SUDUT HUKUM | Menurut bahasa, ta’zir merupakan bentuk masdar dari kata “’azzara” yang berarti menolak dan mencegah kejahatan. Sedangkan menurut istilah adalah pencegahan dan pengajaran terhadap tindak pidana yang tidak ada ketentuannya dalam had, kifarat maupun qishasnya.
Ta’zir adalah hukuman atas tindakan pelanggaran dan kriminalitas yang tidak diatur secara pasti dalam hukum had. Hukuman ini berbeda–beda, sesuai dengan perbedaan kasus dan pelakunya. Dari satu segi, ta’zir ini sejalan dengan hukum had, yakni tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki perilaku manusia, dan untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan tindakan yang sama.
Ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan dengan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).
Sebagai dasar hukumnya adalah QS. Al-Fath: 8-9
Artinya: “Sesungguhnya kami utus engkau Muhammad sebagai saksi dan pemberi kabar gembira dan peringatan(8)Supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-NYA, Dan bertasbih kepada-Nya pagi dan petang(9).”
Jarimah ta’zir itu jumlahnya sangat banyak sekali, yaitu semua jarimah selain diancam dengan hukuman had, kifarat, dan qishas diyat semuanya termasuk jarimah ta’zir. Jarimah ta’zir dibagi menjadi dua:
Pertama, Jarimah yang bentuk dan macamnya sudah ditentukan oleh nash Al-Qur’an dan Hadits tetapi hukumnya diserahkan pada manusia. Kedua, Jarimah yang baik bentuk atau macamnya, begitu pula hukumannya diserahkan pada manusia. Syara’ hanya memberikan ketentuan-ketentuan yang bersifat umum saja.

Syara’ tidak menentukan macam-macam hukuman untuk setiap jarimah ta’zir tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Syari’ah hanya menentukan sebagian jarimah ta’zir, yaitu perbuatan-perbuatan yang selamanya akan dianggap sebagai jarimah; seperti riba, menggelapkan titipan, memaki-maki orang, suap-menyuap dan sebagainya.
Sedangkan sebagian jarimahta’zir diserahkan pada penguasa untuk menentukannya, dengan syarat harus sesuai dengan kepentingankepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash (ketentuan syara’) dan prinsip-prinsip umum. Dengan maksud agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya serta dapat menghadapi persoalan yang sifatnya mendadak.
Perbedaan antara jarimahta’zir yang ditetapkan oleh syara’ dengan jarimah ta’zir yang ditetapkan oleh penguasa ialah kalau jarimah ta’zir macam pertama tetap dilarang selama-lamanya dan tidak mungkin menjadi perbuatan yang tidak dilarang pada waktu apapun juga, akan tetapi jarimah ta’zir macam yang kedua bisa menjadi perbuatan yang tidak dilarang manakala kepentingan masyarakat menghendaki demikian.