[hukum] RUMUSAN TINDAK PIDANA PERS DALAM KUHP DAN RUU KUHP

RUMUSAN TINDAK PIDANA PERS DALAM KUHP DAN RUU KUHP

Teknik perumusan tindak pidana dalam RUU KUHP dirumuskan untuk semua perbuatan yang dilakukan oleh semua orang, maka RUU KUHP menggunakan frase “setiap orang”, KUHP menggunakan frase “barang siapa”, yang ditujukan kepada subjek larangan dalam hukum pidana. Rumusan tindak pidana memang tidak ditujukan kepada subjek hukum tertentu, kecuali untuk rumusan tersebut dimaksudkan untuk memperberat atau memperingan ancaman pidana atau karena tindak pidana tersebut memang secara spesifik hanya dapat dilakukan oleh subjek hukum tertentu. Misalnya, dalam Pasal 349 KUHP disebutkan pelakunya tenaga medik ancaman pidananya diperberat sepertiga dan suap terhadap pejabat sebagaimana diatur dalam Pasal 418 dan 419 atau suap kepada hakim dalam 420 KUHP (sekarang sudah dihapus dan dipindahkan ke dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Teknik rumusan tindak pidana dalam hukum pidana tidak ditujukan kepada subjek hukum tertentu, maka sejauh yang berkaitan dengan pers, KUHP tidak secara khusus mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pers. Dalam Buku I KUHP mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh pencetak dan penerbit, karena keduanya menjadi suatu pekerjaan atau mata pencarian yang sah dan dibenarkan oleh hukum, maka penerbit dan pencetak dilindungi dalam hukum pidana makala keduanya mentaati aturan yang berlaku bagi penerbit dan pencetak. Pasal 61 dan 62 KUHP mengatur kapan dan dalam hal apa penerbit dan pencetak tidak bisa dituntut dan bisa dituntut terhadap kejahatan yang menggunakan sarana penerbitan dan percetakan yang dilakukan oleh orang lain.

Batas-batas pertanggungjawaban hukum pidana bagi penerbit dan pencetak dirumuskan secara jelas dan tegas dalam Pasal 61 dan 62 KUHP, selengkapnya dikutip:

Pasal 61

(1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, penertibnya selaku demikian tidak dituntut apabila dalam barang cetakkan disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan pembuatnya terkenal, atau setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan kepada penerbit.

(2) Aturan ini tidak berlaku jika pelaku pada saat barang cetakkan terbit, tidak dapat dituntut atau sudah menetap di luar Indonesia.

Pasal 62

(1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, pencetaknya selaku demikian tidak dituntut apabila dalam barang cetakkan disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan orang yang menyuruh mencetak dikenal, atau setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan oleh pencetak.

(2) Aturan ini tidak berlaku, jika orang yang menyuruh mencetak pada saat barang cetakkan terbit, tidak dapat dituntut sudah menetap di luar Indonesia.

Kedua pasal tersebut merupakan asas hukum pidana dalam meminta pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang sedang menjalani pekerjaan sebagai mata pencaharian yang sah. Perlindungan hukum pidana diberikan dengan syarat khusus, yakni apabila mentaati kaedah hukum yang dimuat dalam Pasal 61 dan 62 KUHP. Sebaliknya, jika melanggar kaedah hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 61 dan 62 maka penerbit dan pencetak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. KUHP tidak mengikuti sistem perlindungan mutlak terhadap pencetak dan penerbit, sehingga keduanya tidak selalu ‘kebal tuntutan pidana’.

Pengaturan yang demikian ini penting agar orang yang menjalankan usaha yang sah di bidang penerbitan dan percetakan merasa aman, mengingat tindak pidana yang menggunakan sarana penerbitan dan percetakan hampir selalu melibatkan penerbit dan pencetak, dan keduanya dapat dikenakan sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 atau 56 KUHP yang mengatur delik penyertaan dan pembantuan.

Ketentuan hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 61 dan 62 KUHP tersebut juga berlaku kepada pers, apabila perusahaan di bidang pers tersebut melakukan usaha di bidang percetakan dan penerbitan, maka pers memiliki kekebalan dan sekaligus ketidak-kebalan terhadap tuntutan hukum pidana.

