Mediasi Penal di Berbagai Negara

Sudut Hukum | Mediasi Penal di Berbagai Negara, oleh Barda Nawawi Arief
Mengenai pengaturan “penal mediation” di bebe-rapa negara, dapat dikemukakan bahan kompa-rasi sebagai berikut :[1]
a. AUSTRIA :
Pada bulan February 1999 parlemen Austria menerima amandemen terhadap KUHAP mengenai “refrainment from prosecution, non-judicial mediation and diversion” (Straf-prozeßnovelle 1999) yang diberlakukan pada Januari 2000.
Pada mulanya diversi/pengalihan penun-tutan hanya untuk anak melalui ATA-J (Außergerichtlicher Tatausgleich für Jugend-liche), namun kemudian bisa juga untuk orang dewasa melalui ATA-E (Außer-gerichtlicher Tatausgleich für Erwachsene) yang merupakan bentuk “victim-offender mediation” (VOM).
Menurut Pasal 90g KUHAP Austria[2], Pe-nuntut Umum dapat mengalihkan perkara pidana dari pengadilan apabila terdakwa mau mengakui perbuatannya, siap mela-kukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul atau kontribusi lainnya untuk memperbaiki akibat dari perbuatannya, dan apabila terdakwa setuju melakukan setiap kewajiban yang diperlukan yang menunjukkan kemauannya untuk tidak mengulangi perbuatannya di masa yad.
Tindak pidana yang dapat dikenakan tin-dakan diversi, termasuk mediasi, apabila diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 th. penjara atau 10 th. dalam kasus anak. Bahkan dapat juga digunakan untuk kasus kekerasan yang sangat berat (Extremely severe violence). Namun diversi tidak boleh, apabila ada korban mati seperti dalam kasus manslaughter. [3]
b. BELGIA :
Pada tahun 1994 diberlakukan UU tentang mediasi-penal (the Act on Penal Mediation) yang juga disertai dengan pedomannya (the Guideline on Penal Mediation). Tujuan uta-ma diadakannya “penal mediation” ini ada-lah untuk memperbaiki kerugian materiel dan moral yang ditimbulkan karena adanya tindak pidana. Namun, mediasi juga dapat dilakukan agar sipelaku melakukan suatu terapy atau melakukan kerja sosial (commu-nity service).
Dengan adanya ketentuan ini, penuntut umum diberi kebebasan yang lebih luas untuk memprioritaskan kepentingan korban. Apabila pelaku tindak pidana berjanji untuk memberi kompensasi atau telah memberi kompensasi kepada korban, maka kasusnya dapat tidak diteruskan ke penuntutan. Pada mulanya kewenangan penuntut umum untuk tidak meneruskan penuntutan karena ada-nya pembayaran kompensasi hanya untuk delik yang diancam maksimum 5 tahun penjara, tetapi dengan adanya ketentuan baru ini, dapat digunakan juga untuk delik yang dian-cam pidana maksimum 2 tahun penjara.
Ketentuan hukum acaranya dimasukkan dalam Pasal 216ter Code of Criminal Proce-dure (10.02.1994).[4]
c. JERMAN
Di Jerman, dibedakan dua istilah : restitution dan Täter-Opfer-Ausgleich (TOA) atau offender-victim arrangement (OVA).
Aturan restitusi dimasukkan dalam the Juvenile Penal Code of 1923. Restitusi digunakan sebagai sanksi independen (an independent sanction) atau digunakan dalam kombinasi dengan sanksi lain (combi-nation with further orders), atau sebagai sarana diversi (as a means of diversion). Untuk orang dewasa, perintah restitusi diakui sejak 1953 sebagai syarat “probation” dan sejak 1975, diakui sebagai sarana diversi bagi jaksa dan hakim [§ 153(a) StPO]. [5]
