Mediasi Penal, Penyelesaian Perkara Pidana Di Luar Pengadilan (bag.2)

Sudut Hukum | Mediasi Penal, Penyelesaian Perkara Pidana Di Luar Pengadilan, oleh Barda Nawawi Arief

B. Perkembangan dan Latar Belakang Ide ADR – Mediasi Penal
Ide atau wacana dimasukkannya ADR dalam penyelesaian perkara pidana, antara lain terlihat dari perkembangan sebagai berikut :
a. Dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-9/1995 yang berkaitan dengan manaje-men peradilan pidana (yaitu dokumen A/CONF.169/6) diungkapkan perlunya se-mua negara mempertimbangkan “priva-tizing some law enforcement and justice functions” dan “alternative dispute resolu-tion/ADR” (berupa mediasi, konsiliasi, res-titusi, dan kompensasi) dalam sistem per-adilan pidana. Khususnya mengenai ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sbb. :
“The techniques of mediation, consi-liation and arbitration, which have been developed in the civil law environment, may well be more widely applicable in criminal law. For example, it is possible that some of the serious problems that complex and lengthy cases involving fraud and white-collar crime pose for courts could by reduced, if not entirely eliminated, by applying principles deve-loped in conciliation and arbitration hearings. In particular, if the accused is a corporation or business entity rather than an individual person, the funda-mental aim of the court hearing must be not 21to impose punishment but to achieve an outcome that is in the interest of society as a whole and to reduce the probability of recidivism”.
Menurut kutipan di atas, ADR yang telah dikembangkan dalam lingkungan hukum perdata, seyogyanya juga dapat diterapkan secara luas di bidang hukum pidana. Dicon-tohkan misalnya, untuk perkara-perkara pidana yang mengandung unsur “fraud” dan “white collar-crime” atau apabila terdak-wanya adalah korporasi/badan usaha. Ditegaskan pula, bahwa apabila terdakwa-nya adalah korporasi/badan usaha, maka tujuan utama dari pemeriksaan pengadilan seharusnya tidaklah menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil yang berman-faat bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi kemungkinan terjadinya pengulangan (recidive).
b. Dalam laporan Kongres PBB ke-9/1995 tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” (dokumen A/CONF. 169/16), antara lain dikemukakan :
untuk mengatasi problem kelebihan mu-atan (penumpukan perkara) di penga-dilan, para peserta kongres mene-kankan pada upaya pelepasan bersya-rat, mediasi, restitusi, dan kompensasi, khususnya untuk pelaku pemula dan pelaku muda (dalam laporan No.112);
Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) mengemukakan “mediasi penal” (penal mediation) sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban. (dalam laporan No. 319);
c. Dalam ”International Penal Reform Confe-rence” yang diselenggarakan di Royal Holloway College, University of London, pada tanggal 13-17 April 1999 dikemu-kakan, bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial system with informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet human rights standards).
Konferensi ini juga mengidentifikasikan sembilan strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana, yaitu mengembangkan/ membangun :
1. Restorative justice
2. Alternative dispute resolution
3. Informal justice
4. Alternatives to Custody
5. Alternative ways of dealing with juveniles
6. Dealing with Violent Crime
7. Reducing the prison population
8. The Proper Management of Prisons
9. The role of civil society in penal reform
d. Pada 15 September 1999, Komisi Para Menteri Dewan Eropa (the Committee of Ministers of the Council of Europe) telah menerima Re-commendation No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters.
e. Dalam Deklarasi Wina, Kongres PBB ke-10/2000 (dokumen A/CONF. 187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanis-me mediasi dan peradilan restoratif (resto-rative justice).
f. Pada 15 Maret 2001, Uni Eropa membuat the EU Council Framework Decision ten-tang “kedudukan korban di dalam proses pidana” (the Standing of Victims in Criminal Proceedings) – EU (2001/220/JBZ) yang di dalamnya termasuk juga masalah mediasi. Pasal 1 (e) dari Framework Decision ini mendefinisikan “mediation in criminal cases” sebagai : ‘the search prior to or during criminal proceedings, for a nego-tiated solution between the victim and the author of the offence, mediated by a com-petent person’. Pasal 10-nya menyatakan, setiap negara anggota akan berusaha “to promote mediation in criminal cases for offences which it considers appropriate for this sort of measure”. Walaupun Pasal 10 ini terkesan hanya memberi dorongan (encouragement), namun menurut Anne-mieke Wolthuis [1], berdasarkan penjelasan di dalam website Uni Eropa, negara anggota wajib mengubah UU dan hukum acara pidananya, antara lain mengenai “the right to mediation”.
g. Pada tanggal 24 Juli 2002, Ecosoc (PBB) telah menerima Resolusi 2002/12 mengenai Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters” yang di dalamnya juga mencakup masalah mediasi.[2]
Resume :
Masalah mediasi dalam perkara pidana, sudah masuk dalam agenda pembahasan di tingkat internasional, yaitu dalam Kongres PBB ke-9/1995 dan ke-10/2000 mengenai ”Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” dan dalam Konferensi Interna-sional Pembaharuan Hukum Pidana (Interna-tional Penal Reform Conference) tahun 1999;
Pertemuan-pertemuan internasional itu men-dorong munculnya tiga dokumen interna-sional yang berkaitan dengan masalah peradilan restoratif dan mediasi dalam per-kara pidana, yaitu : (1) the Recommendation of the Council of Europe 1999 No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”; (2) the EU Framework Decision 2001 tentang the Standing of Victims in Criminal Proceedings; dan (3) the UN Principles 2002 (draft Ecosoc) tentang “Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters”;
Adapun latar belakang pemikirannya ada yang dikaitkan dengan ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform), dan ada yang dikaitkan dengan masalah pragmatisme. Latar belakang ide-ide ”penal reform” itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara (alternative to imprisonment/alter-native to custody) dsb. Latar belakang pragmatisme antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara (the problems of court case overload”)[3], untuk penyederhanaan proses peradilan dsb.
Mengenai latar belakang ide/dasar pemikiran dari model mediasi ini, Rekomendasi No. R (99) 19 dari Komisi para Menteri Dewan Eropa (the Committee of Ministers of the Council of Europe) 15 September 1999 pernah menyatakan, bahwa : [4]
Ide mediasi mempersatukan mereka yang menghendaki dilakukannya rekons-truksi model terdahulu, mereka yang menghendaki diperkuatnya kedudukan korban, mereka yang menghendaki alter-natif pidana, dan mereka yang meng-hendaki dikuranginya pembiayaan dan beban kerja dari sistem peradilan pidana atau membuat sistem ini lebih efektif dan efisien.
(The idea of mediation unites those who want to reconstruct long foregone modes of conflict resolution, those who want to strengthen the position of victims, those who seek alternatives to punishment, and those who want to reduce the ex-penditure for and workload of the criminal justice system or render this system more effective and efficient).
Di samping latar belakang perkembangan teoritik dan internasional di atas, kearifan lokal dalam hukum adat di Indonesia yang berlan-daskan alam pikiran kosmis, magis dan religius sudah lama mengenal lembaga mediasi penal ini, antara lain di Sumatera Barat, Aceh, dan hukum adat Lampung. [5] Bahkan di Aceh (NAD) sudah dituangkan dalam Perda No. 7/2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat yang antara lain intinya mengatur sbb. :
Pasal 13 :
sengketa diselesaikan terlebih dahulu secara damai melalui musyawarah adat.
Pasal 14 :
perdamaian : mengikat para pihak;
yang tidak mengindahkan keputusan adat, dikenakan sanksi adat.
Pasal 15
apabila para pihak tidak puas terhadap putusan adat dapat mengajukan perkaranya ke aparat penegak hukum.
Keputusan adat dapat dijadikan pertimbang-an oleh aparat penegak hkm.
Dalam praktek peradilan pidana di Indone-sia pun pernah terjadi (dalam kasus Ny. Ellya Dado, disingkat “Kasus Ny. Elda”), adanya “perdamaian” digunakan sebagai pertimbangan untuk menyatakan bahwa tindak pidana yang terbukti tidak lagi merupakan suatu kejahatan ataupun pe-langgaran, dan oleh karenanya melepaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum.[6]