Dasar hukum penuntutan pidana terhadap penerbit dan pencetak diatur dalam Pasal 483 dan 484 KUHP.

Pasal 483

Barang siapa menerbitkan sesuatu tulisan atau sesuatu gambar yung karena sifatnya dapat diancam dengan pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika:

l. si pelaku tidak diketahui namanya dan juga tidak diberitahukan namanya oleh penerbit pada peringatan pertama sesudah penuntutan berjalan terhadapnya;

2. penerbit sudah mengetahui atau pat,ut menduga hahwa pada waktu tulisan atau gambar itu diterbitkan, si pelaku itu tak dapat dituntut atau akan menetap di luar Indonesia.

Pasal 484

Barang siapa mencetak tulisan atau gambar yang merupakan perbuatan pidana, diancam dengan pidana paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika:

1. orang yang menyuruh mencetak barang tidak diketahui, dan setelah ditentukan penuntutan, pada teguran pertama tidak diberitahukan olehnya;

2 pencetak mengetahui atau seharusnya renduga bahwa orang yang menyuruh mencetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar Indonesia.

Pasal 485

Jika sifat tulisan atau gambar merupakan kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan, maka penerbit atau pencetak dalam kedua pasal di atas hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena kejahatan itu.

Pengaturan tindak pidana yang terkait dengan penertiban dan pencetakan tersebut asas hukum penuntutannya diatur dalam Pasal 61 dan 62 KUHP dan penuntutan pidananya diatur dalam Pasal 483 dan 484 KUHP. Pasal-pasal tersebut tidak menyebutkan secara khusus untuk profesi di bidang pers yang terkait dengan penerbitan dan percetakan. Sejauh kegiatan usaha di bidang pers yang terkait dengan pencetakan dan penerbitan, dapat dikenakan pasal Pasal 61 dan 62 KUHP dan Pasal 483 dan 484 KUHP.

RUU KUHP tidak mengatur secara khusus asas hukum pidana dalam Buku I yang mengatur ketentuan penuntutan terhadap penerbitan dan percetakan. Ketentuan mengenai kejahatan dengan menggunakan sarana percetakan dan penerbitan dalam RUU KUHP diatur dalam Buku II Pasal 737, 738 dan 739. Selangkapnya dikutip:

Bagian ketiga

Tindak Pidana Penerbitan dan Pencetakan

Pasal 737

Setiap orang yang menerbitkan tulisan atau gambar yang menurut sifatnya dapat dipidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, jika:

a. orang yang menyuruh menerbitkan tulisan atau gambar tidak diketahui atau pada teguran pertama setelah dimulai penuntutan tidak diberitahukan; atau

b. penerbit mengetahui atau patut menduga bahwa orang yang menyuruh menerbitkan pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar negeri.

Pasal 738

Setiap orang yang mencetak tulisan atau gambar yang menurut sifatnya dapat dipidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, jika:

a. orang yang menyuruh mencetak tulisan atau gambar tidak diketahui atau pada teguran pertama setelah dimulai penuntutan tidak diberitahukan; atau

b. pencetak mengetahui atau patut menduga bahwa orang yang menyuruh mencetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar negeri.

Pasal 739

Jika sifat tulisan atau gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 737 dan Pasal 738 merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut atas pengaduan, maka penerbit atau pencetak hanya dapat dituntut atas pengaduan dari orang yang terkena tindak pidana tersebut.


Rumusan tindak pidana untuk penerbitan dan percetakan dalam Pasal 737 dan 738 RUU KUHP sama dengan rumusan tindak pidana yang dimuat dalam Pasal 483 dan 494 KUHP. Perbedaannya pengaturan delik penerbitan dan percetakan dalam KUHP adalah Buku I RUU KUHP tidak memuat ketentuan umum sebagai asas hukum pertanggungjawaban hukum pidana terhadap penerbit dan pencetak sebagaimana diatur dalam Pasal 61 dan 62 KUHP. (*Dr. Mudzakkir, S.H., M.H)