Metode Istimbath Hukum Imam Malik

SUDUT HUKUM | Sebagai seorang ulama besar, tentu saja dalam berikan fatwa dan menyelesaikan persoalan yang menyangkut agama, Imam Malik tidak sembarangan dalam memakai dasar hukumnya. Tetapi hal tersebut justru langsung pada tataran praktek, meskipun demikian oleh para murid-muridnya dan pengikutnya methode istimbath beliau dapat disimpulkan dengan melihat pada kitab al-Muwattha’ dan al-Mudawwamah al-Kubra.

As-Syatibi dalam al-Muwafaqat berpendapat mengenai dasar-dasar yang dipakai oleh Imam Malik dalam menetapkan hukum bersumber pada empat dasar saja yaitu: al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’, ar-Ra’yu.
Metode Istimbath Hukum Imam Malik
Lain halnya dengan Hasbi ash-Shiddieqy menyimpulkan dasar hukum yang dipakai oleh Imam Malik adalah al-Quran as-Sunnah, Amalan Ahli Madinah, Qiyas, Fatwa sahabat, Maslahah Mursalah, Sadd adz-Dzara’i, Istihsan, Istishab dan ‘Urf. Maka dapat kita lihat bahwa sumber hukum yang beliau pakai yaitu:

Al- Quran

Al-Quran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat jibril dengan bahasa Arab dan agar menjadi hujjah Nabi dalam pengakuannya sebagai Rasul.

Imam malik menjadikan al-Quran sebagai dalil utama, karena al-Quran merupakan asal dan hujjah syariah kandungan hukumnya elestis abasi sampai hari kiamat. Beliau mendahulukan al-Quran daripada hadist dan dalil-dalil di bawahnya, beliau mengambil nash yang sharih yang tidak menerima ta`wil, mengambil Mafhum Muwafaqoh, Mafhum Mukhalafah dan juga mengambil tanbih terhadap illat hukum.

As-Sunah

Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasullullah saw. baik berupa ucapan, perbuatan, atau pengakuan. Imam Malik menetapkan sunnah dalam urutan kedua setelah al-Quran, ia memakai hadist mutawatir yaitu yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang terpecaya tak pernah berdusta atau semisalnya, memakai hadist masyhur yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seorang sahabat atau dua orang atau lebih sahabat, namun mencapai derajat mutawatir, kemudian yang diriwayatkan oleh beberap.a sahabat yang terpercaya dari kebohongan atau yang diriwayatkan oleh seorang tabi’in atau lebih.

Di samping itu Imam Malik berhujjah dengan khabar ahad yaitu hadist non mutawatir dan juga tidak masyhur di masa tabi’in dan masa tabi’it tabi’in. Pada hakekatnya khobar ahad ini sama kedudukannya dengan amalan Ahli Madinah. Namun beliau lebih mendahulukan qiyas daripada memakai khabar.

Amalan Ahli Madinah

Imam Malik menjadikan hujjah amalan ahli Madinah dengan syarat bahwa amalan tersebut tidak mungkin ada kecuali bersumber dari Nabi saw. yaitu apa yang telah disepakati oleh sholehnya orang-orang Madinah, maka beliau berpendapat bahwa mengamalkannya adalah lebih kuat dengan dii’tibarkan sebagai naql dari Nabi yang demikian dimaksudkan sebagai khabar.

Fatwa Sahabat

Fatwa ini dipandang sebagai hadits yang wajib dilaksanakan. Dalam kaitan ini Imam Malik mendahulukan fatwa sebagian sahabat dalam soal manasik haji dan meninggalkan sebagian yang lain, dengan alasan sahabat yang bersangkutan tidak melaksanakannya. Karena hal ini tidak mngkin dilakukan tanpa adanya perintah dari Nabi saw. Sementara itu, masalah manasik haji tidak mungkin bisa diketahui tanpa adanya penukilan langsung dari Nabi saw. Imam Malik juga mengambil fatwa tabi’in besar, tetapi tidak disamakan kedudukannya dengan fatwa sahabat.

