Hak Guna Usaha

SUDUT HUKUM | Hak Guna Usaha (disingkat HGU) merupakan hak-hak baru guna memenuhi kebutuhan masyarakat modern dan hanya diberikan terhadap tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara, jadi tidak terhadap tanah selain milik negara dan tidak terjadi atas suatu perjanjian antara pemilik suatu Hak Milik dengan orang lain.[1]
HGU dalam pengertian Hukum Barat sebelum dikonversi berasal dari Hak Erfpacht yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 720 KUHPerdata adalah “suatu hak kebendaan untuk mengenyam kenikmatan yang penuh (volle genot) atas suatu benda yang tidak bergerak kepunyaan orang lain, dengan kewajiban membayar pacht (canon) tiap tahun, sebagai pengakuan eigendom kepada yang empunya, baik berupa uang/hasil in natura”.[2]
Hak Guna UsahaHak Guna Usaha menurut Subekti dan R. Tjitrosudibio, adalah suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun.[3]
Berdasarkan Pasal 28 dan Pasal 29 Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA) juncto Pasal 8 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996, pengertian Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 atau 35 tahun, yang bila diperlukan masih dapat diperpanjang lagi 25 tahun, guna usaha pertanian,perkebunan, perikanan atau peternakan, dengan luas paling sedikit 5 Ha.
“Didalam pengertian perusahaan pertanian termasuk perusahaan perkebunan”,[4] sehingga menurut AP. Parlindungan “tidak dimungkinkan adanya HGU yang berasal dari suatu hak milik dari orang lain”[5], sebab jika ini dimungkinkan, berarti terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 10 ayat (1)
UUPA yagn isinya : “setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”[6]
Hak Guna Usaha yang merupakan salah satu hak atas tanah dengan masa berlakunya terbatas untuk jangka waktu tertentu memerlukan kejelasan, baik mengenai persyaratan perolehannya, tata cara pemberian, perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan haknya, serta status tanah dan benda-benda yang ada diatasnya sesudah habis jangka waktunya. Semua ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Ketentuan tentang HGU dalam UUPA diatur dalam Pasal 28 s/d Pasal 34. ketentuan lebih lanjut mengenai HGU mendapat pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 18.



[1] AP. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Pokok Agraria, (Jakarta : CV. Mandar Maju, 1998), hlm. 160.

[2] Sri Soedewi Masjchsoen Sofwan, Hukum Benda, (Yogyakarta : Liberty, 1974), hlm. 21.

[3] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Pramita, 1985), hlm. 189.

[4] Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Agraria, “Tata Laksana Penguasaan Hak Atas Tanah, Proyek P3HT, hlm. 24.

[5] AP Parlindungan, Kapita Selekta Hukum Agraria, (Bandung : Alumni, 1981), hlm. 145.

[6] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 1999), hlm. 296.