Lampu Merah Kejahatan Seksual Anak

Sudut Hukum | Lampu Merah Kejahatan Seksual Anak
Teori psikologi menyebutkan pelaku pedofilia sering mengincar anak lakilaki yang kehilangan figur ayah. Psikolog kenamaan Steve Biddulph mengungkapkan satu dari tujuh anak laki-laki mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-kanak mereka.
Menurutnya, masa kecil dengan kekerasan seksual akan melahirkan predator-predator dewasa yang senantiasa mengincar korban anak-anak yang haus akan sosok bapak. Ini menjadi lingkaran setan yang jika tidak ditangani dengan serius menjadi bencana bagi kehidupan anak. Teori ini tentunya sesuai dengan realita kita pada saat ini.
suduthukum.comPredator anak berkeliaran dalam masyarakat dan bergaul seperti layaknya warga biasa. Mereka hidup di lingkungan sekolah hingga kompleks perumahan. Sekolah bertaraf internasional di Jakarta pun tidak lepas dari ancaman para predator bengis berhati iblis. Sebutan hati iblis tidak berlebihan, mengingat sebagai manusia normal, kita tidak habis pikir bagaimana mereka tega merenggut keceriaan anak-anak hanya untuk mengikuti nafsu binatang.
Kasus terbaru, 26 anak yang menjadi korban pedofilia di Kelapa Gading mengusik kesadaran kita. Setelah kasus Babe alias Baequni (2010), kasus ini menjadi yang terbesar untuk wilayah Jakarta. Kasus ini menambah deretan panjang kasus pencabulan anak yang masuk ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sebagai lembaga negara independen, KPAI menetapkan wilayah Jakarta Utara masuk dalam zona merah kasus pedofilia.
Pertimbangan ini berdasarkan jumlah korban, bahkan bisa bertambah, yang demikian tinggi. Penetapan darurat predator anak menjadi salah satu langkah untuk menyadarkan masyarakat betapa pentingnya menjaga anak-anak mereka di mana pun. Orang tua memiliki kewajiban menjaga anak agar terhindar dari berbagai ancaman anak salah satunya pencabulan dan kekerasan seksual.
Mengapa demikian? Penelitian Loftus (Loftus, Polonsky, dan Fullilove, 1994) menemukan bahwa lebih dari 80% orang dewasa yang melaporkan kekerasan seksual masa kanak-kanak telah mengingat kekerasan dalam sepanjang hidup mereka. Artinya, pengalaman kekerasan seksual pada masa kecil akan berdampak besar pada kehidupan dewasa mereka.
Menurut penelitian yang sama, orang dewasa yang mengalami kekerasan seksual pada masa kecilnya cenderung ingin membalas kepada anak-anak lain. Atas hasil penelitian tersebut, KPAI berpesan untuk semua orang tua, cermati setiap orang dewasa yang masuk dalam kehidupan anak Anda. Bersikap waspada akan mereduksi ancaman pelanggaran anak, khususnya terkait pencabulan dan kekerasan seksual.
Begitu besarnya dampak kekerasan seksual di masa kecil membutuhkan keseriusan pemerintah sebagai salah satu pilar perlindungan anak. Ada tiga langkah yang bisa dilakukan untuk menangani kasus pencabulan anak yang sudah demikian menakutkan. Pertama, rehabilitasi korban secepatnya. Langkah ini diperlukan agar korban tidak mengalami trauma berkepanjangan.
Rehabilitasi menjadi bentuk perlindungan khusus kepada anak yang menjadi korban pencabulan dan kekerasan seksual. Bentuk perlindungan pun harus mengacu pada aturan perundang- undangan. UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 59 A menyebutkan, rehabilitasi menjadi bagian dalam perlindungan khusus bagi anak.
Salah satu upayanya adalah pendampingan psikososial saat pengobatan sampai pemulihan. Bentuk rehabilitasi ini dilakukan di dalam atau luar lembaga yang telah ditunjuk. Dalam bagian lain, jika kasus pencabulan ini berlanjut ke meja hijau, pemberian perlindungan dan pendampingan wajib diberikan kepada anak di setiap proses peradilan.
Perlindungan ini juga termasuk pada jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, ataupun sosial. Korban dan keluarganya pun diberikan akses seluas-luasnya untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Rehabilitasi ini juga termasuk melindungi anak dari pemberitaan identitas anak melalui media massa yang ditujukan untuk menghindari labelisasi korban kekerasan seksual dan pencabulan.
KPAI senantiasa mengimbau media massa untuk tidak menyebutkan secara langsung identitas korban pencabulan dan kekerasan seksual. KPAI pun merespons secara positif karena imbauan ini ternyata mendapat reaksi yang baik dari pengelola media massa. Perlindungan identitas korban ini juga dilakukan sebagai bagian dari rehabilitasi agar tidak mengalami trauma berkepanjangan dan lebih berat lagi.
Kedua, penegakan hukum yang keras dan tegas kepada pelaku pencabulan dan kekerasan seksual anak. Aparat penegak hukum harus memiliki langkah-langkah progresif agar memiliki efek jera kepada pelaku dan memberi rasa aman kepada masyarakat. Proses pembuktian di pengadilan harus dengan upaya ekstracerdas, out of the box, tidak dengan cara-cara konvensional.
KPAI berharap tidak ada lagi putusan hakim yang membebaskan para pelaku kejahatan seksual anak. Putusan bebas hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terkait kasus JIS menunjukkan tidak sensitifnya para penegak hukum dalam isu perlindungan anak. Dalam setiap putusannya, hakim harus memiliki komitmen perlindungan anak karena kasus kekerasan terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa yang memiliki dampak panjang dalam kehidupan mereka.
Ketiga, membangun kesadaran kolektif masyarakat untuk melindungi anak-anak dari berbagai ancaman pelanggaran hak anak. UU Perlindungan Anak telah menetapkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang secara normal. Mereka berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Pembentukan Satuan Tugas Perlindungan Anak hingga ke level RT/RW harus kembali disuarakan. Dengan ada satgas tersebut, keterlibatan masyarakat sebagai salah satu pilar perlindungan anak akan menjadi lebih terealisasi dan optimal. Sejauh ini pengungkapan kasus pelanggaran anak terjadi karena ada kepedulian masyarakat.
Segera laporkan ke aparat kepolisian, jika Anda menemukan anak yang tampak kusam, lukaluka, atau mungkin berbeda dari anak-anak normal lainnya. Selain itu, anak membutuhkan orang tua atau paling tidak seseorang yang baik sebagai pengganti figur ayah-bundanya. Anak perlu perlindungan agar tidak diperlakukan secara remeh, dikasari, atau dilecehkan oleh paparan pada kekejaman atau sesuatu yang dangkal, ihwal yang amat murahan.
Mereka perlu dibantu untuk memahami bahwa seksualitasnya punya arti yang istimewa, bukan murahan. Anak perlu bantuan untuk belajar bekerja dan mampu mengurus dirinya sendiri di rumah dan lingkungannya sendiri.[*sindo]
DR HM ASRORUN NI’AM SHOLEH MA, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)