Pengertian Utang Piutang (al-qardh)

SUDUT HUKUM | Utang-piutang dalam istilah Arab sering disebut dengan al-dain (jamaknya al-duyun) dan al-qardh. Dalam pengertian yang umum, utang piutang mencakup transaksi jual-beli dan sewa-menyewa yang dilakukan secara tidak tunai (kontan). Transaksi seperti ini dalam fikih dinamakan mudayanah atau tadayun.
Secara bahasa qardh merupakan bentuk mashdar dari qaradha asysyai’- yaqridhuhu, yang berarti dia memutusnya. Qaradh adalah bentuk mashdar yang berarti memutus. Dikatakan, qaradhtu asy-syai’ a bil-miqradh. Aku memutus sesuatu dengan gunting. Adapun yang dimaksud dengan utang piutang adalah memberikan “sesuatu” kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu.

Pengertian Utang Piutang (al-qardh)

Pengertian “sesuatu” dari definisi diatas mempunyai makna yang luas, selain dapat berbentuk uang, juga bisa saja dalam bentuk barang, asalkan barang tersebut habis karena pemakaian. Pengertian utang piutang ini sama pengertiannya dengan perjanjian pinjam meminjam yang dijumpai dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1754 yang berbunyi: Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang lain ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.

(Baca juga: Dasar Hukum Utang Piutang dalam Islam)

Adapun definisinya secara syara’ adalah memberikan harta kepada orang yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan gantinya.

Sedangkan para ulama’ berbeda pendapat dalam mengemukakan pengertian utang piutang, diantaranya yaitu:
  • MenurutMazhab Maliki yang dikutip oleh Mohammad Muslehuddin dalam bukunya yang berjudul Sistem Perbankan Dalam Islam, mendefinisikan “Qardh sebagai pinjaman atas benda yang bermanfaat yang diberikan hanya karena belas kasihan, dan bukan merupakan bantuan (ariyah) atau pemberian (hibah), tetapi harus dikembalikan seperti bentuk yang dipinjamkan.”[1]
  • Menurut Wahbah al-Zuhayliy, piutang adalah penyerahan suatu harta kepada orang lain yang tidak disertai dengan imbalan/tambahan dalam pengembaliannya.[2]
  • Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah memberikan definisi qardh sebagai harta yang diberikan oleh kreditor (pemberi pinjaman) kepada debitur (pemilik utang), agar debitur mengembalikan yang serupa dengannya kepada debitur ketika telah mampu.
  • Berbeda dengan pengertian-pengertian di atas, Hasbi ash-Shiddieqy dalam bukunya Pengantar Fiqh Muamalah mengartikan utang piutang dengan akad yang dilakukan oleh dua orang di mana salah satu dari dua orang tersebut mengambil kepemilikan harta dari lainnya dan ia menghabiskan harta tersebut untuk kepentingannya, kemudian ia harus mengembalikan barang tersebut senilai dengan apa yang diambilnya dahulu. Berdasarkan pengertian ini maka “qard” ( ض__ ( memiliki dua pengertian yaitu; “i’arah” ( رة __ ا) yang mengandung arti tabarru’ ( ع__) atau memberikan harta kepada orang dasar akan dikembalikan, dan pengertian mu’awadlah, (_ و___) karena harga yang diambil bukan sekedar dipakai kemudian dikembalikan, tetapi dihabiskan dan dibayar gantinya.[3]

Jadi dengan demikian piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan pengembalian yang sama. Sedangkan utang adalah kebalikan pengertian piutang, yaitu menerima sesuatu (uang/barang) dari seseorang dengan perjanjian dia akan membayar atau mengembalikan utang tersebut dalam jumlah yang sama. Selain itu, akad utang piutang pada dasarnya merupakan bentuk akad yang bercorak ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.


Rujukan:


[1] Mohammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. 1, 1990, h. 74

[2] Wahbahal-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, juz IV, Bairut: Dar al-Fikr, 1998h. 2915.

[3] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Semarang:Pustaka Rizki Putra, 1999, h. 103