Dasar Peniadaan Pidana dalam Hukum Pidana Indonesia

SUDUT HUKUM | Dasar peniadaaan pidana (strafuitluitingsgronden) harus dibedakan dengan dasar penghapusan penuntutan (verval van recht tot strafvordering). Dasar peniadaan pidana ditetapkan hakim dengan menyatakan hilangnya sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau hilangnya kesalahan pembuat, karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat.


Dalam hal ini hak menuntut jaksa tetap ada, namun terdakwa tidak dijatuhi pidana. Dasar penghapusan pidana harus dibedakan dan dipisahkan dari dasar penghapusan penuntutan pidana menghapuskan hak menuntut jaksa karena adanya ketentuan undang-undang.

Terwujudnya suatu tindak pidana, tidak selalu dijatuhkan hukuman atas pelakunya. KUHP telah menetapkan dasar-dasar atau alasan-alasan yang meniadakan pidana. Dasar peniadaan pidana adalah alasan-alasan yang memugkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak dipidana.

Dilihat dari segi sumbernya, dasar peniadaan pidana dibagi menjadi dua kelompok, yaitu dasar peniadaan pidana yang tercantum dalam undang-undang dan dasar peniadaan pidana yang terdapat di luar undang-undang. Namun penulis dalam bab ini hanya menjelaskan dasar peniadaan pidana yang bersumber pada undang-undang, khususnya dalam Buku kesatu Bab III KUHP.

Dalam ilmu hukum pidana, dasar peniadaan pidana dapat dibedakan mejadi:

a. Adanya Ketidakmampuan Bertanggung Jawab (Ontoerekeningsvatbaarheid)


Pasal 44 KUHP merumuskan:

Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”

Berdasarkan pasal tersebut, terdapat dua penyebab tidak dipidananya pelaku tindak pidana, yaitu:

  • Karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya
  • Karena terganggu jiwanya karena sebab penyakit.
Undang-undang tidak memberikan keterangan yang jelas tentang orang yang tidak mampu bertanggungjawab, sehingga tindakannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Di dalam Memory van

Toeliching terdapat keterangan tentang ketidakmampuan bertanggungjawab, yaitu:

  1. Apabila si pelaku tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang dan apa yang diperintahkan oleh undang-undang.
  2. Apabila pelaku dalam keadaan yang sedemikian rupa, sehinggga dia tidak dapat menyadari bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.
Dalam praktik hukum, sepanjang pelaku tindak pidana tidak memperlihatkan gejala kejiwaan tidak normal, maka keadaan jiwa si pelaku tidak dipermasalahkan. Sebaliknya ketika nampak gejala-gejala

tidak normal, maka gejala-gejala itu harus diselidiki apakah benar dan merupakan alasan pemaaf sebaagaimana dimaksudkan pasal 44 ayat 1.


b. Daya Paksa (Overmacht)


Daya paksa dalam istilah hukum pidana disebut dengan overmacht. Sejarah perundang-undangan merupakan overmacht merupakan alasan atau sebab eksternal yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan menggambarkan bahwa setiap daya, dorongan, paksaan yang membuat seseorang tidak berdaya menghadapinya.

Dasar peniadaan pidana karena daya paksa dirumuskan dalam pasal 48 KUHP yaitu:

Barangsiapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”

Dasar inilah yang nantinya akan menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini.

c. Pembelaan Terpaksa (noodweer)


Pembelaan terpaksa dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 sebagai berikut:

Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri atu orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga.”

Dari rumusan di atas dapat diambil dua pokok kesimpulan yaitu:

  • Unsur nengenai syarat pembelaan terpaksa, meliputi:
  1. Pembelaan terpaksa dilakukan karena sangat terpaksa
  2. Untuk mengatasi adanya serangan atau ancaman serangan seketika yang bersifat melawan hukum.
  3. Serangan atau ancaman serangan ditujukan pada 3 kepentingan hukum atas: badan, kehormatan kesusilaan, dan harta benda sendiri atau orang lain.
  4. Harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan berlangsungnya serangan, atau bahaya yang masih mengancam.
  5. Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan serangan yang mengancam.
  • Unsur dalam hal apa terjadinya pembelaan terpaksa, meliputi:
  1. Dalam untuk membela dirinya sendiri atau orang lain, dan serangan ditujukan pada fisik atau badan manusia.
  2. Dalam hal membela kehormatan kesusilaan
  3. Dalam hal membela harta benda diri sendiri atau harta benda orang lain.
Perbuatan yang masuk dalam pembelaan terpaksa pada dasarnya adalah tindakan menghakimi terhadap orang yang berbuat melawan hukum terhadap diri orang itu atau orang lain (eigenriching).

