Teori Pemidanaan Absolut

SUDUT HUKUM | Penganut dari teori ini ialah Immanuel Kant dan Leo Polak. Teori ini mengatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Kant mengatakan bahwa konsekuensi tersebut adalah suatu akibat logis yang menyusul tiap kejahatan. Menurut rasio praktis, maka tiap kejahatan harus disusul oleh suatu pidana.
Teori Pemidanaan Absolut
Oleh karena menjatuhkan pidana itu sesuatu yang menurut rasio praktis,dengan sendirinya menyusul suatu kejahatan yang terlebih dahulu dilakukan, maka menjatuhkan pidana tersebut adalah sesuatu yang dituntut oleh keadilan etis. Menjatuhkan pidana itu suatu syarat etika, sehingga teori Kant menggambarkan pidana sebagai suatu pembalasan subjektif belaka. Leo Polak tidak dapat menerima teori Kant, karena teori itu menggambarkan pidana sebagai suatu paksaan (dwang) belaka. Bukankah bagi siapa yang bertujuan mempertahankan kehendaknya sudah sukup melakukan paksaan saja. Etika dan sebagainya tidak perlu diperhatikannya. Akan tetapi pidana itu harus bersifat suatu penderitaan yang dapat dieprtanggungjawabkan kepada etika. Pidana itu bukan penderitaan, karena pidana hendak memaksa. Sebaliknya, pidana itu bersifat memaksa supaya pidana itu dapat dirasakan sebagai suatu penderitaan. Menurut Leo Polak, maka pemidanaan harus memenuhi tiga syarat ialah :
  • Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif;
  • Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pidana tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi. Jadi, pidana tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi. Umpanya pidana dijatuhkan dengan maksud prevensi, maka kemungkinan besar penjahat diberi suatu penderitaan yang beratnya lebih daripada maksimum yang menurut ukuran-ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat.

Menurut ukuran-ukuran objektif berarti sesuai dengan beratnya delik yang dilakukan penjahat;
  • Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.

Wirjono Prodjodikoro didalam bukunya yang berjudul Azas-azas Hukum Pidana Di Indonesia mengatakan : “Pada masyarakat Jawa ada semboyan “hutang pati nyaur pati”, yang maksudnya orang yang membunuh harus juga dibunuh. Dalam Kitab Suci Al-Qur’an Surat An Nisaa ayat 93, menyatakan :

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”

Berdasarkan kutipan tersebut menunjukkan bahwa di dalamnya terkandung makna pembalasan yang setimpal di dalam suatu pidana. Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu:
  1. Ditujukan kepada pelakunya (sudut subyektif dari pembalasan);
  2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).