[hadis] Sekilas Tentang kesahihan sanad hadits

[hadis] Sekilas Tentang kesahihan sanad hadits
gambar: sangpenakluk2590.blogspot.com/
Sanad adalah suatu riwayat atau berita antara suatu generasi dengan generasi lainnya. Sanad dalam hadits ini mengandung dua bagian penting yakni:
a. Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadits yang bersangkutan.
b. Lambang-lambang periwayatan hadits yang telah digunakan oleh masingmasing periwayat dalam meriwayatkan hadits yang bersangkutan misalnya, sami’tu, akhbarani,’an dan ‘anna.
Dalam menentukan kualitas hadits diperlukan persyaratan yang mana terdapat dalam pengertian hadits shahih. Ibnu Shalah memberikan definisi hadits shahih sebagai berikut:
Adapun hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabith sampai akhir sanad (dalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan dan cacat.
Adapun kelima unsur yang terkandung dalam definisi tersebut di atas akan diuraikan sebagai berikut :
1. Sanadnya bersambung
Sanad bersambung adalah seluruh rangkaian periwayat yang disandari oleh al-mukharij (penghimpun riwayat hadits dalam karya tulisnya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi dan bersambung dalam periwayatan.
Untuk mengetahui bersambung (dalam arti musnad) atau tidak bersambung suatu sanad, biasanya ulama’ hadits menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat
c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad yakni apakah kata-kata yang digunakan berupa haddatsana, hadddatsani akhbarana,’an,’anna, atau kata-kata lainnya.
2. Perawinya Adil
Kata adil, menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus, dan jujur. Secara umum ulama telah mengemukakan cara penetapan ke-adilan periwayat hadits didasarkan pada:
a. Popularitas keutamaan periwayat dikalangna ulama hadits, periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya, misalnya Malik bin Anas dan Sufyan al- Tsaury, mereka ini tidak diragukan ke-adil-annya.
b. Penilaian dari para kritikus periwayat hadits, penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri para periwayat tertentu.
c. Penetepan kaedah al-jarh wa al-ta’dil, cara ini ditempuh bila para kritikus periwayat hadits tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.
3. Perawinya Bersifat Dhabith
Pengertian istilah dhabith menurut Ibnu Hajar al-Asqalany dan al- Sakhawy, yang dinyatakan sebagai orang yang dhabith ialah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia menghendakinya.
Dhabith dalam ilmu hadits dapat diibaratkan dengan beberapa hal yakni:
a. Tidak pelupa.
b. Hafal terhadap apa yang didektekan guru kepada muridnya bila ia memberikan hadits tersebut dengan hafalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan bila ia meriwayatkan kitabnya.
c. Menguasai apa yang diriwayatkan dan memahami maksudnya serta mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud bila ia meriwayatkan suatu hadits menurut maknanya saja.
Adapun cara penetapan ke-dhabith-an seorang periwayat menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut:
a. Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
b. Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya.
c. Apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhabith. Tetapi apabila kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yeng bersangkutan tidak lagi disebut sebagi periwayat yang dhabith.
4. Terhindar Dari Kejanggalan (syudzudz)
Yang dimaksud dengan syadz atau syudzudz menurut pegangan imam Syafii dan diikuti oleh para ulama’ adalah suatu hadits yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah.
Ada perbedaan pendapat yang sangat menonjol mengenai masalah pengertian kejanggalan (syadz) suatu hadits. Diantara pengertian itu adalah sebagai berikut:
a. Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang tsiqah juga. Pendapat ini dikemukakan oleh imam Syafi’i.
b. Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi orang yang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan hadits itu. Pendapat ini dikemukakan oleh al- Hakim al-Naisabury.
c. Hadits yang sanadnya hanya satu orang saja, baik periwayatnya bersifat tsiqah maupun tidak bersifat tsiqah. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Ya’la al-Khalili.
5. Terhindar dari cacat (‘illat)
Yang dimaksud illat dalam hadits ialah penyakit yang samar-samar, yang dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya meriwayatkan hadits secara muttasil (bersambung) terhadap hadits mursal (yang gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits munqathi’ (yang gugur salah seorang riwayat) dan sebaliknya.
Para ulama’ hadits memberi tolok ukur untuk mengetahui ‘illat hadits, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Menurut Abd al-Rahman, beliau menyatakan, bahwa untuk mengetahui ‘illat hadits diperlukan intuisi (ilham).
b. Al-Hakim al-Naisabury berpendapat, acuan utama penelitian ‘illat hadits ialah hafalan, pemahaman dan pengetahuan yang luas tentang hadits.
c. Sebagian ulama menyatakan, orang yang mampu meneliti ‘illat hadits hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan hadits yang banyak, paham akan hadits yang dihafalnya, mendalam pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke-dhabith-an periwayat dan ahli di bidang sanad dan matan hadits.
Penjelasan tentang kaedah keshahihan sanad hadits yang telah diuraikan diatas sebagai tolok ukur yang sangat penting dalam rangka melakukan kegiatan penelitian kualitas sanad hadits. Sehingga dapat diketahui shahih dan tidaknya suatu hadits.(*Sa’adah Zidni)