KELUARGA HAJI RASUL

SUDUT HUKUM | Ketika pertama kali pergi ke Mekah untuk berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabauwi, Haji Rasul menetap di negeri itu selama tujuh tahun (1894-1901). Sekembali ke kampung halaman, beliau dilantik sebagai “putera mahkota” Tuanku Kisa-i dengan diberi gelar Tuanku Syeikh Nan Mudo. Bersamaan dengan itu, ayahnya pun mendapat gelar Tuanku Syeikh Nan Tuo. Tak lama berada di Nagari Danau, Haji Rasul dinikahkan dengan Raihanah binti Haji Zakaria dari suku Tanjung.
 KELUARGA HAJI RASULPernikahan ini berlangsung atas permintaan ayahnya. Maksud Tuanku Kisa-i adalah meredakan gelora anak muda yang baru saja menimba ilmu di seberang lautan itu. Rupanya, siasat ayahnya tersebut mengena. Haji Rasul demikian bahagia dinikahkan dengan gadis cantik yang disebutnya sebagai Raihanatu Qalbi (bunga yang mekar di hati), dan agak berkuranglah kebengalannya akibat bergaul intens dengan guru yang radikal selama tujuh tahun di Mekah. Pernikahan itu berbuah seorang puteri yang dinamai Fathimah.
Sedang hangat-hangatnya membina keluarga baru, Tuanku Kisa-i kembali mengutus Haji Rasul ke Mekah untuk mengantar adik-adiknya berguru di sana. Maka Haji Rasul pun berangkat beserta istri tercinta walau harus meninggalkan Fathimah dalam asuhan salah seorang bibinya karena ibunda Raihanah (nenek Fathimah) keberatan jika cucu kesayangannya dibawa ke Mekah.
Di Mekah, Haji Rasul kembali menghadap Syaikh Ahmad Khatib Minangkabauwi untuk kembali menimba ilmu dari sang guru. Tetapi Syeikh Ahmad Khatib menolak maksud Haji Rasul karena dinilainya anak murid itu sudah cukup memiliki ilmu untuk menjadi seorang guru. Beliau pun ditugasi mengajar ilmu agama dan hanya diijinkan menemui gurunya jika menemukan persolan yang tak mampu dijawab sendiri oleh Haji Rasul.
Demikian gembira Haji Rasul mendapat tugas baru yang diartikannya sebagai pengakuan bahwa ilmu agamanya telah cukup. Dia pun bertekad menetap lebih lama lagi di Mekah. Kebahagiaannya semakin lengkap ketika Raihanah kembali hamil. Namun di tengah kebahagiaan itu, Allah memberikan ujian berat baginya; bayi lakilaki yang dilahirkan istri tercinta meninggal dalam usia satu hari. Setelah itu, Raihanah jatuh sakit dan kondisi kesehatannya terus memburuk sehingga lima bulan kemudian menyusul putera mereka kembali ke haribaan Allah S.W.T.
Haji Rasul begitu berduka. Tekadnya untuk menetap di Mekah pupus. Beliau pun memenuhi panggilan Tuanku Kisa-i untuk kembali ke Maninjau dan melanjutkan tugas sebagai pemimpin umat di kampung halaman. Setelah mengerjakan haji pada 1906 dan memakai mengganti namanya dengan Abdul Karim, beliau pulang.
Pembesar-pembesar suku Tanjung yang kecewa karena terputus hubungan dengan keluarga Amrullah meminta Haji Rasul menikahi adik mendiang istrinya yang bernama Siti Syafiah Tanjung binti Haji Zakaria. Padahal waktu itu Syafiah telah ditunangkan dengan anak Tuanku Laras. Tetapi dengan segala resiko, pertunangan itu dibatalkan keluarga demi mempertahankan hubungan kekerabatan dengan keluarga Amrullah. Maka Haji Rasul pun setuju menikahi Syafiah.
Sebelumnya Haji Rasul telah menikah dengan gadis bernama Hindun, mendapatkan beberapa anak yang semua meninggal di masa kecil. Hanya anak bungsu bernama Abdul Wudud yang berumur panjang. Sedangkan pernikahannya dengan Syafiah yang merupakan istri ke tiga, beliau memperoleh empat anak; putera yang paling tua dinamai Abdul Malik (Hamka), lalu Abdul Kudus, kemudian puteri ke tiga bernama Asma, dan bungsu bernama Abdul Mu’thi. Setelah Syafiah, Haji Rasul juga menikah dengan Rafi’ah binti Sutan Palembang. Sama seperti pernikahannya dengan Hindun, dari Rafi’ah Haji Rasul memperoleh beberapa anak yang meninggal pada usia dini. Hanya anak bernama Abdul Bari yang mencapai usia 25 tahun (meninggal dalam penjara di Padang, dihukum karena menulis buku Suluh yang Gilang Gemilang).
Haji Rasul kemudian bercerai dari dua istrinya, yakni Syafiah dan Rafi’ah. Beliau hidup bersama dengan Hindun dalam waktu yang lama. Pada tahun 1941 Syeikh Amrullah alias Haji Rasul ditangkap dan diasingkan oleh pihak Belanda ke Sukabumi karena fatwa-fatwa yang dikeluarkannya dianggap potensial mengganggu keamanan dan keselamatan umum pada masa itu. Akhirnya beliau wafat di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1945, dua bulan sebelum proklamasi. Pada 1976 makamnya dipindahkan ke kampung halamannya, Muara Pauh-Sungai Batang, Maninjau.
Abdul Malik Karim Amrullah, Melanjutkan Jejak Ayah
Abdul Malik lahir pada Ahad malam, 16 Februari 1908 bertepatan dengan 13 Muharram 1326. Tangal lahir ini menjadi istimewa jika dikaitkan dengan meninggalnya Tuanku Kisa-i (kakek Abdul Malik) pada Senin, 2 Rabi’ul Akh1325 H. Jika dihitung, Abdul Malik dilahirkan tepat 9 bulan 10 hari setelah kakeknya meninggal. Suatu kali, nenek Tarwasa (istri Tuanku Kisa-i yang berusia lebih panjang daripada suaminya) pernah berkata kepada Abdul Malik bahwa secara fisik dan pembawaan diri, ia lebih mirip Tuanku Kisa-i daripada Haji Rasul. Tentu saja Allah menciptakan setiap individu sebagai mahluk-Nya yang berbeda. Adapun peristiwa serba kebetulan itu menjadi terasa istimewa, sesungguhnya rahasianya berada di tangan Allah semata. Wallahua’lam.