Hadits Tentang tidak Sah Nikah Kecuali oleh Wali

Sudut Hukum | Hadits Tentang tidak Sah Nikah Kecuali oleh Wali

Hadits dari Aisyah r.a. berbunyi :

أَن النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا نِكَاح إِلَّا ولِي وشاهدي عدل وَمَا كَانَ من نِكَاح عَلَى غير ذَلِك فَهُوَ بَاطِل فَإِن تشاجروا فالسلطان ولي من لَا ولي لَهُ رَوَاهُ ابْن حبَان فِي صَحِيحه وَقَالَ لَا يَصح فِي ذكر الشَّاهِدين غَيره

Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : Tidak pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. Pernikahan yang bukan atas jalan demikian, maka batil. Seandainya mereka berbantahan, maka sulthan yang menjadi wali orang-orang yang tidak mempunyai wali. (H.R. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Beliau mengatakan, tidak ada hadits yang shahih dalam penyebutan dua orang saksi kecuali hadits ini.)[1]

Dari Amran bin Hushain r.a., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ

Artinya : Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi.

Hadits ini telah diriwayat oleh Ahmad dalam musnadnya, Baihaqi, al-Thabrani, Darulquthni dan Imam Syafi’i. Imam Syafi’i mengatakan, hadits ini meskipun munqathi’, tetapi kebanyakan ahli ilmu berpendapat dengan kandungan hadits tersebut.[2]
suduthukum.com/Terjadi khilaf ulama dalam hal kedudukan wali dalam pernikahan. Kalangan Hanafiyah tidak mensyaratkankan wali untuk keabsahan nikah, sebaliknya, kebanyakan fuqaha berpendapat tidak sah nikah kecuali dengan wali. Perbedaan ini karena tidak ada nash al-Kitab yang tegas tentang persyaratan wali dalam suatu pernikahan. Adapun hadits Nabi SAW yang diantaranya hadits-hadits di atas, terjadi khilaf dalam hal keshahihannya. Ulama yang berpendapat tidak sah nikah kecuali dengan wali, menjadikan dhahir kandungan hadits-hadits tersebut sebagai hujjah tidak sah nikah kecuali dengan wali, sedangkan kalangan Hanafiyah berpendapat hadits-hadits tersebut lemah, karena itu tidak dapat menjadi hujjah dan kalaupun shahih, hadits-hadits tersebut dipahami sesuai dengan pendapat mereka, bukan sebagaimana dhahirnya.[3]

Dari Abu Hurairah r.a. berkata :

أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَا تُنْكَحُ اَلْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ, وَلَا تُنْكَحُ اَلْبِكْرُ حَتَّى تُسْـتَأْذَنَ قَالُوا : يَا رَسُولَ اَللَّهِ , وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ : أَنْ تَسْكُتَ

Artinya : Bahwa Rasulullah bersabda: “Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diajak berembuk dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta izinnya.” Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya? Beliau bersabda: “Ia diam.” (Muttafaq Alaihi.)[4]

Telah sepakat ahli lughat, bahwa “al-ayyam” apabila disebut secara mutlaq menurut bahasa bermakna perempuan yang tidak bersuami, baik dia masik kecil atau sudah dewasa. Namun dalam memaknainya dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat. Ulama Hijaz dan umumnya para fuqaha berpendapat maksudnya itu adalah janda dengan berdalil kepada riwayat lain yang disebut dengan perkataan “al-tsaib” (janda) sebagaimana hadits di bawah ini (nomor 4). Pendapat ini juga didukung rangkaian hadits, dimana disebutkan perkataan ‘al-ayyam” pada muqabalah “al-bikr” (gadis) dan juga penggunaan perkataan “al-ayyam” kepada makna janda lebih banyak dibandingkan makna lain. Para ulama Kufah dan Zafar memaknai “al-ayyam” dalam hadits di atas dengan makna semua perempuan yang tidak bersuami, baik gadis maupun janda. Mereka mengatakan, setiap perempuan yang sudah baligh, maka dia lebih berhak dari walinya, aqad nikah siperempuan atas dirinya sendiri adalah shahih dan wali bukanlah rukum nikah, tetapi hanya kesempurnaannya. Ini merupakan pendapat al-Sya’bi dan al-Zuhri. Al-Auza’i, Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan, ketergantungan sah nikah atas persetujuan wali.[5]
Para ulama juga berbeda pendapat dalam hal minta izin kepada anak gadis tentang pernikahannya. Syafi’i, Ibnu Abi Laila, Ahmad, Ishaq dan lainnya mengatakan, meminta izin kepada anak gadis merupakan perintah, namun jika walinya adalah ayah dan kakek, maka hukumnya hanyalah anjuran, bukan wajib, karena sempurna kasih sayang keduanya. Adapun apabila walinya selain ayah dan kakek, maka wajib meminta izin kepadanya dan tidak sah nikah sebelum ada izinnya. Al-Auza’i, Abu Hanifah dan ulama Kufah lainnya mengatakan, wajib minta izin pada setiap gadis yang sudah baligh.[6]

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata :

أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ اَلثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا , وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ , وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا

Artinya : Bahwa Nabi SAW bersabda: “Seorang janda lebih berhak menentukan (pilihan) dirinya daripada walinya dan seorang gadis diajak berembuk, dan tanda izinnya adalah diamnya.” (H.R. Muslim.)[7]

Pengertian “seorang janda lebih berhak menentukan (pilihan) dirinya daripada walinya” masih berkemungkinan bermakna ganda, yakni bisa bermakna lebih berhak dalam aqad dan lainnya seperti izin sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan Daud. Akan tetapi juga bisa bermakna lebih berhaq dalam hal izin saja, sehingga tidak sah dinikahkan seorang janda kecuali dengan izinnya, namun sebagai pihak yang menikahkan tetap berada pada tangan si wali. Pendapat ini sesuai dengan hadits : “Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali” di atas dan juga hadits Abu Hurairah r.a, beliau berkata :
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ اَلْمَرْأَةَ, وَلَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ نَفْسَهَا

Artinya : Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya, dan tidak boleh pula menikahkan dirinya.(H.R. Ibnu Majah dan Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.)[8]

____________________
[1] Ibnu al-Mulaqqan, Tuhfah al-Muhtaj ‘ala Adallah al-Minhaj, Darul Hira’, Makkah, Hal. 363-364, No. Hadits : 1427
[2] Ibnu al-Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 542.
[3]. Lihat Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Usaha keluarga, Semarang, Juz. II, Hal. 6-9
[4] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 297
[5] Al-Nawawi. Syarah Muslim, Penerbit. Muassisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 291
[6] Al-Nawawi. Syarah Muslim, Penerbit. Muassisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 292
[7] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 297-298
[8] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 298
http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/