Pengertian Syukur

Sudut Hukum | Definisi Syukur
Kata syukur bahasa berasal dari kata”syakara”yang berarti membuka, sebagai lawan dari kata kafara (kufur) yang berarti menutup. Sedangkan menurut istilah syara’ syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah yang disertai dengan ketundukan kepadanya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah.

Imam al-Qusyairi mengatakan, ”hakikat syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang telah diberikan Allah yang di buktikan dengan ketundukan kepada-Nya. Jadi, syukur itu adalah mempergunakan nikmat Allah menurut kehendak Allah sebagai pemberi nikmat. Karena itu, dapat dikatakan bahwa syukur yang sebenarnya adalah mengungkapkan pujian kepada Allah dengan lisan, mengakui dengan hati akan nikmat Allah, dan mempergunakan nikmat itu sesuai dengan kehendak Allah.”

suduthukum.com/2015/08/empat-cara-bersyukur-menurut-imam-al.html

Imam Al-Ghazali mengatakan syukur ada tiga perkara;
Pertama, pengetahuan tentang nikmat, bahwa seluruh nikmat berasal dari Allah dan Allah-lah yang memberikan nikmat pengetahuan itu kepada orang yang dikehendaki-Nya. Adapun yang lain hanya perantara untuk sampainya nikmat itu.

Kedua, sikap jiwa yang tetap dan tidak berubah sebagai buah dari pengetahuannya yang mendorong untuk selalu senang dan mencintai yang memberi nikmat dalam bentuk kepatuhan kepada perintah Allah.

Ketiga, menghindari perbuatan maksiat kepada Allah. Sikap yang demikian itu hanya terjadi kalau seseorang telah mengenal kebijaksanaan Allah dalam menciptakan seluruh makhluk-Nya.

Senada dengan imam Al-Qusyairi dan Imam Al-Ghazali, Ibnu Qudamah berkata ”syukur itu dapat terjadi dengan lisan, hati, dan perbuatan”. Bersyukur dengan hati adalah keinginan untuk selalu berbuat kebaikan. Bersyukur dengan lidah ialah mewujudkan rasa terima kasih kepada Allah melalui ucapan dalam bentuk pujian kepada-Nya.

Bersyukur dengan perbuatan adalah mempergunakan nikmat Allah menurut kehendak Allah yang memberikan nikmat itu sendiri.

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyebutkan bahwa hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah SWT. Kemudian anggota badannya tunduk kepada pemberi nikmat itu. Yang disebut tunduk adalah mentaati dan patuh karena seseorang tidak disebut tunduk, kecuali jika dia mentaati perintah Allah dan patuh kepada syari’at-Nya. Dengan demikian syukur merupakan pekerjaan hati dan anggota badan. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan tentang cara bersyukur sebagai berikut, bersyukur dengan lisan adalah lisan mengakui bahwa nikmat itu berasal dari Allah dan tidak menyandarkannya kepada makhluk atau kepada dirimu sendiri, daya mu, kekuatanmu, atau usahamu. Syukur dengan hati adalah dengan keyakinan yang abadi, kuat, dan kokoh bahwa semua nikmat, manfaat, dan kelezatan yang ada padamu, baik lahir maupun batin, gerakanmu maupun diammu adalah berasal dari Allah bukan dari selain-Nya, dan kesyukuranmu dengan lisanmu merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam hatimu. Sedangkan bersyukur dengan anggota badan adalah hendaknya kamu menggerakkan dan menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah bukan untuk selainnya dari makhluk.

Menurut al-Jurjaniy, al-syukur ialah suatu keadaan kebaikan sebagai membalas suatu nikmat. Sama dengan lisan, tangan, dan hati. Atau dengan perkataan yang lain syukur itu boleh dinyatakan sebagai suatu sifat yang terpuji dilahirkan melalui lisan (lidah), janan (hati), dan arkhan (anggota zahir) dengan satu tujuan untuk mengagungkan kebesaran Allah swt dan ketinggian-Nya disebabkan oleh penganugerahan sesuatu nikmat.

Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Sa’id Hawwa, syukur termasuk salah satu maqam para penempuh jalan ruhani (salik). Syukur terdiri dari ilmu, hal (kondisi spiritual), dan amal perbuatan. Ilmu adalah dasar darinya melahirkan hal (kondisi spiritual), dan hal melahirkan amal perbuatan. Ilmu adalah mengetahui segala kenikmatan berasal dari Allah sang pemberi nikmat. Hal adalah kegembiraan atas nikmat yang diperolehnya. Amal perbuatan adalah mengerjakan perbuatan yang dicintai Allah. Amal perbuatan tersebut berkaitan dengan hati, anggota badan, dan lisan.
Sikap syukur perlu menjadi kepribadian setiap muslim, sikap ini mengingatkan untuk berterimakasih kepada pemberi nikmat (Allah) dan perantara nikmat yang diperolehnya (manusia). Dengan bersyukur ia akan rela dan puas atas nikmat Allah SWT yang diperolehnya dengan tetap meningkatkan usaha guna mendapat nikmat yang lebih baik.

Sikap ini merupakan fondasi seseorang untuk mengikrarkan keislaman, menjadi muslim, serta selangkah menuju seorang mukmin yang sejati. Menurut Amin Syukur, syukur adalah menggunakan nikmat Allah secara fungsional dan proposional. Syukur merupakan penampakkan nikmat Allah yang dikaruniakan padanya baik dengan cara menyebut-nyebut nikmat tersebut, dengan cara mempergunakannya dijalan yang dikehendaki oleh Allah SWT atau dengan kata lain syukur adalah menyatakan kegembiraan menerima nikmat tersebut dalam gerak tubuh dan lisan.[*]