Pada tahun 1990, OVA (offender-victim arrangement) dimasukkan ke dalam hukum pidana anak secara umum (§ 10 I Nr. 7 JGG), dan dinyatakan sebagai “a means of diversion” (§ 45 II S. 2 JGG).[6] Pada 12 Januari 1994, ditambahkan Pasal 46a ke dalam StGB (KUHP) [7]. Pasal ini menetap-kan, bahwa apabila pelaku memberi ganti rugi/kompensasi kepada korban secara penuh atau sebagian besar, atau telah dengan sungguh-sungguh berusaha keras untuk memberi ganti rugi, maka pidananya dapat dikurangi atau bahkan dapat dibe-baskan dari pemidanaan. Pembebasan pidana hanya dapat diberikan apabila delik-nya diancam dengan maksimum pidana 1 tahun penjara atau 360 unit denda harian.
Penyelesaian kasus pidana antara pelaku dan korban melalui kompensasi ini dikenal dengan istilah Täter-Opfer-Ausgleich (TOA). Apabila TOA telah dilakukan, maka penun-tutan dihentikan (s. 153b StPO/Strafpro-zessordnung/KUHAP).
d. PERANCIS :
Pada tahun 1993, berdasarkan UU 4 Januari 1993 [8] yang mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP- Code of Criminal Procedure), penuntut umum dapat melakukan mediasi antara pelaku dengan korban, sebelum mengambil keputusan dituntut tidaknya seseorang. Inti Pasal 41 CCP itu ialah : penuntut umum dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan korban dan pelaku) apabila hal itu dipandang meru-pakan suatu tindakan yang dapat memper-baiki kerugian yang diderita korban, meng-akhiri kesusahan, dan membantu memper-baiki (merehabilitasi) si pelaku.[9] Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan baru dilakukan; namun apabila berhasil penuntutan dihentikan (s. 41 dan s. 41-2 CCP- Code of Criminal Procedure).
Untuk tindak pidana tertentu, Pasal 41-2 CCP membolehkan penuntut umum memin-ta pelaku untuk memberi kompensasi ke-pada korban (melakukan mediasi penal), daripada mengenakan pidana denda, mencabut SIM, atau memerintahkan sanksi alternatif berupa pidana kerja sosial selama 60 jam. Terlaksananya mediasi penal ini, menghapuskan penuntutan.
Tindak pidana tertentu yang dimaksud Psl. 41-2 CCP itu ialah : articles 222-11, 222-13 (1° to 11°), 222-16, 222-17, 222-18 (first paragraph), 227-3 to 227-7, 227-9 to 227-11, 311-3, 313-5, 314-5, 314-6, 321-1, 322-1, 322-2, 322-12 to 322-14, 433-5 to 433-7 and 521-1 of the Criminal Code, under the articles 28 and 32 (2°) of the Ordinance of 18 April 1939 fixing the regime of war materials, arms and munitions, under Article L. 1 of the Traffic Code and under Article L. 628 of the Public Health Code
e. POLANDIA :[10]
Proses mediasi perkara pidana diatur dalam Pasal 23a CCP (Code of Criminal Proce-dure) dan Peraturan Menteri Kehakiman 13 Juni 2003 tentang “Mediation proceedings in criminal matters” (Journal of Laws No 108, item 1020). Pengadilan dan jaksa, atas inisiatifnya atau atas persetuJuan korban dan pelaku, dapat menyerahkan suatu kasus ke lembaga terpercaya atau seseorang untuk melakukan mediasi antara korban dan terdakwa. Proses mediasi paling lama satu bulan. Biaya proses mediasi ditanggung oleh perbendaharaan negara (State Treasury).
Article 320.
§ 1. If it is relevant in connection with a respective motion to the court, the state prosecutor may, on his own initiative, or with the consent of parties, refer the case to a trustworthy institution or person in order to conduct a mediation procedure between the suspect and the injured
Mediator melakukan kontak dengan para pihak, merancang pertemuan para pihak, membantu merumuskan materi kesepa-katan, dan mengawasi terpenuhinya kewa-jiban yang timbul dari kesepakatan itu. Mediator kemudian melaporkan semuanya itu kepada pengadilan/jaksa. Hasil positif dari mediasi itu menjadi alasan untuk tidak melanjutkan proses pidana.
Mediasi dapat diterapkan untuk semua keja-hatan yang maksimum ancaman pidananya kurang dari 5 tahun penjara. Bahkan keja-hatan kekerasan (Violent crimes) juga dapat dimediasi [11].
