Mazhab Al-Auza’i, Mazhab Fikih Yang Hilang

SUDUT HUKUM | Perlu diketahui juga bahwa madzhab-madzhab fiqih yang kita kenal sampai sekarang itu sama sekali tidak pernah ada deklarasi pendirian atau pembentukannya. Madzhab fqih bukanlah organisasi atau kelompok masa atau juga partai politik yang ada acara deklarasi atau peresmian sebagai informasi kepada dunia luar bahwa ada sekumpulan masa yang seudha terbentuk.


Para imam-imam madzhab tidak pernah mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai pendiri madzhab, itu tidak pernah. Mereka juga tidak pernah memaksa murid-murid mereka yang mengambil ilmu fiqih dari mereka untuk membaiatnya sebagai pimpinan madzhab.


Eksistensi Sebuah Madzhab


Mazhab Al-Auza’i, Mazhab Fikih Yang Hilang

Madzhab adalah sebuha pemikiran dan hasil penelitian terhadap nash-nas al-Quran dan hadits oleh seorang ulama madzhab, yang kemudian merekamemproduksi sebuah hukum dari penelitiannya tersebut lalu itu diikuti oleh murid atau sahabatnya.


Makin banyak pengikut atau murid yang mengamalkan metode serta fatwa imam madzhab, madzhab itu pun terus menjadi besar dan terjaga eksistensinya. Jadi bisa dibilang bahwa eksistensi sebuah madzhab tergantung kepada penganutnya. Makin banyak penganut yang mengamalkan akan semakin besar. Tapi makin sedikit yang mengamalkan, madzhab pun perlahan akan hilang dan punah.


Jalur eksistensi madzhab mirip sekali dengan model eksistensi suatu bahasa di daerah atau Negara tertentu, yang keberadaannya bergantung kepada penuturnya. Semakin banyak penutur bahasa tersebut, akan semakin hidup bahasa tersebut dan semakin berkembang. Tapi bahasa itu akan punah dan hilang jika penuturnya pun sudah tidak ada lagi.


Nah, dalam litelatur sejarah, kita menemukan bahwa ada beberapa madzhab fiqih yang pernah berkembang dan diamalkan namun akhirnya ia menghilang dan punah. Di antara madzhab yang tidak diamalkan tadi ialah:


Madzhab Imam Al-Auza’i (Syam)


Madzhab ini banyak diamalkan pada kisaran tahun ke-2 Hijrah sampai pertengahan abad ke-3 Hijrah di negeri Syam (sekarang: Lebanon, Yordania, Syiria, Palestina). Dinamakan madzhab al-Auza’ie karena penisbatan kepada Imam madzhab ini, yaitu Imam Abdurrahman bin Muhammad Al-Auza’ie.


Lahir di Ba’labak, salah satu daerah di Lebanon pada tahun 88 Hijriyah. Dan penisbatan al-Auza’ie adalah penisbatan suku asli dari ayahnya yang merupakan berasal dari suku al-Auza’ [الأوزاع], suku asli yang mendiami Bab-al-Faradis, sebelah selatan Beirut yang berbatasan dengan Suriah. dan wafat di kota yang sama pada tahun 157 Hijrah.


Imam al-Zirikli dalam kitabnya al-A’lam mengutip pernyataan Shalih bin Yahya, yang ini juga tertulis dalam tarikh Baghdad, beliau mengatakan: “Imam al-Auza’ie adalah orang yang punya kedudukan luhur bagi warga Syam. Bahkan perintahnya lebih ditaati dibanding perinta penguasa ketika itu”.


Beliau hidup semasa dengan Imam Ja’far al-Shadiq (148 H), Imam Robi’ah (136 H) di Mekkah, Imam Abu Hanifah di Baghdad (150 H), Imam al-Laits bin Sa’d (175 H) di Mesir, Imam Sufyan al-Tsauri (161 H), dan beberapa ulama pada akhir abas ke-2 Hijrah.


