Bentuk-bentuk Perbuatan Nusyuz

Sudut Hukum | Bentuk-bentuk perbuatan nusyūz sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Hukum Islam dapat berupa perkataan maupun perbuatan. Bentuk perbuatan nusyūz, yang berupa perkataan dari pihak suami atau isteri adalah memaki-maki dan menghina pasangannya, sedangkan nusyūz yang berupa perbuatan adalah mengabaikan hak pasangannya atas dirinya, berfoya-foya dengan orang lain, atau menganggap hina atau rendah terhadap pasangannya sendiri.
Dari pengertian nusyūz sebagaimana yang telah dijelaskan di atas yaitu sebagai sikap pembangkangan terhadap kewajiban-kewajiban dalam kehidupan perkawinan,[1] sebenarnya para ulama telah mencoba melakukan klasifikasi tentang bentuk-bentuk perubuatan nusyūz itu sendiri. Dan diantara tingkah laku maupun ucapan yang dapat dianggap sebagai perbuatan nusyūz isteri ialah:
Bentuk-bentuk Perbuatan Nusyuz

  1. Apabila isteri menolak untuk pindah kerumah kediaman bersama tanpa sebab yang dapat dibenarkan secara syar‟i. Padahal suami telah mengajak pindah ke tempat kediman bersama sedang tempat kediaman bersama (tempat tinggal) tersebut merupakan tempat tinggal yang layak bagi dirinya.[2]
  2. Apabila keluar dari tempat tinggal bersama tanpa seizin suaminya. Akan tetapi mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa apabila keluarnya isteri itu untuk keperluan suaminya maka tidak termasuk nusyūz, akan tetapi jika keluarnya isteri itu bukan karena kebutuhan suami maka isteri itu dianggap nusyūz.[3]
  3. Apabila isteri menolak untuk ditiduri oleh suaminya. Dalam suatu hadits dijelaskan tentang kewajiban seorang isteri kepada suaminya, untuk tidak menolak apabila diajak oleh suaminya untuk melakukan hubungan suami-isteri.[4]
  4. Isteri yang menolak untuk ditiduri oleh suaminya, tanpa suatu alasan yang sah maka ia dianggap nusyūz.[5]
  5. Membangkangnya seorang isteri untuk hidup dalam satu rumah dengan suami dan dia lebih senang hidup di tempat lain yang tidak bersama suami. Hal ini sebagaimana dijelskan dalam kitab Tafsi‟r Al-Bahrul Muhi‟t dengan ungkapannya yaitu bahwa perbuatan nusyūz.[6]

Untuk mengenali bentuk-bentuk perbuatan nusyūz dapat juga mengkaitkannya dengan kata yang artinya menghilangkan, dalam arti perempuan yang hilang rasa kasih sayangnya terhadap suami baik lahir maupun batinnya, sehingga seorang isteri tersebut selalu meninggalkan kehendak dan kemauan perintah suami, sehingga suami merasa benci dan tiada kepedulian kepadanya.[7]

(Baca juga: Pengertian Nusyuz)

Jika terlihat pada diri seorang istri tanda-tanda kedurhakaan, seperti ia tidak menemui suaminya kecuali dalam keadaan tidak suka, atau tampak padanya sikap berpaling dan bermuka masam setelah sebelumnya lembut dan wajahnya berseri-seri. Atau ia berbicara kepada suaminya den gan kata-kata yang kasar padahal sebelumnya ia berbicara dengan lemah lembut. Atau ia merasa berat, jika suaminya mengajak ke ranjang.[8] Nusyūz isteri adalah lebih pada relasi seksual. Artinya ketika isteri tidak disibukkan oleh pelbagai alasan yang menjadi kewajibannya, atau tidak terbayang-bayangi oleh kekerasan yang mungkin dilakukan oleh suaminya.

