ke negeri yang tidak melihat hilal dan kedua negeri itu berbeda mathla’nya, maka wajiblah mengikuti mereka dalam berpuasa pada akhir Bulan sekalipun puasa mereka sudah cukup 30 hari. Hal ini karena dia berpindah ke negeri mereka maka ia menjadi salah seorang penduduknya. Dan begitu juga sebaliknya apabila seorang dari penduduk negeri yang tidak melihat hilal berpindah ke negeri yang melihat hilal, dan antara kedua negara tersebut berbeda mathla’ maka wajiblah bagi mereka mengikuti berbuka menurut negeri yang kedua. Akan tetapi apabila puasanya masih 28 maka dia wajib mengqadha puasanya sebanyak satu hari, karena bulan tidak ada yang berjumlah kurang dari 29 hari.

Dari pendapat para ulama diatas dapat disimpulkan bahwa kata صىمىا hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin yang mathla’nya adalah sama.

Rujukan:

  • Abu Yusuf al-Atsari , Pilih Hisab atau Rukyah, Solo: Darul Muslim, 135, dikutip dari kitab , Fatwa Ramadhan, juz I,.
  • Abi Ishaq Ibrohim ibn Musa al-Gharnathy al-Syatiby, al-Muwafaqaqat fi Ushul al- Ahkam , juz II , Beirut :Daar al-Fikr, 1341 H.
  • Abdul Hamid Hakim , Mabadiul Awaliyah fi Ushulul Fiqh wal Qowaaidul Fiqhiyah, Jakarta: Sa’adiyah Putra,.
  • Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarh Sahih Bukhori , cet I, juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1998.