Dari berbagai ketentuan di berbagai nega-ra di atas dapat diidentifikasikan, bahwa mediasi sebagai salah satu bentuk ADR dimungkinkan dalam perkara pidana; namun tetap diberi payung/kerangka hukum (mediation within the framework of criminal law), yang bisa diinte-grasikan dalam hukum pidana materiel (KUHP) atau hukum pidana formal (KUHAP), atau dalam UU khusus.
Tony Peters mengemukakan gambaran pengaturan atau ”legal frame-work” di beberapa negara Eropa sebagai berikut : [12]
· Ditempatkan sebagai bagian dari UU Per-adilan Anak (the Juvenile Justice Act), yaitu di Austria, Jerman, Finlandia, dan Polandia;
· Ditempatkan dalam KUHAP (the Code of Criminal Procedure), yaitu di Austria, Belgia, Finlandia, Perancis, dan Polandia;
· Ditempatkan dalam KUHP (the Criminal Code), yaitu di Finlandia, Jerman, dan Polan-dia;
· Diatur tersendiri secara otonom dalam UU Mediasi (the Mediation Act), seperti di Nor-wegia, yang diberlakukan untuk anak-anak maupun orang dewasa.
Di beberapa negara, dimungkinkan pula mediasi dalam kasus-kasus perbankan (dikenal dengan istilah “banking mediation”) yang terkait dengan masalah ATM (Automatic Teller Machi-ne) dan Kartu Kredit (Credit cards). Misalnya di :
Malaysia :
Ruang lingkup kewenangan Banking Media-tion Bureau (BMB) di Malaysia, antara lain dapat menangani sengketa bernilai RM 25,000, akibat penarikan ATM yang tidak sah (Unauthorised Automatic Teller Machine withdrawals) atau akibat penggunaan kartu kredit yang tidak sah (Unauthorised use of credit cards) [13].
Latvia :
Sehubungan dengan pertanggungjawaban penerbit kartu kredit, Dewan Gebernur Bank Latvia (Bank of Latvia Board of Governors) dalam resolusinya No. 89/9 tanggal 13 September 2001 tentang ”Recommendations for Transactions Effected by Means of Elec-tronic Payment Instruments” menyatakan sebagai berikut :[14]
4.4.4 The issuer shall be liable to the holder of an electronic money instrument for the lost amount of value stored on the instrument and for the defective execution of the holder’s transactions, where the loss or defective execu-tion is attributable to a malfunction of the instrument, of the device/terminal or any other equipment authorized for use. If the malfunction was caused by the holder knowingly or in breach of Article 3.1.3.1, the issuer shall not be liable for the lost amount of value stored on the instrument and for the defective execution of the holder’s transactions.
Inti dari ketentuan di atas ialah, bahwa penerbit instrumen pembayaran elektronik (“The Issuer” : a credit institution that makes an electronic payment instrument) bertang-gungjawab terhadap pemilik instrumen atas hilangnya nilai (uang) yang tersimpan dalam instrumen itu dan terhadap rusaknya pelak-sanaan transaksi yang dilakukan sipemilik, apabila hal itu disebabkan oleh tidak ber-fungsinya instrumen itu, tidak berfungsinya peralatan/terminal pembayaran, atau tidak berfungsinya peralatan lain yang sah untuk digunakan. Apabila tidak berfungsinya itu disebabkan oleh kesalahan sipemilik sendiri, pihak penerbit tidak bertanggung jawab.
Resume :
Dari bahan komparasi di atas dapat di-identifikasikan, bahwa di beberapa negara lain, mediasi penal dimungkinkan dalam kasus :
tindak pidana anak;
tindak pidana orang dewasa (ada yang di-batasi untuk delik yang diancam pidana penjara maksimum tertentu);
tindak pidana dengan kekerasan (violent crime);
kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence).
kasus perbankan yang beraspek hukum pidana.

