Pengertian dan Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Menurut Fiqh

Pengertian Pembatalan Perkawinan

Sudut Hukum | Dalam kajian hukum Islam, suatu tindakan baik yang berhubungan dengan hukum taklifi, maupun hukum wad’i bisa bernilai sah, dan bisa pula bernilai batal.[1] Kata sah berasal dari bahasa Arab “sahih” yang secara etimologi berarti sesuatu dalam kondisi baik dan tidak bercacat. Menurut istilah Usul Fiqh kata sah digunakan kepada suatu ibadah atau akad yang dilaksanakan dengan melengkapi segala syarat dan rukunnya. Kata batal adalah lawan dari istilah sah, artinya bilamana suatu akad tidak dinilai sah, berarti batal.[2]


Selain itu, batal adalah rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya yang telah ditetapkan oleh syara’. Itu dilarang atau diharamkan oleh agama.[3] Batalnya perkawinan adalah “rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau diharamkan oleh agama.”


Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Maksud dari fasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami istri. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat ketika berlangsung akad nikah atau karena hal-hal yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.[4]


Fasakh juga berarti mencabut dan membatalkan yang asalnya dari pokok kata yang berarti mencabut sesuatu yang sudah sah dan formal (legal formal). Fasakh disyariatkan dalam rangka menolak kemudaratan dan diperbolehkan bagi seorang istri yang sudah mukallaf atau balig dan berakal.


Suami memiliki hak menalak, sedangkan bagi pihak istri disediakan lembaga fasakh. Dengan demikian keduanya memilki hak yang sama dalam upaya menghapus atau mencabut suatu ikatan rumah tangga karena adanya penyebab tertentu yang dibenarkan menurut hukum.[5] Menurut Zainuddin Ali, pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad nikah.[6]


Keadaan fasakh di dalam hukumIslam berdasarkan nash Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 78 yaitu:

“Tiadalah Allah menjadikan bagi kamu sekalian dalam Agama ini kesulitan”[7]

Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan

Untuk menguraikan tentang dasar hukum pembatalan perkawinan, di sini dikemukakan ayat Al-Qur’an dan Hadits yang berkenaan dengan nikah yang dibatalkan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah, misalnya larangan kawin sebagaimana dimaksud dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa: 22-23.

Surat An-Nisa: 22.

“Dan janganlah kamu kawini janda-janda ayahmu, kecuali yang sudah lampau, sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan kelakuan yang paling buruk.”

Surat An-Nisa: 23.

“Diharamkan atasmu menikahi ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara perempuan dari bapakmu, saudara-saudara ibumu yang perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu yang menyusukanmu, saudara perempuan sepersusuan, ibu isterimu, anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, jika kamu belum campur dengan isterimu itu tetapi sudah kamu ceraikan, tidak mengapa kamu menikahinya, isteri-isteri anak kandungmu, dan mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang sudah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penyayang.”[8]

Hadits Shahih Bukhari:

“Dari Khansa’ binti Khizam, orang Ansar r.a., ia menceritakan bahwa bapaknya mengawinkannya (tanpa izinnya), sedangkan ia adalah seorang janda. Ia tidak suka dengan keadaan itu. Ia datang kepada Rasulullah saw. Rasul membatalkan perkawinan itu.”[9]


Sebab-sebab Terjadinya Batalnya Perkawinan

Pengertian dan Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Menurut Fiqh

a. Fasakh (batalnya perkawinan) karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.

  1. Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya, adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami.
  2. Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya, kemudian setelah dewasa, ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar balig. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh balig.



b. Fasakh (batalnya perkawinan) karena hal-hal yang datang setelah akad.

