Sejarah Fiqh Pada Masa Tabi’in Samapai Masa Umayyah

SUDUT HUKUM | Ajaran Islam yang kristalnya berupa al-Qur’an dan as-Sunnah diyakini pemeluknya dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang timbul pada suatu zaman. Islam itu satu, tapi realitas mengatakan bahwa Islam itu beragam. Misalnya, ada komunitas yang menampilkan Islam dengan pemerintahan kerajaan, adapula yang senang pemerintahan republik, bahkan ada juga yang ingin kembali menggunakan sistem kekhalifahan. Ada yang sangat terikat dengan teks al-Qur’an dan al-Hadits dalam memahami hukum Islam, ada pula yang longgar melihat konteks nash tersebut.


Sejarah Fiqh Pada Masa Tabi'in Samapai Masa UmayyahHukum Islam dari masa ke masa mulai zaman Rasulullah Saw sampai periode sekarang telah mengalami perkembangan yang begitu signifikan. Lihat saja, pada masa Rasul, dalam menyelesaikan masalah hukum, para umat bisa langsung menanyakannya kepada beliau dan dalam menjawabnya beliau langsung mendapatkan wahyu dari Allah Swt. Setelah beliau wafat, selain menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai dasar penyelesaian masalah hukum, juga berijma’ jika tidak menemukannya dalam kedua sumber tersebut. Pada masa tabi’in, kesepakatan dari sahabat dalam masalah hukum juga menjadi salah satu sumber hukum dalam menjawab persoalan umat. Begitu juga masa Tabi’ Tabi’in Ijma’ yang terjadi pada kurun waktu sebelumnya menjadi pertimbangan dan dasar hukum dalam member solusi atas problem-problem baru yang muncul.

Pada bahasan kali ini, penulis akan membahas keadaan dan perkembangan hukum Islam pada masa tabi’in khususnya pada masa dinasti umayyah yang mempunyai masa pemerintahan lebih kurang 91 tahun. Mengenai sumber-sumber hukum serta pemikiran-pemikiran yang timbul dari sekte-sekte yang timbul pada masa ini dan yang terkait di dalamnya.
Agar pembahasan tidak melebar terlalu jauh, maka pada makalah ini penulis akan membatasi bahasan sebagai berikut:
1. Kondisi hukum islam dan perkembangan pada masa tabi’in atau dinasti Umayyah?
2. Sumber-sumber hukum Islam pada waktu itu?
3. Pemikiran hukum Islam Khawarij, Syi’ah dan Jumhur?

PEMBAHASAN

1.1. Kondisi Hukum Islam dan Perkembangannya Pada Masa Tabi’ atau Dinasti Umayyah
Klasifikasi perkembangan hukum islam (fiqh) pada era tabi’in sebenarnya masih membingungkan banyak pengamat. Kebingungan itu dapat dipahami dengan munculnya pergolakan-pergolakan yang muncul berasal pada masa kekhalifahan Utsman dan Ali dan akhirnya memuncak pada pemerintahan daulah Umayyah yang melahirkan agitasi teologis cukup tajam. Pergolakan-pergolakan tersebut justru membawa pengaruh besar terhadap perkembangan hukum Islam sendiri, sehingga mengantarkan pada era kodifikasi dan munculnya para imam madzhab.

Secara umum para Tabi’in pada masa ini mengikuti manhaj (metode, kaidah istidlal) sahabat dalam mencari hukum. Mereka merujuk pada al-Qur’an dan al-Hadits dan apabila tidak mendapatkan dari keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah itu mereka sendiri berijtiahad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.

1.2. Penggunaan Rasio
Ada kecendrungan baru dari beberapa ahli hukum Islam (fuqoha) untuk memandang hukum sebagai pertimbangan rasionalitas. Mereka tidak saja banyak menggunakan rasio dalam memahami hukum dan menyikapi persoalan yang muncul, tetapi juga memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan memberi hukumnya.

Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Ibrahim bin yazid an Nakha’I, seorang ahli fiqh irak guru Hammad Bin Sulaiman yang banyak mewariskan pemikiran fiqh rasionalis kepada Abu Hanifah.

Aliran ini tidaklah berjalan mulus, tetapi banyak mendapatkan tanggapan dan tantangan. Reaksi paling keras berasal dari ulama Hijaz (Madinah) yang menganggap aliran ini telah menyeleweng dari manhaj sahabat, bahkan berpaling dari ajaran Rasulullah Saw. Dengan munculnya aliran ini, dianggap telah membuka pintu untuk memasuki suatu krisis pemahaman keagamaan sebagaimana yang telah menimpa orang-orang Yahudi dan Nasrani. Ibnu Syihab Zuhri, seorang ahli Hadits pada waktu itu pernah mengatakan, “sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani kehilangan ilmu yang mereka miliki ketika mulai disibukkan dengan pendapat rasio dan pemikiran.

Sufyan bin Uyainah, Ayyub Sahtayani, Abu Umar, Auza’I dan Sya’bi adalah ulama terkemuka yang paling vokal menolak gagasan Ibrahim. “Pendapat mereka itu sebenarnya lebih patut dibuang di toilet”, kata Sya’bi.

Namun tidak berarti fragmentasi fiqhiyyah pada periode ini memasung perkembangan fiqh. Sebab, meskipun muncul beberapa reaksi agak keras, namun apresiasi terhadap gagasan Ibrahim dan ulama Irak, pro maupun kontra, sangat terasa.

