Restitusi

SUDUT HUKUM | Kata restitusi dalam kamus bahasa Indonesia yang berarti pembayaran kembali, ganti rugi; penyerahan bagian pembayaran yang masih tersisa. Sedangkan dalam hukum pidana, restitusi merupakan pembayaran ganti rugi yang menunjukkan adanya pengertian akan penderitaan korban sesuatu tindak pidana, ganti rugi harus dibayarkan kepada korban atau ahli waris korban.[1]
RestitusiIstilah restitusi kepada korban kejahatan hanya dinyatakan dengan penggunaan istilah “ganti kerugian”. Dalam KUHAP, ganti kerugian kepada korban tidak cukup diberikan pengaturan yang memadai karena hanya diatur dalam pasal 98 yang menyatakan bahwa pihak korban kejahatan, yakni perbuatan terdakwa yang merupakan suatu tindak pidana menimbulkan kerugian bagi orang tersebut. Pasal ini bisa dipahami, korban dapat mengajukan gugatan penggabungan gugatan ganti kerugian.
Ganti kerugian kepada korban ini hanya mencakup ganti kerugian yang bersifat materiil, sementara ganti kerugian yang immateriil para korban harus mengajukan perkara secara perdata. Dengan demikian, pengaturan dalam KUHAP, perlindungan terhadap korban atas hak-haknya tidak mendapatkan cukup pengaturan jika dibandingkan perlindungan kepada hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana.[2]
Berbeda dengan kompensasi, bahwa kompensasi diminta atas dasar permohonan, dan jika dikabulkan harus di bayar oleh masyarakat atau negara, sedangkan restitusi di tuntut oleh korban agar di putus pengadilan dan jika diterima tuntutannya, harus di bayar oleh pelaku tindak pidana itu. Karena hakikat perbedaan demikian masih belum direalisasikan dalam kenyataan, maka sering kali tidak ada bedanya antara kedua pembayaran itu, karena yang terpenting, perhatian terhadap korban lebih dahulu, kemudian menyusul bentuk pembayaran atas kerugian korban yang diakibatkan oleh tindakpidana.[3]
Dimensi ganti rugi atas penderitaan korban bila dikaitkan dengan sistem restitusi, dalam pengertian viktimologi adalah berhubungan dengan perbaikan atau restorasi atas kerugian fisik, moril, harta benda dan hak-hak korban yang diakibatkan oleh tindak pidana. Karakter utama dari restitusi ini berindikasi pertanggungajawaban pembuat atas tuntutan tindakan restitutif yang bersifat pidana dalam kasus pidana.[4]
Menurut pendapat pakar hukum pidana Indonesia : Penetapan orang yang dirugikan itu didasarkan atas azas-azas hukum perdata dan kerugian itu ditimbulkan oleh perbuatan seseorang yang oleh hokum pidana disebut ”si pembuat” (dader) dari suatu tindak pidana. Jadi dalam masalah ganti rugi dalam pidana harus dilihat dalam hubungannya dengan ”tiga serangkai” : delik (tindak pidana) – pembuat – korban. Masih pula harus diperhatikan, kerugian itu bersifat materiil dan immateriil. Penggantian kerugian bersifat materiil tidak menimbulkan masalah, tidak demikian dengan kerugian yang bersifat immateriil, yang berupa kesusahan, kecemasan, rasa malu dan sebagainya. Kerugian ini harus diganti dengan wujud uang. Dalam hukum perdata hal ini sudah biasa, di situ dikenal apa yang disebut uang duka.



[1] Theodora Syah Putri, Upaya Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: UI Press, 2006, hlm 7

[2] Ibid,. hlm 13

[3] Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin,Praktek Restitusi dan Kompensasi di Indonesia, Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007. hlm13

[4] Hendrojono, Kriminologi : Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 173