Bersambung


[1] Sub a s/d d, disarikan dari Brienen, M.E.I. and E.H. Hoegen (2000), Victims of Crime in 22 European Criminal Justice Systems: The Implementation of Recommendation (85) 11 of the Council of Europe on the Position of the Victim in the Framework of Criminal Law and Procedure , Dissertation, University of Tilburg. Nijmegen, The Netherlands: Wolf Legal Productions (WLP) ISBN 90-5850-004-7; Lihat juga Detlev Frehsee (Professor of Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld, Germany), Restitution and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical Implications, http://wings.buffalo.edu/law/bclc/bclr.htm

[2] Pasal 90 g (1) KUHAP Austria : Under the provisions of section 90a the Public Prosecutor can divert a penal case from the courts if the suspect is willing to acknowledge the deed and prepared to deal with its causes, if the suspect is prepared to undertake restitution for the possible consequences of the deed in a suitable manner , in particular by providing compensation for damage caused or otherwise contributing to reparation for the consequences of the deed, and if the suspect consents to undertake any necessary obligations which indicate a willingness to refrain in future from the type of behaviour which had led to the deed.

[3] Miers, David (2001): An International Review of Restorative Justice, p.7, dalam tulisan Dr. Juhani Iivari, Victim-Offender Mediation – An Alternative, an Addition or Nothing But A Rubbish Bin in Relation to Legal Proceedings?, www.restorativejustice.org/resources/docs/iivari1/download

[4] Tony Peters, From Community Sanctions to Restorative Justice The Belgian Example, www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_rms/no61/ch12.pdf.

[5] Detlev Frehsee, op. cit., http://wings.buffalo.edu/law/bclc/bclr.htm

[6] Ibid.

[7] Dieter Rössner, Mediation as a Basic Element of Crime Control: Theoretical and Empirical Comments, wings.buffalo.edu/law/bclc/bclrarticles/3(1)/roessner.pdf – :

Section 46a StGB : Mediation Between the Perpetrator and the Victim, Restitution for Harm Caused

If the perpetrator has:
1. in an effort to achieve mediation with the aggrieved party (mediation between perpetrator and victim), completely or substantially made restitution for his act or earnestly strived to make restitution; or
2. in a case in which the restitution for the harm caused required substantial personal accomplishments or personal sacrifice on his part, completely or substantially compensated the victim,
then the court may mitigate the punishment pursuant to Section 49 subsection (1), or, if the maximum punishment which may be incurred is imprisonment for not more than one year or a fine of not more than three hundred sixty daily rates, dispense with punishment.

[8] Kemudian dikembangkan berdasar UU 18 Desember 1998 dan UU 9 Juni 1999 (sumber internet: international research project – report 2.pdf)

[9] Deborah Macfarlane, Victim-Offender Mediation in France, http://www.mediationconference.com. au/2006_ Papers/Deborah%20Macfarlane%20-%20VICTIM%20 OFFENDER%20MEDIATION%20IN% 20FRANCE1.doc. : Public prosecutor can order penal mediation with consent of victim and offender “if it appears that such a measure may be able to remedy the harm done to the victim, put an end to the trouble resulting from the infraction and assist in the rehabilitation of the offender”. Ketentuan seperti ini terlihat juga di dalam UU 6 Mei 1999 Luxembourg (Lihat Luxembourg Executive summary April 200, ec.europa.eu/employment_social/fundamental_rights/ pdf/ legnet/luxsum05_en.pdf)
[10] Alternative dispute resolutions – Poland, http://ec.europa.eu/ civiljustice/adr/adr_pol_en.htm; Lihat juga Beata Czarnecka-Dzialuk and Dobrochna Wójcik, VICTIM-OFFENDER MEDIATION WITH JUVENILES IN POLAND, http://72. 14.235.104/search?q=cache:hug1KlizKXsJ:www.irsig.cnr.it/reports/testi_reports/pdf_reports/report_polandfinal_01sept03.pdf+penal+mediation+poland&hl=id&ct=clnk&cd=5&gl=id [Art. 23 a. CCP § 1. The court, and in preparatory proceedings a state prosecutor, may, on his own initiative or with the consent of the parties, refer the case to the trustworthy agency or person in order to conduct a mediation procedure between the suspect and the injured party].

[11] Miers, David (2001 p. 50), op. cit.; Menurut Dr. Juhani Iivari, yang bersumber dari Miers dan Takala, VOM (Victim-Offender Mediation) untuk violent crime juga diterapkan di Austria, Polandia, Slovenia, Canada, USA, dan Norwegia; Kasus-kasus KDRT (domestic violence) juga dapat di mediasi di United States, Austria, Poland, Denmark and Finland. www.restorativejustice.org/resources/docs/iivari1/ download

[12] Tony Peters, From Community Sanctions to Restorative Justice The Belgian Example, www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_rms/no61/ch12.pdf.; lihat juga Ivo Aertsen, Restorative Justice in A European Perspective, http://www.extern.org/restorative/99_Conf_Aertsen.htm

[13] Lee Swee Seng, LLB, LLM, MBA, Mediation: Its Practice & Procedure, www.leesweeseng.com/ mediation.ppt menyatakan : Currently, BMB (Banking Mediation Bureau, pen.) handles disputes involving monetary losses of up to RM25,000 in relation to the following areas:
The charging of excessive fees, interest and penalty
Misleading advertisements
Unauthorised Automatic Teller Machine withdrawals
Unauthorised use of credit cards
Unfair practice of pursuing actions against a person who is a guarantor

[14] Latvian Information Database (sumber internet).