Dalam beberapa pertemuan dan dialog yang mereka adakan untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang muncul dan di munculkan, di irak dan Hijaz dapat ditangkap beberapa isyarat yang memungkinkan kedua belah pihak saling melengkapi, saling mengisi antara satu dengan lainnya. Ulama Hijaz yang kaya akan hadits dan fatwa-fatwa sahabat dipaksa menjawab persoalan yang belum timbul pada masa Nabi Saw dan sahabat. Demikianlah kebiasaan ulama Irak memprediksikan suatu peristiwa yang belum muncul itu menuntut ulama Hijaz untuk menggali tujuan moral, illah dan hikmah yang menjadi tujuan disyariatkan suatu hukum. Sebaliknya ulama Irak juga sering kali mencabut pendapatkan yang diketahui, setelah melalui berdialog dengan ulama Hijaz, bertentangan dengan sunnah Nabi Saw.

Pada perkembangan berikutnya terjadilah pembaharuan, pluralisme dan heterogenitas pemikiran baik di Irak ataupun Hijaz sendiri yang sangat membantu memperkaya tsarwah fiqhiyyah.

1.3. Meluasnya Ruang Ikhtilaf
Konsekuensi lain dari kontroversialisme pemahaman fiqh tadi adalah meluasnya ruang ikhtilaf pada periode ini. Dr. Thaha Jabir dalam bukunya ”Adabul Ikhtilaf Fil Islam” menyebutkan bahwa benih-benih meluasnya ikhtilaf itu sebanarnya telah tumbuh pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan. Utsman adalah khalifah pertama yang mengizinkan para sahabat untuk meninggalkan madinah dan menyebar ke berbagai daerah. Lebih dari 300 sahabat pergi ke Basrah dan kufah, sebagian lagi ke Mesir dan syam.

Penyebaran sahabat ke berbagai daerah tersebut punya pengaruh tersendiri terhadap perkembangan fiqh, paling tidak perluasan ikhlilaf di kalangan tabi’in. itu dapat dipahami karena masing-masing daerah memiliki perbedaan situasi, kebiasaan dan kebudayaan, disamping perbedaan kapasitas pemahaman para ahli fikih dalam mengantisipasi masalah-masalah yang muncul.

Dalam batas-batas tertentu, karena perbedaan teori, formulasi, keadaan dan kondisi masyarakat, mereka sering berbeda dalam satu masalah yang sama. Namun persoalannya tidak sampai di situ, pergolakan-pergolakn politik sejak terbunuhnya Utsman, pindahnya markas kakhalifahan ke Kufah kemudian ke Syam dan berbagai konfrontasi yang banyak memakan korban jiwa, juga faktor yang harus disebut dari meluasnya ikhtilaf pada periode ini. Ikhtilaf ini semakin melebar sekaligus meruncing ketika konfrontasi politik antara Ali dan Muawiyyah dan penyelewengan daulah Umayyah menimbulkan berbagai aliran dan sekte. Pada saat itu muncul aliran Syi’ah, Khawarij, Jahmiyyah, Mu’tazilah dan lain sebagainya.

1.4. Pengaruh Ahlul Hadits dan Ahlur Ra’y

Dalam catatan sejarah, pusat kekuasaan politik Islam berpindah-pindah. Madinah di masa Nabi SAW. dan Khulafa al-Rasyidun, Damaskus dimasa dinasti Umayyah, dan Baghdad dimasa dinasti Abbasiyyah. Penguasa dinasti Umayyah kecuali Umar Bin Abdul Aziz, kelihatannya kurang memperhatikan perkembangan pemikiran keagamaan. Mereka lebih memusatkan perhatian di bidang politik. Sehingga ketika itu pemikiran politik dan pemikiran keagamaan berjalan sendiri-sendiri. Penguasa dinasti Abbasiyyah melihat sikap semacam itu tidaklah tepat. Karena mereka berupaya agar pemikiran keagamaan dikembangkan bersamaan dengan perkembangan politik dan filsafat. Para imam madzhab yang tidak mau terlibat dalam urusan pemerintahan akan dihukum.

Dimasa Khulafa al Rasyidun, penguasa adalah juga alim, menyatu dalam diri khalifah ilmu agama dan kekuasaan. Penguasa dinasti umayyah kecuali Umar bin Abdul azizdan penguasa dinasti Abbasiyyah tidak tahu banyak tentang syari’at Islam dan metode-metode berijtihad. Urusan agama diserahkan kepada ulama, sedangkan urusan pemerintahan dan politik dipegang oleh khalifah.

Setelah Islam berdialog dengan masyarakat luar Arab lebih jauh, peranan akal menjadi penting dalam menjembatani kesenjangan teks keagamaan dengan persoalan baru. Dalam perkebangan selanjutnya, dalam pemikiran hukum Islam dikenal kelompok “ahlur Ra’y”, kelompok yang berani menggunakan akal, yang berkembang di Irak, dan kelompok “ahlul Hadits”, kelompok yang terikat sekali dengan teks harfiyah Al qur’an dan Al Hadits, yang berkembang di Hijaz. Keduanya ini muncul bukan karena rekasa pemerintah, tetapi muncul dari ketulusan hati mereka untuk memberlakukan syari’at Allah SWT di muka bumi. Perkembangan pemikiran ini berada di luar kontrol pemerintahan, karena seperti disebutkan di muka bahwa para penguasa pemerintahan bukanlah orang-orang yang menguasai pengetahuan Agama.