Tindakan ini dilarang oleh undang-undang tapi dalam hal pembelaan terpaksa seolah-olah suatu eigenriching yang diperkenankan oleh undang-undang, berhubung dalam hal serangan seketika yang melawan hukum ini. Negara tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi penduduknya, maka orang yang menerima serangan seketika yang mealwan hukum, diperkenakan melakukan perbuatan sepanjang memenuhi syarat untuk melindungi kepentingan sendiri atau orang lain.


Penyerangan yang melawan hukum seketika itu melahirkan hukum darurat yang membolehkan korban melindungi dan mempertahankan kepentingannya atau kepeentingan hukum orang lain olehnya sendiri. Inilah dasar filosofi pembelaan terpaksa.

d. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces)


Dirumuskan dalam pasal 49 ayat 2:

Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncanngan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”

Dalam pasal ini dapat dipahami bahwa serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum dan menyebabkan goncangan jiwa yang hebat sehingga orang yang terancam melakukan tindak pidana yang lebih berat dari ancaman serangan yang menimpanya, maka perbuatan tersebut tidak dipidana.

Schravendik memberikan contoh ada seorang laki-laki secara diam-diam masuk ke kamar seorang gadis dengan maksud hendak menyetubuhi gadis tersebut. Pada saat laki-laki meraba-raba tubuh si gadis, terbangunlah dia. Dalam situasi yang demikian, tergoncanglah jiwa antara amarah, bingung, ketakutan yang hebat, sehingga dengan tiba-tiba gadis itu mengambil pisau di dekatnya dan laki-laki tersebut ditikam hingga mati.

Oleh sebab adanya kegoncangan jiwa yang hebat inilah, maka pakar hukum memasukkan noodweer exces ke dalam alasan pemaaf karena menghilangkan unsur kesalahan pada diri si pembuat.

e. Menjalankan Perintah Undang-undang


Peniadaan pidana berdasarkan menjalankan perintah undangundang dirumuskan dalam pasal 50 KUHP yang berbunyi:

Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”.

Yang dimaksud perbuatan dalam pasal di atas adalah perbuatan tindak pidana yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukannya. Sedangkan maksud ketentuan undang-undang dalam arti luas adalah peraturan undang-undang yang dibuat oleh parlemen (DPR) bersama pemerintah dan segala peratuan yang ada di bawahnya, seperti peraturan pemerintah, peraturan daerah, karena semua peraturan itu terbentuk oleh kekuasaan yang berdasarkan undang-undang. Contohnya seorang tersangka yang melarikan diri, maka petugas menembak kaki tersangka untuk melumpuhkannya.


f. Melakukan Perintah Jabatan


Dasar peniadaan pidana karena menjalankan perintah jabatan yang sah dirumuskan dalam pasal 51 ayat 1 KUHP yang berbunyi:

Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

Ketentuan ini sama dengan alasan peniadaan pidana oleh sebab menjalankan perintah undang-undang, dalam arti kedua dasar ini menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Selain itu keduaduanya berupa perbuatan yang boleh dilakukan sepanjang menjalankan kewenangan berdasarkan undang-undang maupun perintah jabatan.

Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan jinayat yang terdapat dalam hukum Islam, yaitu Q.S. Al-Isra’ (17): 33 yang berbunyi:

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.

Melainkan dengan suatu alasan yang benar dalam ayat di atas mempunyai pengertian karena melaksanakan perintah undang-undang, karena melaksanakan perintah jabatan yang sah, dan karena peraturan perundangan mengizinkan untuk berbuat yang demikian.

g. Menjalankan Perintah Jabatan Yang Tidak Sah Dengan I’tikad Baik


Dasar peniadaan ini dirumuskan dalam pasal 51 ayat (2) yang berbunyi:

Perintah jabatan tanpa wenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali apabila yang menerima perintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Dari apa yang dirumuskan dalam pasal di atas, terdapat dua syarat yang wajib dipenuhi agar orang yang menjalankan perintah yang tidak sah dengan i’tikad baik itu tidak dipidana yaitu:

  • syarat subjektif, yaitu dengan i’tikad baik dia mengira bahwa perintah itu adalah sah
  • syarat objektif adalah pada pelaksanaannya pelaksanaan perintah itu masuk dalam bidang tugas jabatannya.