Pengaturan ADR atau Mediasi Penal di Indo-nesia

Sudut Hukum | Pengaturan ADR atau Mediasi Penal di Indo-nesia, oleh Barda Nawawi Arief
Pengaturan ADR atau Mediasi Penal di Indo-nesia


DAFTAR ISI


· Telah dikemukakan di atas, bahwa berda-sarkan hukum positif di Indonesia, ADR hanya dimungkinkan dalam perkara perdata (lihat Pasal 6 UU No. 30/1999 Tentang: ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYE-LESAIAN SENGKETA). Untuk perkara pida-na pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan, antara lain :


a. Dalam hal delik yang dilakukan berupa ”pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila terdakwa telah membayar denda maksi-mum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah ”afkoop” atau ”pemba-yaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penun-tutan.

b. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut UU No. 3/1997 (Pengadilan Anak), batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terha-dap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak ter-sebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila dipandang masih dapat dibina atau diserahkan kepada Departemen Sosial apabila dipandang tidak dapat lagi dibina oleh orang tua/ wali/orang tua asuh (Pasal 5 UU No. 3/ 1997).
· Ketentuan di atas hanya memberi kemung-kinan adanya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, namun belum merupakan ”mediasi penal” seperti yang diuraikan di atas. Penyelesaian di luar pengadilan ber-dasar Pasal 82 KUHP di atas belum meng-gambarkan secara tegas adanya kemung-kinan penyelesaian damai atau mediasi antara pelaku dan korban (terutama dalam masalah pemberian ganti rugi atau kompen-sasi) yang merupakan ”sarana pengalihan/ diversi” (means of diversion)” untuk dihen-tikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana. Walaupun Pasal 82 KUHP merupa-kan alasan penghapus penuntutan, namun bukan karena telah adanya ganti rugi/ kompensasi terhadap korban, tetapi hanya karena telah membayar denda maksimum yang diancamkan. Penyelesaian kasus pidana dengan memberi ganti rugi kepada korban, dimungkinkan dalam hal hakim akan menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14c KUHP). Patut dicatat, ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP inipun masih tetap berorientasi pada kepentingan pelaku (offender oriented), tidak ”victim oriented”.
· Kemungkinan lain terlihat dalam UU No. 39/1999 tentang Pengadilan HAM yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Kepres No. 50/ 1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM (lihat Psl. 1 ke-7; Psl. 76:1; Psl. 89:4; Psl. 96). Namun tidak ada ketentuan yang secara tegas menya-takan, bahwa semua kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM, karena menurut Pasal 89 (4) Komnas HAM dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan (sub-c), atau hanya memberi rekomendasi kepada Peme-rintah atau DPR untuk ditindaklanjuti pe-nyelesaiannya (sub-d dan sub-e). Demikian pula tidak ada ketentuan yang secara tegas menyatakan, bahwa akibat adanya mediasi oleh Komnas HAM itu dapat menghapuskan penuntutan atau pemidanaan. Di dalam Pasal 96 (3) hanya ditentukan, bahwa ”keputusan mediasi mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah”.
· Telah dikemukakan di atas, bahwa di bebe-rapa negara lain, mediasi penal dimung-kinkan untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan untuk kasus KDRT (keke-rasan dalam rumah tangga – domestic violence). Namun di Indonesia, ketentuan mediasi penal itu tidak terdapat dalam UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak mau-pun dalam UU No. 23/2004 tentang KDRT.
· Akhirnya patut dicatat, bahwa gugurnya ke-wenangan penuntutan seperti yang ada dalam KUHP (yang tersebar dalam bebera-pa pasal, antara lain Psl. 82 di atas), di dalam Konsep RKUHP digabung dalam satu pasal dan diperluas dengan ketentuan sbb. :
Pasal 145 (RKUHP 1-8-2006) (Psl. 142 RKUHP 2004)
Kewenangan penuntutan gugur, jika:
a. telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. terdakwa meninggal dunia;
c. daluwarsa;
d. penyelesaian di luar proses;
e. maksimum pidana denda dibayar dengan suka-rela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II;
f. maksimum pidana denda dibayar dengan suka-rela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;
g. Presiden memberi amnesti atau abolisi;
h. penuntutan dihentikan karena penuntutan dise-rahkan kepada negara lain berdasarkan per-janjian;
i. tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau
j. pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.