1.5. Ahlul Hadits
Dalam masyarakat Islam terdapat kelompok yang metode pemahamannya terhadap ajaran wahyu amat terikat oleh informasi dari Nabi Saw. Dengan kata lain ajaran islam itu diperoleh dari al-Qur’an dan petunjuk dari Nabi Saw saja, bukan yang lain. Disamping disebut as Sunnah, petunjuk dari Nabi SAW juga disebut al Hadits. Karena itu kelompok ini disebut ahlul Hadits. Mulanya aliran ini timbul di Hijaz, utamanya di Madinah. Karrena penduduk hijaz lebih banyak mengetahui hadits dan tradisi Rasul disbanding dengan penduduk di luar Hijaz. Di Madinah sebagai ibukota Islam, beredar hadits Nabi Saw yang jauh lebih banyak dan lengkap disbanding dengan daerah lain mana pun. Semua persoalan hukum dan dan budaya sudah terjawab oleh teks wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits). Sehingga pada masa itu Hijaz dikenal sebagai pusat Hadits.

Pada masa khulafa al Rasyidun, sumber hukum Islam adalah apa yang diriwayatkan oleh Nabi (al Qur’an dan al Hadits). Di masa tabi’in, sumber itu ditambah dengan fatwa sahabat. Ketika dalam menentukan suatu hukum, tidak ditemukan keduanya, maka ijtihad atau tidak memberikan fatwa adalah jalannya. Mereka membenci ra’y serta menghindari fatwa dan istimbat kecuali bila terpaksa dan tidak ada kesempatan untuk mengelak. Program utama mereka adalah meriwayatkan hadits Nabi Muhammad Saw. di masa Tabi’it Tabi’in, sumber hukum islam bertambah lagi, fatwa tabi’in, demikian seterusnya, generasi mendatang menjadikan fatwa generasi sebelumnya sebagai sumber hukum Islam.

Masa pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz dikenal masa permulaan pembukuan Hadits. Kekhawatiran khalifah akan semakin tidak terurusnya hadits-hadits Nabi Saw dalam tulisan menggerakkan hatinya untuk memerintahkan ulama Hadits, seperti Ibn Syihad al-Zuhri agar membukukan hadits. Prestasi penghimpuna hadits, semenjak dari asal himpun hingga pemilahan hadits-hadits sahih dari yang tidak sahih, adalah kebanggan tersendiri dalam menyelamatkan syari’at Islam. Dalam menetapka hukum Islam mereka mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:

1. Bila suatu masalah sudah disebut dalam al-Qur’an maka seorang ulama tidak boleh beranjak kepada yang lain.
2. Bila kandungan ayat al Qur’an itu menunjukan berbagai kemungkinan maka mereka merujuk hadits yang berbicara hal yang sama dalam ayat tersebut.
3. Bila ayat al Qur’an tidak menerangkannya, barulah mereka mencari petunjuk dalam al-Hadits, baik yang telah masyhur dipakai oleh ulama sebelumnya atau yang diriwayatkan oleh penduduk suatu daerah tertentu.
4. Bila hadits sudah ditemukan maka tidak boleh mengambil keputusan hukum berdasarkan yurisprudensi/ pemikiran mujtahid.
5. Bila hadits tersebut tidak ditemukan, keputusan diambil berdasarkan pendapat umum (konsensus). Hasil consensus harus dippatuhi. Bila masih juga terdapat perbedaan pendapat dalam upaya consensus, maka keputusan diambil dari pendapat ulama yang paling wara’dan alim.

Dengan demikian, sebenarnya aliran ahlul hadits bukanlah aliran yang sama sekali menghindari penggunaan akal. Ketawadluan mereka malahirkan sikap kehati-hatian, sangat mengakui kelemahan akal kendati berkesan tidak berani menggunakan akal dan sangat mengutamakan penggunaan ajaran wahyu.

1.6. Ahlur Ra’y
Istilah ahlur ra’y digunakan untuk menyebut kelompok pemikir hukum Islam yang memberi porsi akal lebih banyak dibanding dengan pemikir lainnya. Bila kelompok lain dalam menjawab persoalan hukum tampak terikat oleh teks nash (al-Qur’an dan al-Hadits) maka kelompok ahlur ra’y tampak tidak terikat, sebaliknya leluasa menggunakan pendapat akal. Sebenarnya kelompok ini bukanlah berarti kelompok yang meninggalkan hadits. Mereka juga menggunakan hadits untuk menetapkan hukum. Hanya mereka dalam melihat kasus penetapan hukum berpendapat bahwa nash syar’i itu mempunyai tujuan tertentu. Serta nash syar’i secara kumulatif bertujuan mendatangkan maslahat bagi manusia. Karena banyaknya persoalan yang merreka hadapi dan terbatasnya jumlah nash, maka mereka berupaya memikirkan rahasia yang terkandung dibalik nash yang dikenal dengan ta’lil al ahkam. Sedang kelompok ahlul Hadits lebih memperhatikan penguasaan hafalan nash dan mengamalkan sesuai dengan bunyi nash tersebut. Pada beberapa hadits, seperti :

1 . Setiap 40 ekor kambing zakatnya adalah seekor kambing.
2 . Zakat fitrah itu satu gantang kurma atau gandum.

Ulama Ahlur Ra’y memahami nash tersebut berdasarkan tujuan tasyr’, bukan redaksinya. Sehingga pemilik 40 ekor kambing tidak harus mengeluarkan zakat berupa seekor kambing, tetapi boleh mengeluarkan zakat berupa apa saja yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat minimal seharga satu ekor kambing. Begitu juga dengan zakat fitrah. Bagi mereka zakat fitrah boleh dibayar dengan kurma atau gandum atau apa saja yang senilai dengannya. Jadi penyebutan “satu ekor kambing” pada zakat ternak dan “segantang kurma atau gandum” pada zakat fitrah adalah bukan tujuan tasyri’, tetapi contoh sarana mewujudkan kesejahtraan umat manusia sebagai tujuan tasyri’. Menurut ulama ahlul Hadits, pengeluaran zakat hewan ternak berupa satu ekor kambing dan zakat fitrah berupa segantang kurma atau gandum tidak perlu diganti, takut tidak sah.