Jauh Dari Qiyas


Sheikh Muhammad al-Khudhari Bik dalam kitabnya Tarikh al-Tasyri’ al-Islami memberikan sedikit ciri khas yang dimiliki oleh madzhab al-Auza’ie ini, yaitu mereka sangat benci sekali dengan Qiyas dalam fiqih mereka. Corak ini jelas terpengaruh oleh Imam al-Auza’ie sendiri yang merupakan seorang Muhaddits (Ahli Hadits).


Terbukti banyak beberapa para ahli hadits di masa setelah yang meriwayatkan hadits melalui beliau, termasuk Shaikhoni dalam hadits, yaitu Imam Al-Bukhari dan juga Imam Muslim al-Naisaburi. Dan juga para pemilik kitab-kitab Sunan, seperti Imam Ibnu Majah, Imam al-Nasa’ie dan juga Imam al-Turmudzi serta Imam Abu Daud.


Pada masa perkambangannya, madzhab ini tidak hanya diamalkan di Syam daja, tapi juga diamalkan sampai ke negeri Andalus (Sekarang Spanyol) lewat banyaknya imigran yang masuk ke Andalus dari Syam. Bahkan Khaizuran (173 H), Istri Khalifah al-Mahdi (Masa al-Abbasiyah) itu bermadzhab fiqih-nya Imam al-Auza’ie.


Salah satu tokoh berkembangannya madzhab ini ialah Abdurrahman bin Ibrahim (245 H) dari keluarga Umawi (penguasa ketika itu), yang menyebarkan madzhab al-Auza’ie dengan posisinya sebagai Gubernur Yordan serta Palestina ketika itu.


Dan juga, yang masyhur ialah Sho’sho’ah bin Salam bin Abdullah al-Dimasyqa (190 H) yang membawa madzhab ini ke Andalus, yang mana beliau juga seorang khathib di Qurthuba.


Tak Diabadikan, Akhirnya Punah


Sayangnya, di pertengahan abad ke-3, madzhab ini perlahan mulai hilang dan ditinggalkan serta tidak ada lagi yang mengamalkan. Salah satu penyebabnya adalah masuknya madzhab Imam al-Syafi’i di awal abad ke-3 ke Syam, yang akhirnya menggerus madzhab al-Auza’ie. Kalau di Andalus, madzhab ini tergerus oleh eksistensinya madzhab al-Malikiyah di pertengahan abad ke-3 tersebut.


Tapi kalau diteliti lebih dalam, punahnya madzhab ini bukan hanya karena adanya madzhab baru yang datang, tapi kerena memang tidak adanya budaya pelestarian ilmu dengan tulisan yang dilakukan oleh para murid dan pengikut Imam al-Auza’ie. Mereka hanya mengamalkan tanpa mengabadikan.


Akhirnya kita sulit untuk melihat fiqih dan corak ushul madzhab al-Auza’ie serta fatwa-fatwa beliau. Tapi kita akan masih mendapati beberapa pendapat fiqih beliau di beberapa kitab fiqih Muqaranah Madzhab seperti Kitab Bidayatul-Mujtahid karangan Imam Ibnu Rusyd, atau juga kitab al-Majmu’ karangan Imam al-Nawawi, serta kitab Bada’i al-Shana’ie karangan Imam al-Kasani dari kalangan al-Hanafiyah.


Univ. Imam al-Auza’ie


Tapi, Imam al-Auza’ie adalah orang yang banyak menorehkan catatan sejarah dalam leterasi keilmuan Islam, dan pastinya punya banyak kontribusi nyata bagi ummat. Dan untuk menghargai serta mengabadikan itu semua, didirikan Universitas Imam al-Auza’ie [ http://ouzai.org/ ] di Beirut pada tahun 1396 H / 1976 M.


Tulisan ini ditulis oleh :Ahmad Zarkasih, Lc, di situs http://www.rumahfiqih.com/