Sedangkan Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa ciri-ciri nusyūz isteri adalah:
  1. Ia menolak untuk diajak pindah ke rumah suami tanpa alasan yang sah.
  2. Isteri mau untuk tinggal di rumah kediaman bersama, tetapi kemudian dia pergi dan tidak kembali tanpa alasan yang dibenarkan syara‟.
  3. keduanya tinggal di rumah isteri, tetapi isteri melarang sang suami untuk memasuki rumahnya.[9]

Adapun bentuk-bentuk ucapan yang bisa dimasukkan dalam kategori nusyūz-nya isteri sehingga suami diperbolehkan memukulnya diantara mencaci maki orang lain, mengucapkan kata-kata yang tidak pantas seperti bodoh, kepada suami meskipun suami mencaci lebih dulu.[10]

Menurut Saleh bin Ganim, bentuk-bentuk perbuatan nusyūz yang berupa perkataan atau ucapan adalah seperti tutur sapa seorang isteri kepada suaminya yang semula lembut, tiba-tiba berubah menjadi kasar dan tidak sopan. Bila dipanggil suami, isteri tidak menjawab, atau menjawab dengan nada terpaksa, atau pura-pura tidak mendengar dan mengulur-ulur jawaban, berbicara dengan sura keras dan nada tinggi, berbicara dengan laki-laki lain yang tidak mahramnya, baik langsung maupun tidak (lewat telepon atau bersurat-suratan), dengan tujuan tidak dibenarkan syara‟, mencaci-maki, berkata kotor dan melaknat, menyebarkan berita keburukan suami dengan tujuan melecehkannya di hadapan orang lain, tidak menepati janji terhadap suami, menuduh suami berbuat mesum dan meminta cerai tanpa alasan yang jelas.[11]

Sebagaimana isteri, nusyūz suami pun dapat berupa ucapan, perbuatan atau juga dapat berupa kedua-duanya sekaligus. Dan hal ini sebagaimana diuraikan secara rinci oleh Saleh bin Ganim sebagai berikut:[12]
  1. mendiamkan isteri, tidak diajak bicara. Meskipun bicara tapi selalu menggunakan kata-kata yang kasar dan menyakitkan.
  2. mencela dengan menyebut-nyebut keaiban jasmani atau jiwanya.
  3. berburuk sangka terhadap isteri, dan tidak mengajak isteri tidur bersama.
  4. menyuruh isteri melakukan maksiat dan melangar larangan Allah.

Sementara itu, bentuk nusyūz yang berupa perbuatan dapat berupa:
  1. Tidak mengauli isterinya tanpa uzur atau sebab-sebab yang jelas.
  2. menganiaya isteri, baik dengan pukulan, hinaan, atau celaan dengan tujuan hendak mencelakakan isteri.
  3. tidak memberi nafkah sandang, pangan dan lain-lain.
  4. menjahui isteri karena penyakit yang dideritanya.
  5. bersenggama dengn isteri melalui duburnya.


[1] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UUI Press, 1995), hlm. 81.
[2] Abdurrahman Ba’lawi, Bugyah al-Musytarsyidin, (Bandung: L. Ma’arif, t.t.), hlm. 272.
[3] Imam Taqiyu ad-Din Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini ad-Dimasqi asy-Syafi’i, Kifayat al-Akhyar, (tnp., Dar al-Fikr, t.t.), II: 148.
[4] Abi Daud Sulaiman ibn as-Yas asy-syajastani, Sunan Abi Daud, “Kitab an-Nikah”, “Bab fi haqqi az-Zawj ‘ala al-Mar’ah”, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), II: 212.
[5] Muhammad Sarbini al-Katib, Mugni al-Muhtaj, (Mesir: Mustafa al-bab al-Halabi, t.t.), VI:295.
[6] Muh. Yusuf al-Syahir al-Jamal, Tafsir Al-Bahr al-Muhit, cet. II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1413 H/1993 M), II: 251.
[7] Ibid., II: 452.
[8] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih…, 302.
[9] Muhammad Yusuf Musa, Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah fi Fiqh al-Islami, cet. I,(Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1956), hlm. 222.
[10] Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-isteri., hlm. 26.
[11] Saleh bin Ganim, Nusyuz., hlm. 31-32.
[12] Ibid., hlm. 33-34.