  1. Bila salah seorang dari suami murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
  2. Jika suami, yang tadinya kafir masuk Islam tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istri adalah ahli kitab. Maka akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semula dipandang sah.[10]
  3. Karena ada balak (penyakit belang kulit). Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda:“Dari Ka’ab bin Zaid r.a bahwasannya Rasulullah SAW. Pernah menikahi seorang perempuan Bani Gifa. Maka, tatkala bagaimana akan bersetubuh dan perempuan itu telah meletakkan kainnya dan ia duduk di atas pelaminan, terlihatlah putih (balak) dilambungnya, lalu beliau berpaling (pergi dari pelamin itu) seraya berkata: Ambillah kainmu, tutuplah badanmu, dan beliau tidak menyuruh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.” (HR Ahmad dan Baihaqi)
  4. Karena penyakit kusta. Berkenaan dengan hal itu, Umar berkata: “Dari Umar r.a. berkata: Bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, yang pada perempuan itu terdapat tanda-tanda gila atau berpenyakit kusta, lau disetubuhinya perempuan itu, maka ia berhak mendapatkan maharnya dengan penuh. Dengan demikian, suami berhak menagih pada walinya.” (HR Malik dan Syafi’i)
  5. Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC dan lain sebagainya.
  6. Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (bersetubuh).[11]


Disamping itu, fasakh juga bisa terjadi oleh sebab-sebab berikut:

  • Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya, umpamanya: budak dengan orang merdeka, orang pezina dengan orang terpelihara, dan sebagainya.
  • Suami tidak mampu memberikan belanja kepada istrinya sedangkan istrinya itu tidak rela.[12] Imam Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa hakim boleh menetapkan putusnya perkawinan karena suami tidak memberi nafkah kepada istri, baik karena memang tidak ada lagi nafkah itu atau memang suami menolak memberi nafkah.[13]
  • Perkawinan antara laki-laki dan perempuan, ternyata akhirnya diketahui bahwa perempuan itu masih mempunyai hubungan perkawinan dengan orang lain atau dalam masa iddah talak laki-laki lain. Sejak diketahuinya hal itu, perkawinan mereka dibatalkan sebab tidak memenuhi syarat sahnya akad nikah.
  • Apabila suami melakukan zina dengan ibu atau anak istrinya, atau istri melakukan zina dengan ayah atau anak suaminya, perkawinan mereka dibatalkan sebab antara suami istri terdapat hubungan mahram semenda yang menghalangi terjadinya perkawinan.[14]
  • Suami gaib atau hilang dan selama hilangnya tidak jelas beritanya, bahkan tidak lagi memberi nafkah keluarga. Menurut kebanyakan ulama fiqh, pihak istri boleh melakukan fasakh.[15]
  • Seorang laki-laki menipu seorang perempuan, umpamanya dia sebenarnya mandul dan tidak mungkin mendapatkan keturunan. Keadaan itu tidak diketahui si istri sebelumnya dan baru diketahui setelah perkawinan berlangsung, si istri berhak mengajukan fasakh, kecuali kalau dia rela dengan keadaan tanpa keturunan dan memilih tetap menjadi istri laki-laki tersebut.
  • Seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan mengaku sebagai seorang laki-laki baik-baik, namun dalam perjalanan perkawinan ternyata laki-laki itu adalah orang jahat, banyak membuat dosa, atau orang yang fasik, maka si perempuan dapat mengajukan haknya.
  • Seorang wanita mengaku perawan waktu akan dinikahi, ternyata setelah perkawinan berlangsung, ia bukan perawan lagi, baik karena ia janda atau telah melakukan perbuatan yang haram.





[1] Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 19

[2] Ibid., h. 20

[3] Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 105

[4] M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 195-196

[5] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku II), (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), h.105

[6] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 37

[7] Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), h. 276

[8] Departemen Agama RI, Terjemah dan Tafsir Al-Quran, (Bandung: Firma Sumatra, 1978), cet. V, h. 164

[9] Imam Al-Bukhary, Terjemahan Hadts Shahih Bukhari, (Kuala Lumpur: Klang Book Centre, 2005), Jilid I,II,III,IV, h.12

[10] M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 196-197

[11] Ibid., h. 198-199

[12] Ibid., h. 201

[13] Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), h. 171

[14] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, h.85-86

[15] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku II), h.107