Hukum Asuransi Menurut Ulama

SUDUT HUKUM | Perjanjian asuransi adalah hal baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat serta tabi’in.[1] meskipun demikian, asuransi merupakan kebutuhan masyarakat modern dewasa ini, dalam kehidupan mereka terdapat keinginan untuk meng-asuransikan segala yang dimiliki untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.[2]


Berikut adalah pendapat ulama tentang asuransi, yaitu:

a. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya seperti sekarang ini; termasuk asuransi jiwa.


Hukum Asuransi Menurut Ulama
Ulama yang mengharamkan asuransi ini antara lain: Abdullah al-Qalqili, Muhammad Yusuf al-Qardhawi dan Muhammad Bakhit al-Muth’i. Alasan para ulama tersebut mengharamkan asuransi ini antara lain:

  • asuransi pada hakikatnya sama dengan judi;
  • mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti;
  • mengandung unsur riba/rente;
  • mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang polis apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan;
  • premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktek riba (karena uang tersebut dikreditkan dan dibungakan),
  • asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar-menukar mata uang tidak dengan uang tunai;
  • hidup dan matinya manusia dijadikan obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Esa.[3]

Selain tiga ulama tadi, Sayyid Sabiq juga mengharamkan adanya asuransi yang diungkap dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah. Beliau menggaris bawahi bahwa asuransi tidak dapat dimasukkan sebagai mudharabah yang shahih tetapi termasuk mudharabah yang rusak.[4]


Kelompok ini memandang perusahaan asuransi itu tidak dapat dikatakan memberi sumbangan kepada pihak tertanggung (nasabah) dengan apa yang diharuskannya, karena karakter asuransi menurut undang-undang adalah termasuk akad pembayaran yang tidak menentu (untung-untungan). Jika penyetoran premi nasabah kepada perusahaan asuransi itu dianggap sebagai pinjaman yang akan dibayarkan kembali berikut keuntungannya saat nasabah hidup, maka ini berarti pinjaman yang menarik keuntungan.


Sedangkan pengambilan keuntungan ini haram dan termasuk riba yang dilarang. Selanjutnya muncul pertanyaan apabila nasabah meninggal dunia sebelum melunasi seluruh premi, atau baru membayar sekali, sedangkan sisa premi yang belum dibayar masih dalam jumlah yang besar berdasarkan masa akhir kontrak yang ditentukan jumlahnya, dan apabila maskapai asuransi membayar dengan sempurna (sesuai dengan kontraknya) kepada ahli waris atau orang yang telah diberikan wewenang oleh nasabah sesudah matinya, maka dari pendapatan manakah perusahaan asuransi akan membayar sejumlah uang tersebut? Bukankah ini merupakan pertaruhan dan spekulasi dan jika bukan spekulasi maka apa kata yang tepat untuk menyebutnya?


Syari’at tidak memperkenankan memakan harta manusia dengan jalan yang bathil. Kematian seseorang tidak dapat dijadikan sebagai sumber memetik keuntungan ahli waris atau penggantinya. Meski pun telah disepakati oleh nasabah sebelum kematiannya.[5]


b. Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya dewasa ini Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa adalah ulama yang membolehkan semua jenis asuransi.


Alasan yang mereka ungkapkan antara lain sebagai berikut:

  • tidak ada nash al-Qur’an maupun nash al-Hadits yang melarang asuransi;
  • asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan (disalurkan kembali untuk dijadikan modal) untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan;
  • kedua pihak yang berjanji (asurador dan yang mempertanggungkan) dengan penuh kerelaan menerima operasi ini dilakukan dengan memikul tanggung jawab masing-masing;
  • asuransi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak dan bahkan asuransi menguntungkan kedua belah pihak;
  • asuransi termasuk akad mudharabah, maksudnya bahwa asuransi merupakan akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi hasil (Profit and Loss Sharing);
  • asuransi termasuk Syirkah Ta’awuniyah;
  • asuransi menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan dan kepribadian.
  • dianalogikan atau diqiaskan dengan sistem pensiun, seperti taspen;
  • operasi asuransi dilakukan untuk kemaslahatan umum dan kepentingan bersama;



Berdasarkan alasan tersebut, asuransi dianggap membawa manfaat bagi pesertanya dan perusahaan asuransi secara bersamaan. Hal ini karena pandangan bahwa praktek atau tindakan yang dapat mendatangkan kemaslahatan orang banyak adalah dibenarkan oleh agama.[6] Asuransi terhadap kecelakaan, jika asuransinya tergolong kepada asuransi campur (asuransi yang di dalamnya termasuk penabungan).


Hakikat asuransi campur adalah mencakup dua premi, yaitu untuk menutup bahaya kematian dan untuk menyiapkan uang yang harus dibayar jika dia tidak meninggal dunia dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka hukumnya dibolehkan oleh agama Islam. Hal ini karena asuransi campur di dalamnya terdapat dorongan untuk menabung dan penabungan itu untuk kemaslahatan umum dengan syarat perusahaan asuransi berjanji kepada para pemegang polis bahwa uang preminya tidak dikerjakan untuk pekerjaan-pekerjaan riba.


Hal ini sama dengan hukum penabungan pada pos, adapun asuransi kecelakaan yang diadakan (dilaksanakan) dengan asuransi biasa, menurut Fuad Mohamad Fachruddin tidak dibolehkan, karena asuransi ini tidak menuju ke arah kemaslahatan umum dan kepentingan bersama.[7] Lebih lanjut Fuad Muhammad Fachruddin mengungkapkan bahwa asuransi sosial, seperti asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan yang diakibatkan oleh pekerjaan. Asuransi yang menuju ke arah kemaslahatan umum dan bersifat sosial dibenarkan oleh agama Islam karena mengandung kepentingan orang banyak.[8]

c. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial


Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, alasannya membolehkan asuransi yang bersifat sosial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat kedua yaitu tidak adanya nash al-Qur’an maupun nash al-Hadits yang melarang asuransi; sedangkan alasan yang mengharamkan asuransi yang bersifat komersial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat pertama yaitu hakikatnya sama dengan judi, kemudian asuransi juga dianggap mengandung unsur yang tidak jelas dan tidak pasti, juga karena asuransi mengandung unsur riba.[9]

d. Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat, Pendapat ini menganggap bahwa tidak ada dalil-dalil Syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkannya.


Apabila hukum asuransi dikategorikan syubhat, maka konsekuensinya adalah bahwa umat Islam dituntut untuk berhati-hati (al-ihtiyath) dalam menghadapi asuransi, umat Islam baru dibolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi, apabila dalam keadaan darurat.”[10]


Dasar-dasar asuransi dalam Islam, di antaranya dalam al-Qur’an surat al-Ma’idah ayat 2:


Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Hal ini sebagaimana ia jelaskan bahwa asuransi adalah upaya untuk mendapatkan ketenteraman yang menjadi tuntutan naluriah di berbagai bidang kehidupan sesuai dengan asas maslahah mursalah.



[1] Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Ke-Islaman, Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1994, hlm. 149.

[2] Abdul Sami’ al-Mishri, Muqawwimat al-Iqtishad al-Islami, Terj. Dimyauddin Djuwaini, “Pilar-Pilar Ekonomi Islam”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 11-112.

[3] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 264.

[4] Ibid.

[5] Ibid., hlm. 265.

[6] Fuad Moh. Fachruddin, op.cit., hlm. 214.

[7] Ibid

[8] Ibid., hlm. 215.

[9] Wirdyaningsih (ed ), op.cit., hlm. 250.

[10] Hendi Suhendi, op.cit., hlm. 314.