Hidup Jauh Lebih Penting Dibanding Fasilitas Hidup

SUDUT HUKUM | Kita bisa melihat orang-orang tua kita zaman dulu, yang hidup sederhana di kampung nan jauh dari kota, relatif berpendidikan rendah, tidak mengenyam bangku kuliah, tidak pernah keluar negeri, namun mampu menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga.
Orang-orang tua zaman dulu itu mungkin bahkan tidak pernah membaca buku tentang pernikahan dan keluarga, tidak pernah mengikuti seminar atau pelatihan tentang pernikahan dan keluarga, tidak pernah mengikuti kursus dan upgrading tentang manajemen keluarga. Secara eknomi, kehidupan mereka juga biasa saja, sangat sederhana dan bersahaja. Itulah yang dimaksud dengan sikap positif.
Hidup Jauh Lebih Penting Dibanding Fasilitas Hidup

Bukan soal mengerti banyak teori, namun soal mengerti cara menikmati kehidupan. Tingkat ekspektasi masyarakat kampung terhadap kehidupan tidaklah berlebihan. Suami dan istri yang hidup di lahan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan atau hidup sebagai buruh, memiliki harapan yang sederhana saja tentang hidup. Mereka bisa makan sehari-hari, bisa menyekolahkan anak, bisa menjalani hidup bermasyarakat secara normal, sudah menjadi kebahagiaan dan kesyukuran yang sangat besar. Mereka mampu melihat segala hal dari sisi yang positif. Jika sawahnya panen dengan hasil memuaskan mereka bersyukur, “Alhamdulillah panen padinya bagus”.

Jika padi terserang hama, sehingga hasil panen berkurang, mereka bersyukur, “Alhamdulillah, masih bisa panen padi”. Jika sawah terkena hama yang sangat parah sehingga tidak bisa panen, mereka tetap bersyukur, “Alhamdulillah, masih punya lahan sawah. Besok masih bisa ditanami lagi”. Sikap seperti ini yang membuat mereka bisa menjalani kehidupan dengan bahagia. Selalu ada syukur, selalu ada alhamdulillah. Masyarakat modern sudah terlalu banyak yang teracuni oleh hedonisme.
Ekspektasi terhadap kehidupan yang mewah terlalu tinggi, sehingga begitu dalam pernikahan tidak mendapatkan apa yang diinginkan, cepat merasa kecewa. Sudah punya motor masih mengeluh, karena belum punya mobil. Sudah punya mobil Avanza masih mengeluh, karena ingin Innova. Sudah punya mobil Innova masih mengeluh karena ingin Alphard. Sudah punya mobil Alphard masih mengeluh karena ingin Ferrari.
Sudah punya satu mobil ferrari masih mengeluh, karena ingin punya lima. Sikap seperti inilah yang membuat mereka mudah kecewa dan merasa tidak pernah bahagia dalam kehidupan berumah tangga. Walaupun mereka berpendidikan tinggi, bergelar sarjana hingga puncaknya, memiliki tingkat ekonomi yang mapan, memiliki jabatan dan posisi yang hebat, memiliki popularitas yang luas, namun itu semua tidak menjamin kehidupan pernikahan yang bahagia. Sikap positif dalam menjalani kehidupan lebih menentukan kelanggengan dan kebahagiaan hidup berumah tangga. Sikap hidup, jauh lebih penting dari fasilitas hidup.