Pengertian Safih

SUDUT HUKUM | Untuk mengetahui pengertian safih ditinjau dari segi etimologi atau terminologi yaitu:

Pengertian safih secara etimologi


Kata safih berasal dari bahasa Arab “as-Safih” yang berarti “ringan” (al-Khiffah) karena cara berfikir orang safih biasanya sangat ringan dan dangkal sehingga hasilnya lebih banyak yang salah. Dan juga berarti “bergerak” (at-Taharruk) karena ia selalu bergerak melakukan sesuatu tanpa lebih dahulu memikirkan akibat baik dan buruknya.

Pengertian safih secara terminologi


Imam al-Bazdawi mendefinisikan safih sebagai keadaan yang ada pada seseorang yang mendorongnya berbuat mubadzir (boros, menghambur-hamburkan dan menggunakan hartanya tidak pada tempatnya) dan melakukan perbuatan yang membawa kepada kerusakan atau kesia-siaan hartanya yang sama sekali tidak sesuai dengan akal sehat dan syarak.

Pengertian Safih

Menurut Abu Zahra safih adalah keadaan yang membuat seseorang tidak bisa mengelola hartanya dengan baik, sehingga ia pergunakan tidak pada tempatnya. Di dalam ilmu fiqh safih adalah ketidakpandaian seseorang dalam mentasyarufkan (membelanjakan) hartanya secara tepat sesuai dengan pertimbangan akal yang sehat dan ketentuan-ketentuan syara’ sebab ia dalam membelanjakan hartanya hanya menuruti kehendaknya.
Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa orang safih adalah orang yang tidak dapat mengelola hartanya dengan baik, menginfakkannya dengan jalan yang tidak dihalalkan dan di dalam kebatilan, dia melakukan hal itu dengan boros dan berlebih-lebihan.
Orang yang bodoh sesungguhnya mempunyai akal, hanya saja kemampuan akalnya tidak memenuhi syarat untuk digolongkan kepada orang yang cakap bertindak hukum. Bodoh di sini tidak sama dengan keadaan tidak tahu “(al-Jahl)” pada keadaan tidak tahu, seseorang memiliki akal sempurna namun ia belum menerima informasi tentang sesuatu hal termasuk dalam menerima dakwah Islam (jahiliyah), ketidaktahuan ini ada yang dipandang sebagai uzur (keadaan yang membolehkan seseorang untuk tidak melakukan kewajiban sebagaimana mestinya).

Rujukan:

  • Abu Zahra, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan VIII, 2003,
  • Proyek Pembinaan Pra Sarana dan Sarana Perguruan Tinggi IAIN, Ilmu Fiqh., jilid II, 1984,
  • Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiyar Baru Van Hoeve, Cet.1, 1996.