[ Hukum Pidana ] Pengertian Tindak Pidana

Sudut Hukum | [ Hukum Pidana ] Pengertian Tindak Pidana


Untuk mengetahui kapan dan bagaimana perbuatan atau tindakan seseorang dapat dikategorikan sebagai Tindak Pidana, – sebagai bahan perbandingan – kiranya perlu mengenalkan beberapa gagasan para pakar hukum untuk memberikan titik terang awal mengenai hukum secara terminologis sebagai satuan sistem yang terdiri dari beberapa unsur komunikatif dengan menyertakan segala hal yang melingkupinya.

Ada beberapa syarat sebuah kejadian dapat dikatakan sebagai “peristiwa hukum”: yaitu, tindakan / perbuatan (obyek), pelaku (subyek) dan ketentuan atau peraturan perundang-undangan.


Adami Khazawi mendefinisikan tindakan secara letterlejk lebih disesuaikan dengan terjemahan dari istilah feit.[1] “Tindak” pada dasarnya merujuk pada hal kelakuan manusia secara positif (bansden) semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang bersifat pasif atau negatif (nalaten).[2]

Dan menurutnya, pengertian sebenarnya dalam istilah feit adalah mencakup dua kategori perbuatan, baik perbuatan tersebut aktif maupun pasif, pembagian tindakan hukum ini sesuai dengan pendapat Ahmad Hanafi. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh manusia. Sementara itu, perbuatan pasif adalah suatu bentuk tindakan dengan tidak melakukan suatu perbuatan fisik apapun, yang oleh karenanya seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya tidak menolong, atau perbuatan membiarkan.


[ Hukum Pidana ] Pengertian Tindak Pidana


Suharto menjelaskan bahwa suatu perbuatan yang melanggar aturan hukum dapat dipidana apabila sudah bisa dinyatakan salah. Apa yang diartikan salah adalah suatu pengertian psikologis yang berarti adanya hubungan batin orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatan yang dilakukan sehingga terjadi perbuatan yang disengaja atau alpa.[3]


Sementara itu, terkait dengan tindakan/perbuatan dan pelaku hukum, sebagai syarat suatu peristiwa dapat dikatakan sebagai peristiwa hukum, jika memenuhi ketiga syarat dibawah ini:

  • Harus ada suatu perbuatan manusia yang dikerjakan secara sadar;
  • Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum;
  • Harus terbukti adanya “dosa” (horisontal) pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan. Dalam artian, sebagai subyek hukum (pelaku) sudah dapat dinyatakan sebagai subyek yang cakap hukum, sedangkan dosa horisontal ini dalam istilah sosiologi biasa disebut dengan perilaku menyimpang (dari kebiasaan/norma);
  • Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;
  • Terhadap perbuatan itu, harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-undang.[4]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kata “tindakan” ataupun “perbuatan” dalam diskursus hukum banyak digunakan untuk peristiwa yang terjadi pasca konvensi atau positivisasi hukum, lebih jelasnya, sebelum sebuah pekerjaan dipositivisasikan dalam bentuk hukum materiil verbal sebagaimana terkodifikasikan dalam peraturan perundangan, tindakan tersebut belum dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum, baik perbuatan itu bersifat positif maupun negatif. Dan makna tindakan ini kemudian mengalami pergeserannya yang cenderung positivistik.



Menurut Hukum Pidana Islam yang dimaksud dengan Tindak Pidana adalah Jarimah. Jarimah sendiri menurut definisinya adalah larangan-larangan Syara’ yang diancamkan oleh Allah dengan hukuman had dan ta’zir.

Dalam kehidupan masyarakat yang mendorong untuk menganggap sesuatu perbuatan sebagai Tindak Pidana, ialah karena perbuatan tersebut bisa merugikan kepada tata aturan masyarakat, atau kepercayaan-kepercayaannya, atau merugikan kehidupan anggotaanggota masyarakat, atau bendanya atau nama baiknya atau perasaan- perasaannya, atau pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara.[5]


Sesuatu hukuman yang diancamkan kepada seseorang agar orang tidak melakukan Tindak Pidana, sebab larangan atau perintah semata-mata tidak akan cukup. Meskipun hukuman itu sendiri bukan suatu kebaikan, bahkan suatu perusakan bagi si pelaku Tindak Pidana sendiri sekurangkurangnya, namun hukuman tersebut diperlukan, sebab bisa membawa keuntungan yang nyata bagi masyarakat.[6]


Disisi lain, sesuatu Tindak Pidana boleh jadi malah membawa keuntungan, namun keuntungan ini tidak menjadi pertimbangan hukum dan oleh karena itu hukum melarang Tindak Pidana tersebut karena segi kerugiannya itulah yang diutamakan dalam pertimbangan.

Ambil contoh misalnya perbuatan-perbuatan zina, menyerobot hak milik orang lain, dan lain-lain, boleh jadi bisa membawa keuntungan bagi perseorangan tertentu, tetapi keuntungan tersebut tidak menjadi pertimbangan hukum. Perbuatan tersebut dilarang, bukan karena segi keuntungan perseorangan tersebut, melainkan karena perbuatan-perbuatan tersebut akan membawa kerugian bagi masyarakat. Ringkasnya, dasar pelarangan sesuatu perbuatan ialah pemeliharaan kepentingan masyarakat itu sendiri.[7] (*Sigit Setyo)

__________________________

Ft;

[1] Adami Khazawi, Pelajaran Pidana; Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batasan Berlakunya Hukuman Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. 2, 2002, hlm. 70.

[2] Marsum, Fiqih Jinayat (Hukum Pidana Islam), Yogyakarta: BAG. Penerbit FH UII, 1991, hlm. 2.

[3] Suharto, Hukum Pidana Materiil, Jakarta : Sinar Grafika, 2002. hlm. 5

[4] S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: PBK.Gunung Mulia, 1996, hlm. 13.

[5] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1993, hlm. 2

[6] Ibid., hlm. 3

[7] Ibid., hlm. 4