Dari ketentuan RKUHP di atas terlihat, di- mungkinkannya penyelesaian perkara pida-na di luar pengadilan (lihat sub d di atas). Pengaturan rincinya belum ada, namun tentunya akan diatur lebih lanjut di dalam Rancangan KUHAP.

PENUTUP
Mediasi penal sering dinyatakan meru-pakan ”the third way” atau ”the third path” dalam upaya ”crime control and the criminal justice system[1] , dan telah digunakan di beberapa negara. Seberapa jauh kemungkinan itu dapat juga diterapkan di Indonesia, apa keterbatasan dan keunggulannya, serta bagaimana pengatur-annya, tentunya memerlukan kajian yang men-dalam dan komprehensif. Namun yang jelas, penyelesaian damai dan mediasi di bidang hukum pidana inipun sebenarnya sudah dikenal dalam hukum adat dan dalam kenyataan sehari-hari.
LAMPIRAN :
PENGATURAN MEDIASI PENAL
DI BEBERAPA NEGARA
N E G A R A
PENGATURAN
AUSTRIA
Diatur dlm amandemen KUHAP th. 1999 yang diberlakukan pada Januari 2000.
Pada mulanya diversi/pengalihan penuntutan hanya untuk anak melalui ATA-J (Außergerichtlicher Tatausgleich für Jugendliche), namun kemudian bisa juga untuk orang dewasa melalui ATA-E (Außergerichtlicher Tatausgleich für Erwachsene) yang merupakan bentuk “victim-offender mediation” (VOM).
Menurut Pasal 90g KUHAP Austria Penuntut Umum dapat mengalihkan perkara pidana dari pengadilan apabila:
1. terdakwa mau mengakui perbuatannya,
2. siap melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul atau kontribusi lainnya untuk memperbaiki akibat dari perbuatannya, dan setuju melakukan setiap kewajiban yang diperlukan yang menunjukkan kemauannya untuk tidak mengulangi perbuatannya di masa yad.
Tindak pidana yang dapat dikenakan tindakan diversi, termasuk mediasi, apabila :
1. diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 th. penjara atau 10 th. dalam kasus anak.
2. dapat juga untuk kasus kekerasan yang sangat berat (Extremely severe violence), dg catatan diversi tidak boleh, apabila ada korban mati (seperti dalam kasus manslaughter).
BELGIA
a. Pada tahun 1994 diberlakukan UU tentang mediasi-penal (the Act on Penal Mediation) yang juga disertai dengan pedomannya (the Guideline on Penal Mediation).
b. Tujuan utama diadakannya “penal mediation” ini adalah untuk memperbaiki kerugian materiel dan moral yang ditimbulkan karena adanya tindak pidana. Namun, mediasi juga dapat dilakukan agar sipelaku melakukan suatu terapy atau melakukan kerja sosial (community service).
c. Penuntut umum tidak meneruskan perkara ke pengadilan, apabila pelaku berjanji untuk memberi kompensasi atau telah memberi kompensasi kepada korban.
d. Pada mulanya hanya untuk delik yang diancam maksimum 5 tahun penjara, tetapi dengan adanya ketentuan baru ini, dapat digunakan juga untuk delik yang diancam pidana maksimum 2 tahun penjara.
e. Ketentuan hukum acaranya dimasukkan dalam Pasal 216ter Code of Criminal Procedure (10.02.1994).
JERMAN
Pada 12 Januari 1994, ditambahkan Pasal 46a ke dalam StGB (KUHP) yg memberi kemungkinan penyelesaian kasus pidana antara pelaku dan korban melalui kompensasi (dikenal dengan istilah Täter-Opfer-Ausgleich – TOA).
Pasal 46a StGB : apabila pelaku memberi ganti rugi/kompensasi kepada korban secara penuh atau sebagian besar, atau telah dengan sungguh-sungguh berusaha keras untuk memberi ganti rugi, maka pidananya dapat dikurangi atau bahkan dapat dibebaskan dari pemidanaan. Pembebasan pidana hanya dapat diberikan apabila deliknya diancam dengan maksimum pidana 1 tahun penjara atau 360 unit denda harian.
