Pandangan Ulama Terhadap Surat Al-Ikhlas

SUDUT HUKUM | Surat al-Ikhlas diturunkan sebelum hijrah, maka ia disebut surat makkiyah, terdiri dari 4 ayat, 15 kalimat dan 47 huruf. Surat ini turun setelah surat al-Nas. Surat ini mengandung pilar terpenting mengenai dakwah Nabi, yakni penjelasan tentang prinsip tauhid dan mensucikan Allah. Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa, “sesungguhnya surat ini menyamai sepertiga al-Qur’an”.

Pandangan Ulama Terhadap Surat Al-Ikhlas


Orang yang mengerti makna surat ini dengan penghayatan yang mendalam tentang kebenaran yang dikandungnya, maka ia akan memahami bahwa apa yang diuraikan di dalam agama Islam, yakni masalah tauhid dan mensucikan Allah, semuanya itu telah disebutkan secara global di dalam surat ini. Hal itu sebagaimana dikutip HAMKA dalam tafsir al-Azhar sebagai berikut:

Ibnu Qayyim menulis dalam Zaad al-Ma’ad: “Nabi saw selalu membaca pada shalat sunnat al-Fajar dan shalat al-Witir surat al-Ikhlas dan al- Kafirun. Karena kedua surat itu mengumpulkan tauhid ilmu dan amal, tauhid ma’rifat dan irodat, tauhid i’tiqad dan tujuan. Surat al-Ikhlas mengandung tauhid i’tiqad dan ma’rifat dan apa yang wajib dipandang tetap teguh pada Allah menurut akal murni yaitu Esa, Tunggal. Nafi yang Muttlaq daripada berserikat dan bersekutu dari segi manapun. Dia adalah pergantungan yang tetap, yang pada-Nya berkumpul segala sifat kesempurnaan, tidak pernah berkurang dari segi manapun. Nafi daripada beranak dan diperanakkan, karena kalau keduanya itu ada, Dia tidak jadi pergantungan lagi dan keesaan-Nya tidak bersih lagi. Dan Nafi atau tiadanya kufu’, tandingan, bandingan dan gandengan adalah menafikan perserupaan, perumpamaan atau pandangan lain. Sebab itu maka surat ini mengandung segala kesempurnaan bagi Allah dan menafikan segala kekurangan. Inilah dia pokok tauhid menurut ilmiah dan menurut aqidah, yang melepaskan orang yang berpegang teguh kepadanya dari kesesatan dan mempersekutukan.

Surat al-Ikhlas ini mengumpulkan tauhid ilmu dan bahkan merupakan puncak ilmu tentang aqidah. Itulah sebab Nabi mengatakan sepertiga al-Qur’an. Dan hadits-hadits yang mengatakan demikian boleh dikatakan mencapai derajat mutawatir.
Keutamaan lain dari surat al-Ikhlas ini antara lain juga tercantum dalam hadits riwayat al-Nasa’i melalui jalur A’isyah r.a. yang menjelaskankan bahwa surat ini mengandung sifat Allah SWT maka siapa yang suka membacanya, Allah juga suka pada-Nya. Sebagaimana riwayat
dari Buraidah r.a.:

Suatu ketika Nabi saw mendengar seorang laki-laki berdo’a dan berkata: “Ya Allah sesungguhnya aku memohon padamu dengan mengaku bahwa aku menyaksikan Engkaulah Allah Yang tiada Tuhan selain dari pada Mu, Maha Esa, Maha dibutuhkan, yang tidak berputra, tidak diputrakan dan tidak ada sesuatu apapun yang menyamai-Nya.” Buraidah melanjutkan keterangannya: demi mendengar itu, lalu Nabi Saw bersabda: Demi zat yang dijiwaku ada di dalam genggaman-Nya. Sesungguhnya orang itu telah memohon kepada Allah dengan namanya yang teragung, yang apabila dipanjatkan do’a dengan menggunakan nama itu maka Allah akan mengabulkannya dan apabila dimintai pasti akan diberinya.

