Hukum perizinan

SUDUT HUKUM | Perizinan adalah perbuatan hukum administrasi Negara bersegi satu yang menghasilkan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyartan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku.[1] Izin merupakan suatu persetujuan dari seseorang atau badan yang bersifat memperbolehkan untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan peraturan yang berlaku dan mempunyai sanksi jika ketentuan yang terdapat dalam izin yang dilanggar.[2]
Menurut WF. Prins, yang dikutip oleh Soehino dalam bukunya, memberikan pengertian izin sebagai berikut: “Pernyataan yang biasanya dikeluarkan sehubungan dengan suatu perbuatan yang pada hakekatnya harus dilarang tetapi hal yang menjadi objek dan perbuatan tersebut menurut sifatnya tidak merugikan dan perbuatan itu dapat dilaksanakan asal saja di bawah pengawasan alat-alat perlengkapan Administrasi Negara”.[3]
Hukum perizinan

Berdasarkan beberapa pengertain di atas, secara umum izin adalah keputusan pejabat administrasi yang berwenang yang memperbolehkan untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang peraturan perundang-undangan setelah terpenuhinya syarat-syarat yang telah ditentukan oleh perundang-undangan, sehingga terlibat hubungan hukum. Dapat diketahui bahwa izin merupakan persetujuan yang dikeluarkan dari penguasa yang berfungsi sebagai alat perlengkapan administrasi Negara yang pemberiannya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pada umunya system izin terdiri atas larangan, persetujuan yang merupakan dasar pengecualian dan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin.

Di dalam perspektif Prajudi Atmo Sudirjo, mengenai fungus-fungsi hukum modern, izin dapat juga diletakkan pada fungsi menertibkan masyarakat, ketetapan yang berupa izin diberikan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi para warga. Tentu saja tidak ada gunaya apa yang telah tertuang dalam ketetapan tersebut, apabila tidak dipaksaan izin tersebut.[4]
Perizinan menurut perundang-undangan yang telah ditetapkan, selalu memuat ketentuan-ketentuan penting yang melarang warga masyarakat yang bertindak tanpa izin. Sehubungan dengan ketentuan tersebut sebagai konsejuensinya, maka dalam rangka penegakan hukum yang bersangkutan, dilengkapi pula dengan adanya ketentuan sanksi. Sanksi ini merupakan bagian penutup yang terpenting adil dalam hukum termasuk hukum admnistrasi, karena setiap peraturan perundang-undangan yang memuat perintah atau larangan, apabila tidak disertai sanksi, maka efektifitas dari peraturan tersebut tidak lagi mempunyai daya paksa.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sebagaimana ditegaskan oleh Sjachran Basah,[5] bahwa sanksi merupakan bagian terpenting dalam setiap undang-undang, adanya perintah dan larangan yang dimuat dalam setiap undang-undang, tidak mempunyai arti apabila tidak mempunyai daya paksa untuk dilaksanakan. Hal ini lebih jelas bahwa mengatur itu bersifat jenis peraturan perundang-undangan yang dikategorikan memaksa. Apabila terjadi suatu pelanggaran terhadapa peraturan perundang-undangan harus dikenai sanksi.
Lalu ditegaskan pula bahwa unsur-unsur izin antara lain:[6]
  1. Alat kekuasaan (machtsmiddelen).
  2. Bersifat hukum public (publiekerchtlijke).
  3. Digunakan oleh penguasa (overhead).
  4. Sebagai reaksi ketidakpatuhan (recht eop niet naleving).

Sedangkan sanksi pada umumnya yang dikenal dalam lapangan hukum administrasi adalah:[7]
  1. Bestuursdwang (tindakan paksa pemerintah).
  2. Penarikan kembali Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang menguntungkan.
  3. Pengenaan pidana sanksi dan atau pidana kurungan.
  4. Pengenaan yang paksa oleh pemerintah (dwangsom).

Sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dimana daerah diberi kekuasan atau wewenang mengatur rumah tangganya sendiri dan dengan demikian pemerintah daerah harus membiayai pengeluarannya dengan menggunakan pendapatan daerahnya karena pemerintah pusat tidak mungkin menanggung seluruh pengeluaran daerah yang ada. Dengan adanya kondisi tersebut, maka pemerintah daerah memberlakukan suatu ketentuan tentang perizinan yang dapat menambah pendapatan daerahnya serta untuk menjalankan tertib administrasi. Izin yang dapat diberlakukan oleh pemerintahan daerah yaitu:
  1. Izin Penyelenggaraan Reklame.
  2. Izin Mendirikan Bangunan.
  3. Izin Gangguan/HO.
  4. Surat izin Usaha Perdagangan (SIUP).
  5. Wajib Daftar Perusahaan (TDP).
  6. Tanda Daftar Gudang (TDG).
  7. Izin pembuangan Limbah Cair.
  8. Izin Trayek.
  9. Izin Usaha Industri.
  10. Tanda Daftar Industri.
  11. Izin Penumpukan Kayu.
  12. Izin Penyelenggaraan Lembaga Pelayanan Kesehatan.
  13. Izin Sertifikasi Laik Sehat.
  14. Izin Penyelenggaraan Kursus.
  15. Izin Lembaga Pelatihan Kerja.
  16. Izin Usaha Kepariwisataan.
  17. Izin Usaha Jasa Konstruksi.
  18. Izin Usaha Pemondokan.
  19. Izin Usaha PAUD.
  20. Izin Produksi Pangan Rumah Tangga.
  21. Izin Pengelolaan Air Tanah
  22. Izin Pendirian SPBU.
  23. Izin Pengumpulan Pelumas Bekas.
  24. Izin Pendirian Depot Lokal.
  25. Izin Pengendalian Menara.


[1] Sjachran Basah, Pencabutan Izin Sebagai Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi Negara, Surabaya:FH UNAIR, 1995, hlm. 4.

[2] Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, hlm. 24.

[3] Soehino, Ilmu Negara, Edisi Ketiga, Yogyakarta:Liberty, 1984, hlm. 94

[4] Prajudi Atmo Sudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 49.

[5] Sjachrab Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 58.

[6] Ibid.

[7] Ibid.