1.7. Pada Masa Sahabat

Perkembangan Fiqih pada Masa Sahabat, periode kedua dari masa-masa perkembangan fiqih ini bermula sejak wafatnya nabi Muhammad SAW. Pada tahun 11 H dan berakhir ketika Muawiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai kholifah pada tahun 41 H. Pada periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah Islam setelah wafatnya Nabi.

Pada masa ini islam sudah meluas, yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pada periode sahabat ini pada bidang hukum ditandai dengan penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus-kasus yang tidak ada nashnya. Disamping itu juga terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan yaitu perpecahan masyarakat islam menjadi beberapa kelompok yang bertentangan secara tajam.

Pada masa ini islam mulai berkembang dan melebarkan sayapnya dan mengibarkan panji-panji islam dalam manjalankan misinya keberbagai daerah disekitar jazirah arab, seperti : Irak, Siriya, Mesir, daerah-daerah di Afrika Utara dan lain-lainnya.

Daerah-daerah yang baru dibuka oleh kaum muslimin itu, masing-masing telah mempunyai peradaban dan kebudayaan, adat istiadatdan undang-undang dalam negeri sendiri.kaum muslimin yang berhasil membuka daerah-daerah baru itu, meskipun status mereka sebagai pasukan militer yang bertugas untuk menaklukkan suatu daerah, namun mereka bukan tentara pendudukan yang akan menaklukkan penduduk (rakyat) secara paksa, tetapi mereka lebih menonjol sebagai misi da’wah Islamiah, lalu menghadapi masyarakat dengan hikmah dan ramah tamah. Maka dengan demikian kaum muslimin (pendatang) itu mudah sekali berintegrasi dan membaur dengan masyarakat yang multi komplit yang mendorong adanya pemikiran-pemikiran baru seperti antara lain misalnya:
1. Munculnya berbagai peristiwa dan kasus, yang meminta segera penyelesaian hukum, dan berbagai macam problema yang membutuhkan pemecahan, sedangkan tasyri’ atau materi hukum, maupun keputusan-keputusan yang dapat dinukilkan dari Rasulullah Saw karena masih sangat minimal, tidak mampu lagi menghadapi berbagai macam mu’amalah yang baru, semuanya itu mempunyai dampak positif terhadap perkembangan fiqih dan tasyri’
2. Dalam selang waktu masa Khalifah Umar Bin Khathab r.a. berduyung-duyunglah sahabat-sahabat keluar dari ibu kota madinah, untuk merantau ke daerah yang baru dibuka oleh kaum muslimin dan kebanyakan mereka itu tinggal menetap disana.
3. Situasi dan kondisi masyarakat yang demikian secara alami membarikan motivasi yang besar terhadap fiqih dan munculnya mujtahidin dan ijtihadnya.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan fiqih adalah perluasan wilayah yang mengakibatkan adanya persoalan baru tentang moral, tradisi, situasi, kondisi, etika, kultural, dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang pluralistik, factor tersebut adalah factor yang terpenting yang mempengaruhi perkembangan fiqih.

1.8. Sumber-sumber Hukum Islam
Pada masa sahabat ini ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushaf datang dari Umar Bin Khattab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal al-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini disampaikan oleh Umar kepada Khalifah Abu Bakar, pada mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada akhirnya Abu Bakar menerima ide tersebut. Maka beliau menugaskan Zaid Bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit binatang, tulang-tulang dan yang dihafal oleh sahabat.

Selain itu, pada periode ini setiap ada persoalan baru para fuqoha kembali pada Al-Qur’an sebagai dasar agama, kemudian merujuk pada Sunnah Nabi. Jika dari kedua warisan itu tidak ditemukan ketentuan hukumnya, mereka berkumpul bermusyawarah untuk membicarakan persoalan itu. Dan bila terjadi kesepakatan barulah diputuskan hukum dari persoalan yang mereka hadapi yang kemudian dikenal dengan ijma’.

Di periode sahabat ini kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syariat yang sempurna berupa al-qur’an dan hadist rasul. Hanya tidak semua orang dapat memahami materi atau kaidah hukum yang terdapat pada kedua sumber (al-Qur’an dan Hadits), dengan alasan:
1. Tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama
2. Banyak diantara mereka yang tidak begitu dekat dengan nabi sehingga tidak memahami sumber-sumber tersebut.
3. Belum tersebarnya materi atau teori hukum itu di kalangan kaum muslimin akibat perluasan wilayah.
4. Banyaknya peristiwa hukum baru yang belum pernah terjadi pada masa Rosulullah yang ketentuan hukumnya secara pasti tidak di temukan dalam nash syariat.

Prosedur penetapan hukum yang di tempuh oleh sahabat pada masa ini adalah melalui penelusuran mereka terhadap al-Qur’an dan Hadits. Bila dari kedua sumber ini tidak ditemukan ketentuan-ketentuan hukum dari suatu kasus yang dihadapi, mereka ber’ijtihad sendiri baik dengan cara Qiyas atau berpedoman kepada kemaslahatan umat.


