Lahirnya UU No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Sudut Hukum | Lahirnya UU No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Hadirnya Undang-Undang Republik Indonesia No.41 tahun 2004 tentang Wakaf, merupakan Undang-Undang yang dinantik an oleh segenap Bangsa Indonesia terutama yang memeluk agama Islam. Karena masalah perwakafan telah menjadi problem yang cukup lama dan belum ada undang-undang yang secara khusus tentang wakaf, sehingga perwakafan di negeri kita kurang berkembang secara optimal.

suduthukum.com2015/10/macam-macam-wakaf.html


Gagasan dan pemikiran pengeluaran peraturan tentang wakaf adalah adanya praktek perwakafan yang dilakukan masyarakat Islam Indonesia yang masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang mempunyai nilai mulia di hadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif, dan harta dianggap milik allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu tanpa seizin Allah.[1]

Akhirnya praktik pelaksanaan wakaf semacam ini, pada paruh perjalanannya harus diakui memunculkan persoalan mengenai validitas legal tentang harta wakaf yang berujung pada timbulnya persengketaan-persengketaan karena tidak ada buktibukti yang mampu menunjukkan bahwa benda-benda bersangkutan telah diwakafkan.

Atas dasar Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No.41 tahun 2004 tentang Wakaf, yang diundangkan pada tanggal 27 Oktober 2004, merupakan apresiasi pemerintah terhadap filantropi Islam dengan harapan pengelolaan wakaf dapat berkembang sejalan dengan dinamika dan perubahan dalam masyarakat, serta merupakan momentum yang sangat strategis dalam upaya pemberdayaaan wakaf.

Oleh sebab itu, dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pemerintah berupaya memfokuskan perhatiaannya pada penataan administratif wakaf yang memberi kepastian hukum bagi wakif (pewakaf), nadzir (pengelola) dan maukuf ‘alaih (obyek wakaf) serta mendorong pemanfaatan aset-aset wakaf yang tidak produktif menjadi berdaya guna dan berhasil guna.

Lebih lanjut, Jaih Mubarok dalam bukunya Wakaf Produktif, menyebutkan dasar pemikiran atau alasan pembentukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, sebagai berikut:[2]

  1. Memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pengembangan dan pengalian potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis. Diantara langkah yang dipandang strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum adalah meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang pada awalnya hanya berfungsi sebagai sarana ibadah dan sosial, menjadi pranata yang memiliki kekuatan ekonomi yang diyakini dapat memajukan kesejahteraan umum. Oleh sebab itu, penggalian potensi wakaf dan pengembangan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah merupakan keniscayaan.
  2. Praktik wakaf yang ada sekarang di masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien. Salah satu buktinya adalah diantara harta benda wakaf tidak terpelihara dengan baik, terlantar, bahkan beralih ketangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keterlantaran dan pengalihan benda wakaf ketangan pihak ketiga terjadi karena: (1) kelalaian atau ketidakmampuan nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf; (2) sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi sebagai media untuk mencapai kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.


Sebagaimana penjelasan dari dua alasan tersebut, para penyusun Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf berkeyakinan bahwa pembentukan Undang-Undang tentang Wakaf merupakan keniscayaan untuk pembangunan hukum nasional yang juga sebagai alat atau media untuk mencapai kesejahteraan umum.




[1] Ahmad Djunaidi dan Thobib Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif,(Jakarta: Mumtaz Publishing, 2005) hal 57

[2] Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, (Bandung: Simbiosa Rekatama,2008) hal 57