Apabila TOA telah dilakukan, maka penuntutan dihentikan (s. 153b StPO/ Strafprozessord-nung/KUHAP).
PERANCIS
UU 4 Januari 1993 mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP- Code of Criminal Procedure) yang dikembangkan berdasar UU 18 Desember 1998 dan UU 9 Juni 1999 : penuntut umum dapat melakukan mediasi antara pelaku dengan korban, sebelum mengambil keputusan dituntut tidaknya seseorang.
Inti Pasal 41 CCP : penuntut umum dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan korban dan pelaku) apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan yang dapat memperbaiki kerugian yang diderita korban, mengakhiri kesusahan, dan membantu memperbaiki (merehabilitasi) si pelaku.
Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan baru dilakukan; namun apabila berhasil penuntutan dihentikan (s. 41 dan s. 41-2 CCP- Code of Criminal Procedure).
Untuk tindak pidana tertentu, Pasal 41-2 CCP membolehkan penuntut umum meminta pelaku untuk memberi kompensasi kepada korban (melakukan mediasi penal), daripada mengenakan pidana denda, mencabut SIM, atau memerintahkan sanksi alternatif berupa pidana kerja sosial selama 60 jam. Terlaksananya mediasi penal ini, menghapuskan penuntutan.
Tindak pidana tertentu yang dimaksud Psl. 41-2 CCP itu ialah : articles 222-11, 222-13 (1° to 11°), 222-16, 222-17, 222-18 (first paragraph), 227-3 to 227-7, 227-9 to 227-11, 311-3, 313-5, 314-5, 314-6, 321-1, 322-1, 322-2, 322-12 to 322-14, 433-5 to 433-7 and 521-1 of the Criminal Code, under the articles 28 and 32 (2°) of the Ordinance of 18 April 1939 fixing the regime of war materials, arms and munitions, under Article L. 1 of the Traffic Code and under Article L. 628 of the Public Health Code
POLANDIA
mediasi pidana diatur dalam Pasal 23a CCP (Code of Criminal Procedure) dan Peraturan Menteri Kehakiman 13 Juni 2003 tentang “Mediation proceedings in criminal matters”.
Pengadilan dan jaksa, atas inisiatifnya atau atas persetujuan korban dan pelaku, dapat menyerahkan suatu kasus ke lembaga terpercaya atau seseorang untuk melakukan mediasi antara korban dan terdakwa. Proses mediasi paling lama satu bulan. Biaya proses mediasi ditanggung oleh perbendaharaan negara (State Treasury).
Hasil positif dari mediasi itu menjadi alasan untuk tidak melanjutkan proses pidana.
Mediasi dapat diterapkan untuk semua kejahatan yang maksimum ancaman pidananya kurang dari 5 tahun penjara. Bahkan kejahatan kekerasan (Violent crimes) juga dapat dimediasi.
MEDIASI VIOLENT CRIME
VOM (Victim-Offender Mediation) untuk violent crime diterapkan di Austria, Polandia, Slovenia, Canada, USA, dan Norwegia;
Kasus-kasus KDRT (domestic violence) juga dapat di mediasi di United States, Austria, Poland, Denmark and Finland.
SUMBER REFERENSI
Alternative dispute resolutions – Poland, http://ec.europa.eu/civiljustice/adr/ adr_pol_en.htm
Brienen, M.E.I. and E.H. Hoegen (2000), Victims of Crime in 22 European Criminal Justice Systems: The Implementation of Recom-mendation (85) 11 of the Council of Europe on the Position of the Victim in the Framework of Criminal Law and Procedure , Dissertation, University of Tilburg. Nijmegen, The Netherlands: Wolf Legal Productions (WLP) ISBN 90-5850-004-7;