1.9. Ijtihad Pada Masa Sahabat

Selain al-Qur’an dan Sunnah, ijtihad mulai menjadi rujukan fuqaha’ pada periode ini. Perluasan wilayah islam telah mendatangkan masalah baru yang belum muncul sebelumnya. Tetapi, jika kita telusuri lebih jauh, kebutuhan untuk melakukan ijtihad itu tidak semata-mata untuk menjawab masalah baru yang muncul, namun juga untuk memahami nash itu membuka yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana nanti akan dilihat dalam contoh-contoh. Yang sudah jelas intensitas ijtihad sahabat mendapat tapi karena sering dilakukan secara bersama dan musyawarah, apalagi saat itu para sahabat banyak mendatangkan suatu kesepakatan umum dari suatu generasi atau ijma’.

Para sahabat tidak menyikapi hukum-hukum islam secara ideal yang terlepas dari kontek sosial, tetapi dimensi sosial itu telah menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban ideal islam terhadap berbagai persoalan yang berkembang. Interprestasi terhadap nash (seperti penggunaan teori ‘illah yang dilakukan utsman), adalah contoh nyata betapa para sahabat bersungguh-sungguh berusaha memahami Maqashid Tasyri’ (tuan-tujuan syariat) dari suatu penerapan hukum.

Utsman misalnya, berkesimpulan bahwa dibiarkannya unta-unta berkeliaran pada masa Nabi karena kondisi saat itu aman. Jadi, kerangka penerapan hukum ini dengan sendirinya menuntut adanya situasi aman sehingga memungkinkan unta-unta itu menjumpai pemiliknya. Jika tidak, maka maka nash hadis itu tidak tepat untuk diterapkan, sebab akan memberi peluang terkorbankannya kemaslahatan umum. Kerangka teori ini kemudian dikembangkan dan dirumuskan oleh para ahli metodologi islam (ushuliyyin) dalam kaidah al-hukmu yaduru ma’al ‘illah wujudan wa ‘adaman (hukum itu berputar dengan ‘illah, ada atau tidak).

Contoh lain, pada masa Nabi dan begitu pula pada masa Abu Bakar dan Umar sebagai khalifah, adzan shalat jum’at sebelum khatib naik mimbar hanya satu satu kali, karena dengan satu kali itu dirasa sudah cukup untuk memberi tahu masuknya waktu shalat jum’at. Karena jama’ah pada waktu Utsman semakin banyak, dirasakan tidak cukup lagi kalau adzan itu hanya satu kali, oleh karena itu beliau menetapkan berdasarkan ijtihadnya dengan memberlakukan adzan jum’at sebanyak dua kali sebelum khatib naik mimbar.
Wajar bila dikalangan sahabat dalam melakukan ijtihad terdapat perbedaan-perbedaan pendapat, hal ini karena
1. Kebanyakan ayat al-Qur’an dan Hadist yang bersifat zhanny dari sudut pengertiannya.
2. Belum termodifikasinya Hadist nabi yang dapat dijadikan pedoman secara utuh dan menyaluruh.
3. Lingkungan dan kondisi daerah yang dialami sehingga persoalan-persoalan yang dialami serta dihadapi oleh sahabat-sahabat itu tidak sama.
4. Pergolakan politik yang terjadi pada masa Ali Bin Abi Thalib yang berakibat munculnya beberapa golongan.
Bentuk ijtihad pada masa sahabat dapat dikelompokkan menjadi beberapa bentuk sebagai berikut:
1. Ijtihad dalam bentuk memberikan penjelasan terhadap nash yang telah ada, baik Nash al-Qur’an maupun Sunnah Nabi. Misalnya ijtihad sahabat dalam memahami firman Allah dalam surat An-Nisa’ (4): 11. Yang artinya : bagi kedua orang ibu bapaknya masing-masing mendapat seperenam bila pewaris meninggalkan anak. Bila pewaris tidak meninggalkan anak yang mewarisinya adalah, dua orang ibu bapaknya maka ibunya mendapat sepertiganya.

Zaid Ibn Tsabit menafsirkan hak itu sepertiga dalam keadaan tidak ada anak adalah bila yang menjadi ahli warisnya hanyalah ibu dan bapaknya saja. Bila bersama mereka ada suami atau istri, maka hak ibu bukan sepertiga dari harta, tetapi sepertiga dari sisa harta sesudah diberikan kepada ahli waris lain yaitu suami atau istri.

2. Ijtihad untuk menetapkan hukum yang baru bagi kasus yang muncul melalui cara mencari perbandingannya dengan ketetapan hukum yang telah ada penjelasannya dalam nash untuk ditetapkan bagi kasus tersebut. Ijtihad dengan cara ini contohnya adalah dalam menentukan jabatan khalifah sesudah wafatnya Nabi. Dalam hal ini dengan cara mengqiyaskan jabatan khalifah (pemimpin urusan dunia) kepada jabatan imam shalat berjama’ah yang pernah diserahkan Nabi kepada Abu Bakar. Jalan pikiran shahabat waktu menetapkan jabatan khalifah untuk Abu Bakar ini ada melalui qiyas.

Dalam menghadapi masalah baru yang tidak ada nashnya, juga tidak dapat mencari bandingannya dengan apa yang telah ditetapkan dalam nash, shahabat menempuh bentuk ijtihad dengan ra’yu, yaitu menggunakan jiwa syara’ sebagai acuan dalam istinbath. Kepentingan umum atau maslahat selalu dijadikan pertimbangan dalam menggunakan ra’yu sebagai cara dalam berijtihad. Misalnya dalam menetapkan untuk mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an (pada masa Abu Bakar); menetapkan dewan-dewan, membentuk pasukan tentara yang tetap dan mencetak mata uang pada masa (Umar bin Khattab); menyatukan bentuk bacaan al-Qur’an dan membakar yang lainnya pada masa (Utsman Bin Affan).

