Konsep Umum tentang Sewa (Ijarah)

Sudut Hukum | Konsep Umum tentang Sewa (Ijarah)

1. Pengertian Sewa Menyewa (Ijarah)

Menurut kamus umum bahasa Indonesia, Sewa menyewa berasal dari kata dasar Sewa yang artinya pemakaian (Peminjaman) sesuatu dengan membayar uang.

Menurut Drs.Ghufron A.Mas’Adi, Ijarah adalah transaksi yang memperjual belikan manfaat suatu harta benda.

Konsep Umum tentang Sewa (Ijarah)

Menurut Sayyid Sabiq Ijarahadalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi.

Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikutip oleh Dr.Hendi Suhendi, dalam Fiqh Muamalah, para Ulama berbeda-beda mendefinisikan Ijarah, antara lain sebagai berikut:

  • Menurut ulama Hanafiyah Ijarahadalah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.
  • Menurut ulama Malikiyah Ijarah adalah nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.
  • Menurut Syaikh Syihab Al-din dan Syaikh Umairah yang dimaksud dengan Ijarah adalah akad atas manfaaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu.
  • Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie Ijarahadalah akad yang objeknya adalah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.
  • Sedangkan menurut Idris Ahmad, Ijarahadalah upah, artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.

2. Dasar Hukum Sewa (Ijarah)

Ijarah (sewa) disahkan syariat berdasarkan Al-qur’an, Sunnah, dan Ijma’ DalilAlqur’ansurat ath-Thaalaq ayat 6:

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.

Surat al-Qashash ayat 26

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.

Surat al Kahfi ayat 77

“Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”.

Dalil Sunnah Rasulullah SAW. Sufyan telah menceritakan kepada kami, dari az Zuhri, dari Haram Ibnu Sa’d Ibnu Muhayyashah

Muhayyashah pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. Tentang usaha sebagai tukang hijam (bekam), maka Nabi Saw, melarangnya, tetapi Muhayyashah terus menerus berbicara kepada Nabi Saw. Mengenainya sehinga beliu bersabda, “Berikanah hasilnya untuk makan budakmu dan makanan unta penyiramu”

“Rasulullah SAW. Pernah meminta dibekam, lalu beliu bersabda (kepada keluarganya) untuk tukang bekam “Berilah dia upah”

Adapun landasan Ijma’nyaialah semua umat sepakat, tidak ada seorang ulama yang membantah kesepakatan (Ijma’) ini, meskipun terdapat perbedaan pendapat.Tetapi hal tersebut tidak dianggap.


3. Rukun dan Syarat Sewa (Ijarah)

Ijarahmerupakan suatu transaksi yang mempunyai status hukum boleh. Kebolehan dimaksud harus mempunyai rukun-rukun dan syarat sebagai berikut:

  1. Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewamenyewa atau upah mengupah. Mu’jiradalah orang yang memberikan upah dan yang menyewakan, Musta’jiradalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, diisyaratkan pada Mu’jirdan Musta’jiradalah baligh, berakal, cakap melakukan Tasharruf(Mengendalikan Harta), dan saling meridhai. Bagi orang yang berakad Ijarah juga diisyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga mencegah terjadinya perselisihan.
  2. ShighatIjabQabul antara Mu’jir dan Musta’jir, IjabQabulsewa menyewa misalnya: “Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp 5000,00” maka Musta’jir menjawab “ Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”.
  3. Ujrah, diisyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa maupun dalam upah-mengupah.
  4. Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upahmengupah, diisyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut:

  • Barang yang dijadikan objek akad sewa-menyewa dapat dimanfaatkan kegunaannya.
  • Benda yang menjadi objek akad sewa-menyewa dapat diserahkan.
  • Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara Mubah (Boleh) menurut Syara’ bukan hal yang dilarang (diharamkan)
  • Benda yang disewakan diisyaratkan Kekal’ain (zat)-nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad sewa.
Menurut Sayyid Sabiq, Akad sewa dianggap sah setelah IjabQabul dilakukan dengan Lafadssewa atau Lafadslain yang menunjukan makna sama.


Kedua pihak yang melakukan akad diisyaratkan memiliki kemampuan, yaitu berakal dan dapat membedakan (baik dan buruk).


Sedangkan para penganut Mazhab Syafi’i dan Hambali menambahkan syarat lain yaitu baligh. Jadi jika menurut mereka, akad anak kecil meski sudah Tamyiz, dinyatakan tidak sah jika belum baligh.


Demi sahnya penyewaan, Sayyid Sabiq mengisyaratkan hal-hal berikut:

  1. Kedua orang yang berakad saling ridha. Apabila salah satu dari keduanya dipaksa untuk melakukan penyewaan maka akad tidak sah.
  2. Mengetahui manfaat barang tersebut dengan jelas guna mencegah terjadinya fitnah. Upaya dilakukan dengan melihat langsung barang. Atau cukup dengan penjelasan akan kriteria barang termasuk masa sewa.
  3. Barang yang menjadi objek akad dapat diserahkan terimakan pada saat akad.
  4. Barang dapat diserahterimakan termasuk manfaat yang dapat digunakan oleh penyewa.
  5. Manfaat barang tersebut status hukumnya mubah. Bukan termasuk yang diharamkan.