Qiyas

Imam Malik mengambil qiyas adalah menyamakan hokum masalah yang tidak ada hukumnya dalam teks al Qur’an dan sunnah dengan hukum masalah yang terdapat hukumnya dalam salah satu atau kedua sumber tersebut disebabkan kesamaan ‘illatnya.

Malik mengqiyaskan hukum kepada hukum yang dinashkan dalam al Qur’an, kepada hukum yang dikeluarkan dari as Sunnah. Bahkan Malik mengqiyaskan hukum kepada fatwa-fatwa sahabat. Sebagian qiyas disisi Imam Malik ada yang mencapai derajat mengalahkan nash yang dhanni. Karena qiyas itu dikuatkan oleh aqidah-aqidah yang umum, qiyas yang begini didahulukan oleh khabar ahad.

Mashlahah Mursalah

Imam Malik dan Imam Ahmad serta para pengikutnya berpendapat bahwa istishlah adalah cara yang diakui syari’at untuk menyimpulkan hukum yang tidak ada nash dan ijma’. Dan mashlahah yang dianggap sah untuk ditentukan menjadi hukum syari’at adalah mashlahah yang syar’i tidak mempunyai ketentuan.

Istihsan

Imam Malik di samping menggunakan fatwa shahabi, juga menggunakan istihsan sebagai methode istimbath hukum. Istihsan menurut Imam Malik seperti yang dikutip as-Syatibi adalah:

Mengambil kemaslahatan yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kulli”


Maksudnya adalah istihsan lebih mementingkan masalah juz’iyyah dibandingkan dengan dalil yang bersifat umum. Ibnu al-Arabi salah seorang diantara Imam Maliki berpendapat bahwa istihsan adalah beramal dengan yang paling kuat dari dua buah dalil. Maksudnya bukan berarti meninggalkan dalil dari dua dalil, namun berpindah dari satu dalil ke dalil yang lain yang lebih kuat kandungannya.

‘Urf

Imam Malik juga menggunakan ‘urf sebagai methode dalam menetapkan hukumnya, mereka menjadikan ‘urf sebagai dalil hukum yang muntaqil (mandiri) dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya yang qath’i dan tidak ada larangan syara’ terhadapnya.

Seperti biasanya Imam Malik meninggalkan qiyas apabila berlawanan dengan ‘urf juga, menggunakan ‘urf untuk mentakhsish lafadz yang ‘am dan muntaqyid yang mutlaq.22 Sama halnya dengan ungkapan Abdul Wahhab Khalaf yang mengatakan ‘urf itu wajib untuk dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam peradilan. Karena seorang mujtahid haruslah memperhatikan tradisi (kebiasaan) dalam memperhatikan tradisi (kebiasaan) dalam peradilannya. Sesungguhnya sesuatu yang telah menjadi kebiasaan manusia dan sesuatu yang telah biasa menjalani maka hal itu telah biasa mereka jalani, maka hal itu telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka.

Itulah uraian dari beberapa pegangan Imam Malik dalam menetapkan hukum atau memberikan fatwa, seperti yang kita ketahui bahwa Imam Malik tidak membukukan sendiri dasar-dasar yang menjadi landasan madzhabnya, jika kita tidak menyandarkan semuannya kepada Imam Malik, maka barang tentu kita dapat menyandarkan kepada ulama Malikiyyah.

_____________

Rujukan:

  • Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzab, Semarang: PT Rizki Putra, 1997
  • Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
  • Dewan Redaksi Eksiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993,
  • Dr. Ahmad Asy Surbasi, Sejarah dan Biografi Imam Empat Madzab, Jakarta: PT Bumi Aksara, 1993,
  • Asy Syatibi, Al-Muwafaqat, Juz II, Beirut Libanon: Daar al-Fikr, t. th,
  • Abdul Wahab Khallaf, Ilmu ushul Fiqh, Jebab al-Azhar: Maktabah ad-Da’wah al- Islamiyah, t. th
  • Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, t. th,