1.10. Faktor-faktor Perkembangan Tasyri’
Dari fragmentasi sejarah, bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini merupakan puncak Dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.

Fenomena perkembangan tasyrik pada periode ini, seperti tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa tasyri’ memiliki keterkaitan sejarah yang panjangdan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.

Seperti contoh hukum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggalk mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhabfiqih pada periode ini pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab yang dianut.

Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong, diantaranya.

Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islampun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya. Muncunya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikanpusat-pusat study tentang fiqih, yang diberi nama Al-Madzhabatau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya. Adanya kecenderungan masyarakat islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama madzhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah (khalifah) merasa perlu menegakkan hukum islam dalam pemerintahannya.

Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah politik seperti pengangkatan kholifah-kholifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai madzhab hukum islam.


1.11. Mazhab-mazhab Fiqh Dasar Pemikiran dan Perkembangannya

1. Madzhab Hanafi
Madzhab ini didirikan oleh Abu Hanifah yang nama lengkapnya al-Nu’man Ibn Tsabit Ibn Zuthi (80-150 H). Ia dilahirkan di kufah, ia lahir pada zaman dinasti Umayyah tepatnya pada zaman kekuasaan Abdul Malik Ibn Marwan.

Pada awalnya Abu hanifah adalah seorang pedagang, atas anjuran al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran irak (ra’yu). Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.

Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtijad Abu Hanifah, diantaranya :
a. Bahwa perempuan boleh jadi hakim di pengadilan yang tugas khususnya menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya karena perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan adalah qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hukum perempuan senagai far’.
b. Abu hanifah dan ulama kufah berpendapat bahwa sholat gerhana dilakukan dua rakaat sebagai mana shalat ’id tidak dilakukan dua kali ruku’ dalam satu rakaat.

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua masa tersebut.

Madzhab hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengfan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.

Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, dan lain-lain. Dasar-dasar Madzhab Hanafi adalah :
a. Al-Qur’anul Karim
b. Sunnah Rosu dan atsar yang shahih lagi masyhur
c. Fatwa sahabat
d. Qiyas
e. Istihsan
f. Adat dan uruf masyarakat
Murid imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah : Imam Abu Yusuf al-An sharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dan lain-lainnya.

2. Madzhab Maliki
Madzhab ini dibangun oleh Maliki bin Annas. Ia dilahirkan di madinah pada tahun 93 H. Imam Malik belajar qira’ah kepada Nafi’ bin Abi Ha’im. Ia belajar hadits kepada ulama madinah seperti Ibn Syihab al-Zuhri.

Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta’, sebuah kitab hadits bergaya fiqh. Inilah kitab tertua hadits dan fiqh tertua yang masih kita jumpai Dia seorang Imam dalam ilmu hadits dan fiqih sekaligus. Orang sudah setuju atas keutamaan dan kepemimpinannya dalam dua ilmu ini. Dalam fatwqa hukumnya ia bersandar pada kitab Allah kemudian pada as-Sunnah. Tetapi beliau mendahulukan amalan penduduk madinah dari pada hadits ahad, dalam ini disebabkan karena beliau berpendirian pada penduduk madinah itu mewarisi dari sahabat.

Setelah as-Sunnah, Malik kembali ke qiyas. Satu hal yang tidak diragukan lagi bahwa persoalan-persoalan dibina atas dasar mashutih mursalah.

As-Ayafi’i menerima hadits darinya dan mahir ilmu fiqih kepadanya. Penduduk mesir, maghribi dan andalas banyak mendatangi kuliah-kuliahnya dan memperoleh manfaat besar darinya, serta menyebar luaskan di negeri mereka.

Kitab al-Mudawwanah sebagai dasar fiqih madzhab Maliki dan sudah dicetak dua kali di mesir dan tersebar luas disana, demikian pula kitab al-Muwatta’. Pembuatan undang-undang di mesir sudah memetik sebagian hukum dari madzhab Maliki untuk menjadi standar mahkamah sejarah mesir.

Dasar madzhab Maliki dalam menentukan hukum adalah :
a. Al-qur’an
b. Sunnah
c. Ijma’ ahli madinah
d. Qiyas
e. Istishab/ al-Mashalih al-Mursalah

3. Madzhab Syafi’i
Madzhab ini didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris al-Abbas. Madzhab fiqih as-Syafi’i merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri dari dua pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di irak dan qaul jadid di mesir. Madzhab Syafi’i terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan hukum, karena kehati-hatian tersebut pendapatnya kurang terasa tegas.

Syafi’i pernah belajar Ilmu Fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-Haram dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah sampai matang dalam ilmu fiqih. Al-Syafi’i mulai melakukan kajian hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodelogi kajian hukum yang cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran madinah maupun kuffah. Dalam kontek fiqihnya syafi’i mengemukakan pemikiran bahwa hukum Islam bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah serta Ijma’ dan apabila ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum yang jelas, beliau mempelajari perkataan-perkataan sahabat dan baru yang terakhir melakukan qiyas dan istishab.

Di antara buah pena/karya-karya Imam Syafi’i, yaitu :
a. Ar-Risalah : merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun.
b. Al-Umm : isinya tentang berbagai macam masalah fiqih berdasarkan pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam kitab ushul fiqih.

4. Mazhab Hambali
Pendiri Mazhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H.

Ahmad Bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.

Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah:
1. Nash Al-Qur-an atau nash hadits.
2. Fatwa sebagian Sahabat.
3. Pendapat sebagian Sahabat.
4. Hadits Mursal atau Hadits Doif.
5. Qiyas.
Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad bin Hanbal ini di dalam kitabnya I’laamul Muwaaqi’in.

Adapun ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani yang terkenal dengan nama Al-Atsram; dia telah mengarang Assunan Fil Fiqhi ‘Alaa Mazhabi Ahamd.
Ahmad bin Muhammad Bin Hajjaj al-Marwazi yang mengarang kitab As Sunan Bisyawaahidil Hadis.
Ishaq Bin Ibrahim yang terkenal dengan nama Ibnu Ruhawaih al-Marwazi dan termasuk ashab Ahmad terbesar yang mengarang kitab As Sunan Fil Fiqhi. Ada beberapa ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan mazhab Hambali, di antaranya:
1. Muwaquddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi yang mengarang kitab Al-Mughni.
2. Syamsuddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi pengarang Assyarhul Kabiir.
3. Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu Taimiyah pengarang kitab terkenal Al-Fataawa.
4. Ibnul Qaiyim al-Jauziyah pengarang kitab I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul Hukmiyyah fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh yang membela dan mengembangkan mazhab Hambali.
1.12. Pengaruh Pembukuan Ushul Fiqh dan Fiqh Terhadap Perkembangan Tasyri’
Pembukuan Ushul fiqih dilakukan pada masa Imam Mujtahid/Imam Mazhab (Para Imam Mujtahid), yang terdiri dari:
1) Imam Abu Hanifah (80—150H)
2) Malik bin Anas (93-179 H)
3) Imam Syafi’I (150-204 H)
4) Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan Ushul Fiqh adalah perkembangan wilayah Islam yang makin luas, yang berimplikasi bagi munculnya berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban hukum syara.Untuk itu para ulama sangat membutuhkan kaidah-kaidah yang standar dan sudah terbukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.

Para pengikut mazhab masing-masing mengklaim gurunya (pendiri mazhabnya) sebagai penyusun pertama Ushul Fiqh, yaitu:
a. Golongan Hanafiyah mengklaim Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani sebagai orang pertama menyusun ilmu ushul fiqh Alasannya, Abu Hanifah adalah orang pertama yang menjelaskan metode istimbath dalam buku Ar-Ra’y, sedangkan Abu Yusuf menyusun tulisanUshul Fiqh. Demikian pula Muhammad bin Hasan Menyusun Kitab Ushul Fiqh sebelum Syafi’i.

b. Golongan Malikiyah juga mengklaim Imam Malik sebagai orang pertama berbicara ilmu ushul fiqh. Tapi mereka tidak mengklaim Imam Malik sebagai orang Pertama menyusun kitab Ushul Fiqh.

c. Syi’ah Imamiyah juga mengklaim Muhammad Baqir Ibnu Ali Ibn Zainal Abidin kemudianm diteruskan putranya Ja’far Shodiq.

d. Golongan Syafi’iyah juga mengklaim Imam Syafi’i sebagai orang pertama menyusun Kitab Ushul Fiqh dengan nama Ar-Risalah.

Klaim Hanafiyah dibantah Ali Abdul Raziq, bahwa Abu Yusuf dan Asy-Syabani menyusun ushul fiqh sangat cenderung untuk mendukung metode istihsan gurunya yang sangat ditentang ahli hadits. Orang yang menyusun ilmu ushul fiqh secara lengkap dan komprehsnif dan tidak sektarian adalah Imam Syafi’ dengan karya Ar-Risalah.

Klaim Malikiyah wajar, namun harus dicatat, bahwa pembahasan ushul fiqh dengan metodologi ushul juga sudah terjadi di masa sahabat dan tabi’in, Jadi bukan Imam Malik yang pertama membicarakan Ushul Fiqh.

Imam Syafii dianggap sebagai ulama pertama menyusun Ilmu ushul fiqh, karena beliau secara komprehensif telah merumuskan kaidah-kaidah fiqhiyyah bagi setiap bab dalam bab-ban fiqh, menganalisisnya serta mengaplikasikan kaedah-kaedah itu atas masalah furu’.

Imam Syafii dalam Ar-Risalah berhasil merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong ulama untuk mengistimbath hukum dari sumber-sumber syar’i, tanpa terikat pendapat seorang faqih(ulama) tertentu, sehingga ushul fiqhnya betul-betul independen dan sempurna.

Jalaluddin Al-Suyuthi berkata, “Disepakati bahwa Asy-Syafii adalah peletak batu pertama Ilmu ushul fiqh yang lengkap dan independen. Dia orang pertama yang menulis ilmunya secara tersendiri.

Adapun Malik dalam Al-Muwaththa hanya menunjukkan sebagian kaedah-kaedah, demikian pula Abu Yusuf dan Muhammad Hasan Syaibani.

1.13. Pemikiran Hukum Islam Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur
Aliran-aliran ini tidak hanya dalam bidang teologis, tetapi juga berpengaruh dalam sejarah perkembangan Fiqh. Misalnya menurut Syi’ah, ijma’ dan qiyas bukan sumber hukum dalam Islam. Sebab ijma’ berarti kesepakatan semua mujtahid dari umat Muhammad Saw. setelah kewafatannya dalam satu masa dan tentang hukum syar’i. padahal mereka tidak mau menerima pendapat selain dari orang Syi’ah sendiri. Demikian qiyas, sebab hukum hanya dapat diambil dari al Qur’an, as Sunnah dan para imam-imam mereka yang ma’sum.