France, Code Of Criminal Procedure, http:// www.legislationline.org/ upload/ legislations/ac/ a6/848f4569851e2ea7eabfb2ffcd70.htm
Frehsee, Detlev (Professor of Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld, Germany), Restitution and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical Implications, http://wings.buffalo. edu/law/bclc/bclr.htm
Hilman Hadikusuma. 1979. Hukum Pidana Adat. Alumni, Bandung.
Iivari, Juhani, Victim-Offender Mediation – An Alternative, an Addition or Nothing But A Rubbish Bin in Relation to Legal Pro-ceedings?, www. restorativejustice.org/ resources/docs/iivari1/download
Lee Swee Seng, LLB, LLM, MBA, Mediation: Its Practice & Procedure, www.leesweeseng.com/ mediation.ppt
Macfarlane, Deborah, Victim-Offender Media-tion in France , http://www. Mediationconfe-rence.com.au/2006_Papers/Deborah%20Macfarlane%20-%20VICTIM%20OFFENDER %20MEDIATION%20 IN%20FRANCE1.doc ;
Mediation in Penal Matters, sfm.jura.uni-sb.de/ archives/images/mediation-en%5B1%5D.doc
Natangsa Surbakti, Gagasan Lembaga Pemberian Maaf Dalam Konteks Kebijakan Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Tesis S2 Hukum UNDIP, 2003.
Nawawi Arief, Barda, Mediasi Pidana (Penal Mediation) Dalam Penyelesaian Sengketa/ Masalah Perbankan Beraspek Pidana Di Luar Penga-dilan, makalah dalam Dialog Interaktif Mediasi Perbankan, di Bank Indonesia Sema-rang, 13 Desember 2006; dimuat dalam KAPITA SELEKTA HUKUM, penerbitan khusus menyam-but Dies Natalis ke 50 FH UNDIP, 2007.
Pelikan, Christa. On Restorative Justice, www. restorativejustice.org/re-sources/docs/pelikan; Dieter Rössner, Mediation as a Basic Element of Crime Control: Theoretical and Empirical Comments, wings.buffalo.edu/law/bclc/bclr-articles/3(1)/ roessner.pdf ;
Peters,Tony, From Community Sanctions to Restorative Justice The Belgian Example, www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_rms/no61/ch12.pdf.
Polandia, Act of 6 June 1997 Code of Criminal Procedure, www.era.int/domains/corpusjuris/ public_pdf/polish_ccp.pdf
Recommendation No. R (99) 19 by the Com-mittee of Ministers of the Council of Europe, Mediation IN PENAL MATTERS, http://sfm.jura. uni-sb.de/archives/ images/mediation-en%5B1% 5D.doc.
Tränkle, Stefanie, The Tension between Judi-cial Control and Autonomy in Victim-Offender Mediation – a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germa-ny and France, http://www.iuscrim.mpg.de/forsch/krim/ traenkle_e.html.
Wolthuis, Annemieke, Will Mediation in Penal Matters be mandatory? The Impact of Interna-tional Standards, fp.enter.net/restorativepracti ces/MediationMandatory



[1] Lihat antara lain, Deborah Macfarlane, Victim-Offender Mediation in France , http://www. Mediation conference.com.au/2006_Papers/Deborah%20Macfarlane%20-%20VICTIM%20OFFENDER %20MEDIATION%20 IN%20 FRANCE1.doc ; Christa Pelikan. On Restorative Justice, www. restorativejustice.org/resources/docs/pelikan; Dieter Rössner, Mediation as a Basic Element of Crime Control: Theoretical and Empirical Comments, wings.buffalo.edu/ law/bclc/bclrarticles/3(1)/roessner.pdf ; Tony Peters, in colla-boration with Ivo Aertsen, Katrien Lauwaert and Luc Robert : From Community Sanctions To Restorative Justice, The Belgian Example, www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_rms/ no61/ ch12. pdf