Pembagian Hadis Berdasarkan Tertolaknya Periwayatan

Sudut Hukum | Pembagian Hadis Berdasarkan Tertolaknya Periwayatan

Pembagian hadits yang ketiga adalah berdasarkan sifatnya yang tertolak. Ada begitu banyak hadits yang tertolak, namun semua bisa disebut dengan satu istilah, yaitu hadits lemah atau dhaif.
Pengertian hadits dhaif adalah :

مَالَمْ يَجْمَعْ صِفَةُ الحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوطِهِ

Hadits yang tidak terkumpul padanya sifat hasan, lantaran kehilangan satu dari sekian syarat-syaratnya.

Contoh hadits yang dhaif adalah :

مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فيِ دُبُرِهَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا نَزَلَ عَلىَ مُحَمَّدٍ

Siapa yang menyetubuhi wanita yang sedang haidh atau istri pada duburnya, maka dia telah kufur pada agama yang turun kepada Nabi Muhammad.

Al-Imam At-Tirmizy mengatakan hadits ini dhaif, karena di dalam rangkaian para perawinya ada orang yang bernama Hakim Al-Atsram, yang statusnya dhaif.

1. Hukum Menggunakan Hadits Dhaif

Para ulama ahli hadits berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan hadits dhaif.
suduthukum.com2014/12/hadis-sekilas-tentang-kesahihan-sanad.htmlPendapat pertama mengharamkannya, karena dianggap tidak bersumber dari Rasulullah SAW secara benar. Di antara yang berpandangan demikian adalah Al-Imam Al-Bukhari.
Pendapat yang kedua membolehkan diriwayatkannya hadits dhaif ini, dengan syarat-syarat tertentu yang ketat. Di antara syaratnya adalah bahwa konten hadits itu tidak terkait dengan masalah fundamental aqidah dan hukum halal haram dalam syariat. Sedangkan bila kontennya seputar anjuran untuk memberi nasehat, semangat untuk ibadah atau ancaman meninggalkan yang haram, serta kisah-kisah, maka hukumnya dibolehkan.
Di antara mereka yang diriwayatkan berpendapat demikian adalah Sufyan Ats-Tsauri, Abdurrahman bin Mahdi dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Sedangkan hukum mengamalkan konten hadits yang dhaif, sebagian ulama membolehkan, namun dengan syarat-syarat tertentu. Al-Hafizdh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa di antara syarat-syarat itu adalah :
  1. Kedhaifan hadits itu tidak terlalu parah.
  2. Hadits itu berpegangan di atas dasar yang banyak dipakai orang.
  3. Ketika mengamalkan hadits itu tidak meyakini bahwa hadits itu tsubut, tetapi sekedar berjaga-jaga seandainya hadits shahih.

2. Penyebab Dhaifnya Suatu Hadits

Ada dua kemungkinan kelemahan sebuah hadits. Pertama, lemah dari sisi isnad, yaitu jalur periwayatan. Kedua, kelemahan dari sisi diri perawi, yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadits itu.
a. Lemah Dari Sisi Isnad
Yang dimaksud dengan hadits lemah dari sisi isnad adalah kelemahan dalam jalur periwayatan hadits itu dari Rasulullah SAW kepada perawi yang terakhir. Maksudnya, ada satu, dua atau lebih perawi yang tidak lengkap dalam sebuah jalur periwayatan, dengan berbagai sebab.
Yang jelas, jalur itu menjadi ompong karena terjadi kekosongan satu atau beberapa perawi di dalamnya. Dan akibatnya, sanadnya menjadi tidak tersambung dengan benar.
Dan para ulama membagi lagi kelemahan jalur periwayatan itu menjadi beberapa jenis, antara lain : hadits muallaq (معلّق), mursal (مرسل), mu’dhal (معضل), munqathi’ (منقطع), mudallas (مدلّس), mursal khafi ( مرسل خافي), mu’an-‘an (معنعن) dan muannan (معنّن)
b. Lemah Dari Sisi Perawi
Sedangkan kelemahan dari sisi perawi berbeda dengan kelemahan isnad. Kelemahan ini bukan karena tidak adanya perawi atau terputusnya jalur periwayatan, tetapi karena rendahnya kualitas perawi itu sendiri sehingga hadits itu jadi tertolak hukumnya.
Maka hasilnya sebenarnya sama saja, baik lemah dari sisi jalur atau pun lemah dari sisi personal para perawinya.
Para ulama menyusun daftar hadits yang tertolak karena faktor lemahnya kualitas perawi, di antaranya adalah : hadits maudhu, matruk, munkar, ma’ruf, mu’allal, mukhalif li-tsiqah, mudraj, mudhtharib, mushahhaf, syadz, jahalah, mubtadi, su’ul hifdz