Bersambung ke bagian 3


[1] Annemieke Wolthuis, Will Mediation in Penal Matters be mandatory? The Impact of International Standards, fp.enter.net/restorativepractices/MediationMandatory

[2] Tercantum dalam dolumen E/2002/INF/2/Add.2, international-research-project-report2 (sbr.: internet); lihat juga Annemieke, ibid.

[3] Upaya untuk mengurangi beban pengadilan (penumpukan perkara), di beberapa negara lain juga ditempuh dengan dibuatnya ketentuan mengenai “penundaan penuntutan” (“suspension of prosecution”) atau “penghentian/penundaan bersyarat” (“conditional dismissal/discontinu-ance of the proceedings”) walaupun bukti-bukti sudah cukup, seperti diatur dalam Pasal 248 KUHAP (Hukum Acara Pidana) Jepang *) dan Pasal 27-29 KUHP (Hukum Pidana Materiel) Polandia. (Lihat Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, BP UNDIP. Semarang, cetakan ke-3, 2000, hal. 169-171).

[4] Recommendation No. R (99) 19 by the Committee of Ministers of the Council of Europe, Mediation IN PENAL MATTERS, http://sfm.jura.uni-sb.de/archives/images/mediation-en%5B1%5D.doc.

[5] Lihat Hilman Hadikusuma. 1979. Hukum Pidana Adat. Bandung: Alumni; dan Natangsa Surbakti, Gagasan Lembaga Pemberian Maaf Dalam Konteks Kebijakan Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Tesis S2 Hukum UNDIP, 2003.

[6] Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, No. 46/PID/78/UT/ WANITA, 17 Juni 1978. Hakim ketua sidang : Bismar Siregar, SH.