4. Pembagian Macam-macam Sewa (Ijarah)

Dilihat dari segi objeknya, para ulama fiqih membagi dua macam yaitu yang bersifat: manfaat dan yang bersifat pekerjaan (Jasa). Ijarah yang bersifat manfaat, misalnya sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan sebagainya.Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan Syara’ untuk digunakan, maka ulama fiqih sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa menyewa.


Ijarah yang bersifat pekerjaan adalah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqih, hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas.Seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik dan tukang sepatu.Ijarah seperti ini ada yang bersifat pribadi, seperti menggaji pembantu rumah tangga, dan yang berifat serikat, yaitu seorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya kepada orang banyak.Bentuk Ijarah semacam ini menurut para Ulama Fiqih hukumnya boleh.


Apabila orang yang dipekerjakan itu bersifat pribadi, maka seluruh pekerjaan yang ditentukan untuk dikerjakan menjdi tanggung jawabnya.Tetapi para Ulama Fiqih sepakat menyatakan bahwa apabila objek yang dikerjakan itu rusak ditangannya, bukan karena kelalaian atau kesengajaan, maka ia tidak boleh dituntut ganti rugi. Apabila kerusakan itu terjadi atas kesengajaan atau kelalaiannya, maka, menurut kesepakatan pakar fiqih ia wajib mengganti rugi.


Sedangkan penjual jasa untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang jahit dan tukang kasut.Apabila melakukan kesalahan sehingga kasut yang diperbaikinya rusak atau pakaian yang dijahit itu rusak, maka pakar Ulama Fiqih berbeda pendapat dalam masalah ganti rugi terhadap kerusakan itu. Imam Abu Hanifah, Zulfair Ibn Huzail, Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa apabila kerusakan itu bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian, maka ia tidak dituntut ganti rugi barang yang rusak itu.


Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan Asy-syaibani keduanya sahabat Abu Hanifah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa penjual jasa untuk kepentingan umum bertanggung jawab atas kerusakan barang yang sedang ia kerjakan baik dengan sengaja maupun tidak, kecuali kerusakan itu diluar batas kemampuannya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang yang dikerjakan, seperti clean & laudry, juru masak dan buruh angkat, maka baik sengaja maupun tidak sengaja, segala kerusakan yang terjadi menjadi tanggung jawab mereka dan wajib diganti.


5. Berakhirnya Sewa

Pada dasarnya perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian yang lazim, dimana masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian itu tidak mempunyai hak untuk membatalkan perjanjian. (tidak mempunyai hak fasakh), karena jenis perjanjian termasuk kepada perjanjian timbal balik.


Bahkan jika salah satu pihak (yang menyewakan atau penyewa) meninggal dunia, perjanjian sewa menyewa tidak akan menjadi batal, asalkan yang menjadi objek perjanjian sewa menyewa masih tetap ada.


Menurut Ulama Hanafiyah meninggalnya salah seorang yang berakad, karena akad Ijarahtidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut Jumhur Ulama, akad Ijarahtidak batal dengan meninggalnya seseorang karena manfaatnya boleh diwariskan dan Ijarahsama dengan jual beli. Yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.


Menurut Sayyid Sabiq, penyewaan batal karena adanya hal-hal berikut:

  1. Munculnya cacat yang sebelumnya tidak ada pada barang sewaan ketika sedang berada ditangan penyewa atau terlihatnya cacat lama padanya.
  2. Rusaknya barang sewaan yang ditentukan, seperti rumah yang ditentukan atau binatang yang ditentukan.
  3. Rusaknya sesuatu yang diupahkan, seperti kain yang diupahkan untuk dijahit karena apa yang diakadkan tidak mungkin ditunaikan setelah kerusakanya.
  4. Diambilnya manfaat yang diakadkan secara sempurna, diselesaikannya pekerjaan, atau berakhirnya masa penyewaan, kecuali apabila ada uzur yang menghalangi berakhirnya penyewaan. Apabila masa penyewaan tanah pertanian berakhir sebelum tanaman dipanen, maka tanah tetap berada ditangan penyewa dengan membayar sewa yang wajar sampai tanaman dipanen, mekipun tanpa kehendak pemilik tanah, demi menghindarkan penyewa dari kerugian karena memanen tanaman sebelum waktunya.

Menurut Ulama Hanafiyah, sebagaimana dikutip oleh Dr. H.Nasrun Harun, MA, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita Negara karena terkait utang yang banyak, maka akad Ijarah batal. Uzur-uzur yang yang dapat


membatalkan akad Ijarah itu, menurut Ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak jatuh Muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seorang digaji untuk menggali sumur, sebelum sumur itu selesai penduduk desa itu pindah ke desa lain. Akan tetapi uzur yang membatalkan akad Ijarah itu apabila objeknya mengadung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.