Mukmin yang mengerti makna surat ini dan menghayatinya serta mengamalkan dalam segala hal, maka dia wajib masuk surga. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw melalui jalur Abu Hurairah bahwa seseorang yang membaca قل هو الله احد baginya wajib masuk surga.
Ahmad Mustafa al-Maraghi berpendapat dalam kitab tafsirnya bahwa surat ini mengandung nilai sanggahan terhadap keyakinan kaum musyrik dengan seluruh aneka keyakinannya. Allah mensucikan diri-Nya dari berbagai sifat yang menjadi keyakinan kaum musyrik melalui firman-Nya “Allahu Ahad”. Allah juga mensucikan diri-Nya dari hal-hal yang baru dan berawal dari firman-Nya “Lam Yalid”. Allah mensucikan diri-Nya pula dari segala bentuk rupa yang sejenis atau serupa dengan-Nya melalui firman-Nya “Wa Lam Yulad”. Allah juga mensucikan diri-Nya dari adanya sekutu melalui firman-Nya “Lam Yakun lahu Kufuwan Ahad”.
Pendapat lain dari M. Yusran Asmuni dalam bukunya Ilmu Tauhid, bahwa surat al-Ikhlas ini menyatakan bahwa Allah itu Esa, satu tunggal. Allah bahkan memberi penegasan khusus bahwa Allah tidak beranak, tidak pula diperanakkan. Pernyataan ini secara tegas menolak anggapan bahwa Allah punya anak, apa lagi kalau Allah dilahirkan oleh yang lain. Hal ini merupakan inti ajaran Tauhid yang harus dipegangi oleh semua umat Islam.
Berbeda dengan al-Maraghi, Ibnu Katsir dan Hamka, Quraish Shihab berpendapat bahwa surat ini merupakan wahyu yang kesembilanbelas yang diterima oleh Nabi Muhammad saw., sesudah turunnya surat al-Fiil. Ini didasarkan pada riwayat Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah bahwa beberapa orang Yahudi, diantaranya Ka’b bin al-Asyraf dan Hayy bin Akhthab, menghadap nabi Muhammad saw. mereka berkata : “Hai Muhammad, lukiskan sifat-sifat Rabb yang mengutusmu.” Ayat ini (QS. 112 :1-4) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. Menurutnya surat al-Ikhlas ini menetapkan ke-Esa-an Allah secara murni dan menafikan segala macam kemusyrikan terhadap-Nya. Wajar jika Rasul saw. menilai surat ini sebagai “sepertiga al-Qur’an”.
Dalam surat al-Ikhlas ini, Allah menjelaskan keadaan pribadinya; bahwa Allah itu Esa dalam dzat, sifat dan af’al-Nya. Allah tempat semua orang yang berhajat memanjatkan permohonan pada-Nya. Dia tidak ada seorang anakpun yang muncul dan tidak diperanakkan, sebab tidak ada permulaan perihal wujud-Nya. Dan tidak ada seorangpun menyamai ataupun menyerupai-Nya.

Rujukan:
  • M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas surat-surat pendek berdasarkan urutan turunnya wahyu, Pustaka Hidayah, bandung, 1997
  • Muhammad Abu Zahra, Aqidah Islamiyyah, Terj. Drs. Imam Sayuti Farid, al-Ikhlas, Surabaya, t.t.
  • Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1989,
  • Ibnu Katsier, Tafsir Ibnu Katsier, Jilid 9, Terj. Salim Bahreisy, dkk., PT Bina Ilmu, Surabaya, 1991.
  • Warson al-Munawwir, Al- Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progresif, Surabaya, 1984,
  • Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,terj. Bahrun abu Bakar, LC., dkk, Jilid 30. CV. Toha Putra, Semarang,
  • Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 10, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 1993,
  • Fatchur Rahman, Drs., Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT Al Ma’arif, Bandung, 1991,
  • Jalaluddin al-Suyuthi, Sunan al-Nasa’i, Juz I, Dar al-Kitab al-‘Alamiyyah, Beirut, Libanon, t. t.
  • M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Rajawali Pers, Jakarta, 1993,
  • Sayid Sabiq, Aqidah Islam, Cet. XII, CV. Diponegoro, Bandung, 2001
  • Jalaluddin al-Suyuthi, Op Cit, hlm. 171, Lihat Abi Bakr Muhammad bin ‘Abdullash al-Ma’ruf, Ahkam Al-Qur’an, Dar al-Kitab al-‘Alamiyyah, Beirut, Libanon, t. t.