Diantara pendapat mereka tentang hukum islam adalah sebagai berikut:
1. Nikah mut’ah adalah termasuk sysri’at Islam. Tidak termasuk golongan mereka jika tidak menghalalkannya.
2. Wanita hanya dapat mewaris benda bergerak dari mayyit.
3. Waktu shalat hanya ada tiga, yaitu pertama, Zhuhur dan Ashar (dikerjakan sekaligus pada waktu salah satunya), kedua maghrib dan Isya’ (dikerjakan sekaligus pada waktu salah satunya), ketiga shubuh.

Sedangkan Khawarij berpendapat bahwa pemimpin itu untuk umat dan umatlah yang berhak memilih dan memberhentikannya. Diantara pendapat mereka adalah bahwa perbuatan merupakan bagian dari iman, sehingga iman saja tidak cukup kalau tidak diamalkan dalam perbuatan.

Dalam babakan hukum Islam, kaum ini mempunyai beberapa pendapat diantaranya:
1. Tidak ada hukuman rajam bagi wanita pezina mukhsan. Menurut mereka tidak ada dalil dalam al-Qur’an tentang hukman rajam tersebut.
2. Boleh berwasiat untuk ahli waris dan menolak hadits “tidak ada wasiat untuk ahli waris”. Sebab hadits ini dipandang bertentangan dengan ayat al-Qur’an “diwajibkan atas kamu wasiat bagi kedua orang tua dan sanak kerabat apabila kamu hendak meninggal”.
3. Thaharah untuk ibadah shalat adalah suci lahir batin. Kata-kata bohong, kotor, permusuhan dan lain-lain merupakan prilaku kotor (ma’nawi) yang dapat merusah thaharah.
Pada poin kedua, nampak perbedaan pendapat dengan jumhur yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun sebelum turunnya ayat-ayat mawaris. Dengan kata lain, menurut jumhur ayat ini tidak berlaku sebagai legitimasi wasiat untuk ahli waris.

1.14. Para Khalifah Bani Umayah

Dinasti umayah berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang Khalifah. Dimulai oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan dan ditutup oleh Marwan Ibn Muhammad. Diantara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa didalam berbagai bidang sesuai dengan kehendak jamanya, Sebaliknya ada pula Khalifah yang tidak patut dan lemah. Adapun urutan-urutan Khalifah Umayah adalah:

1. Muawiyah 1 (Ibn Abi Sufyan) 41 H/ 661 M.
2. Yazid 1 (Ibn Muawiyah) 60 H/ 680 M.
3. Muawiyah II (Ibn Yazid) 64 H/ 683 M.
4. Marwan 1 (Ibn Hakam) 64 H/ 684 M.

1.1. Kesimpulan
Dari uraian yang dapat penulis sampaikan diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum pada era tabi’in mereka lebih mengikuti manhaj (metode, kaidah istidlal) sahabat dalam mencari hukum. Mereka merujuk pada al Qur’an dan al Hadits dan apabila tidak mendapatkan dari keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah itu mereka sendiri berijtiahad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.

Pada masa ini pula rasio (ra’y) mulai marak digunakan dalam memahami hukum islam. Ini bermulai ketika seorang Irak Ibrahim bin Yazid an Nakha’I yang hidup pada waktu itu memandang sulit kiranya jika memahami hukum Islam sesuai dengan teks harfiyah Qur’an dan Sunnah. Karena Irak adalah daerah yang mempunyai budaya, adat dan suasana kehidupan yang jauh berbeda dengan HIjaz yang merupakan bumi Nabi dan Hadits. Meski awalnya mendapatkan tentangan yang cukup keras dari kaum Hijaz, tapi pada periode berikutnya aliran ini akhirnya mendapatkan apresiasi dari banyak kalangan.

Pada masa dinasti Umayyah, para penguasanya, kecuali Umar Bin Abdul Aziz, lebih memfokuskan pada bidang politik serta masalah keagamaan diserahkan pada ulama setempat. Makanya masa ini lebih terkesan Negara adalah urusan penguasa dan Agama adalah urusan non penguasa. Dalam istilah lain dikatakan zakat bukanlah urusan pemerintah, tapi urusan agama. Zakat yang ada ikut campur Negara dianggap tidak sah.

1.2. Saran
Tiada gading yang tak retak”, mungkin itulah kata-kata yang pas jika tulisan ini dibaca. Maka saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari pembaca. Semoga manfaat dan berkah “always” tercurahkan kepada siapapun yang telah meluangkan waktunya untuk membaca tulisan ini. Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Risalah Gusti:Surabaya,
Ibnul Qoyyim al Jauziy, I’lamul Muqi’in,
Mun’im A. Sirry, op.cit.
Mun’im A. Sirry, Ibid,
Dr. Thaha Jabir Fayyadh ‘Ulwani, Adabul Ikhtilaf Fil Islam
Abdul Wahhab Khallaf, Ikhtisar sejarah Hukum Islam
Dr. Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintatasan Sejarah, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Dr. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Budaya Arab, cet 1, Jakarta: Logos, 1997
Hepi Andi Bastomi, Sejarah Para Khalifah, cet 1, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008
A. Djazuli, Ilmu Fiqih Sebuah Pengantar. 1993
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, 2005
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, 2006
Muhammadiyah Djafar. Pengantar Ilmu Fiqih.1993
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996
AB, Wahhab, Khollaf, Khulashoh Tarikh Tasyri’ Islam, Solo : CV. Ramadhani, 1991
Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : PT Raya Grafindo Persada,1996
Mahjuddin, Ilmu Fiqih, Jember : P.T. GBI Pasuruan, 1991
Fathurrahman, Djamail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997