Haji Rasul, Tokoh Tajdid Nusantara

HAJI RASUL, TOKOH TAJDID NUSANTARA


SUDUT HUKUM | Di antara murid-murid Tuanku Pariaman, terdapat seorang ulama terkenal asal Nagari Danau (Maninjau) bernama Abdullah Saleh yang kemudian menjadi penguasa di Guguk Katur sehingga digelari Tuanku Syaikh Guguk Katur. Abdullah Saleh dikawinkan dengan puteri Tuanku Pariaman bernama Siti Saerah. Buah perkawinan mereka adalah Amrullah dan Bayanullah. Amrullah lahir pada 6 Rajab 1256 H (1839 M). Sejak kecil dia dididik secara ketat dalam ilmu agama oleh ayahnya, Tuanku Guguk Katur. Kemudian sejak usia 14 tahun, dia dibawa kakeknya Tuanku Pariaman ke Koto Tuo untuk dididik ilmu agama yang lebih tinggi. Setelah dirasa cukup, pada 1864 Amrullah kembali ke Danau setelah sebelumnya mendapat gelar ulama yakni Fakih Kisai.



Sesuai tradisi di Minangkabau, seorang yang telah mampu menghafal Al Qur’an mendapat gelar Fakih. Tingkat yang lebih tinggi adalah Syaikh, kemudian Tuanku. Nama Kisa-i diambil dari nama salah seorang di antara tujuh Qari’ (ahli membaca Qur’an) yang mahsyur di masa Rasulullah.



Fakih Kisa-i kemudian menjadi ulama terkenal yang mengembangkan Thariqat Naqsyabandiyah dan segera mendapat gelaran Syaikh, kemudian bergelar ulama tertinggi yaitu Tuanku Kisa-i. Mengikuti tradisi dakwah matrilineal Minangkabau, Tuanku Kisa-i kerap melakukan perjalanan jauh untuk berdakwah dan mengajarkan thariqat. Seiring namanya yang kian harum, Tuanku Kisa-i merasa perlu menambah ilmu agamanya, sehingga kemudian berangkat ke Mekah. Lima tahun Tuanku Kisa-i menetap di Mekah dan berguru kepada ulama mahsyur Sayid Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Hasbullah, dan beberapa ulama lain. Di antara santri seangkatannya yang lebih muda usia dari beliau adalah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabauwi yang kelak menjadi ulama besar sekaligus guru dari putera Tuanku Kisa-I yaitu Abdul Karim bin Amrullah.




HAJI RASUL, TOKOH TAJDID NUSANTARA

Sekembali dari mekah, nama Tuanku Kisa-i makin harum dan berpengaruh sehingga dalam catatan Hamka terdapat kisah-kisah di seputar kakeknya itu yang terkesan mengeramatkan sosok ulama tersebut. Walau kisah-kisah itu berasal dari saksi sejarah, namun Hamka tidak memberi penekanan berlebih karena dia lebih cenderung kepada gerakan tajdid ayahnya, Abdul Karim Amrullah, yang menentang juga pengkultusan terhadap ulama. Dalam tradisi keagamaan di Minang, seorang yang dipandang sebagai ulama besar akan menarik suku-suku adat untuk “menjemput” sang ulama. Artinya, ulama tersebut diminta menikahi salah seorang anak gadis dari suku yang menjemput. Demikian halnya dengan Tuanku Kisa-i yang beberapa kali “dijemput” oleh ninik mamak suku lain sehingga beliau mempunyai beberapa istri. Dari Andung Tarwasa, istri ke tiga beliau asal Batung Panjang, Tuanku Kisa-i memiliki tujuh anak. Dua anak pertama perempuan, lalu lahir anak ke tiga pada 10 Februari 1879 yang diberi nama Muhammad Rasul.



Sejak kecil Muhammad Rasul telah menunjukkan bakat kecerdasan. Orangtuanya pun mendidik secara ketat dalam kehidupan beragama karena di pundaknyalah tertumpu tongkat estafet keulamaan Tuanku Kisa-i. Sejak usia tujuh tahun, Muhammad Rasul telah diwajibkan mendirikan shalat dan puasa pada bulan Ramadan. Selanjutnya pada usia 10 tahun, paman beliau yang bernama Haji Abdus Samad membawanya ke Sibalantai, Tarusan, Painan, untuk belajar al-Quran kepada Tuanku Haji Hud dan Tuanku Pakih Samnun. Setahun kemudian beliau pulang ke Sungai Batang, lalu belajar menulis dalam huruf Arab kepada Adam, anak seorang ulama Minang bernama Tuanku Said. Tuanku Said adalah murid Tuanku Kisa-i yang menonjol.



Pada usia 13 tahun, Muhammad Rasul mulai belajar ilmu Nahwu dan Sharaf dari ayahnya. Setelah tamat, ayahnya mengantar anak itu ke Sungai Rotan, Pariaman, untuk menuntut ilmu kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf. Empat tahun Muhammad Rasul berguru pada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf. Pada 1894, saat berusia 17 tahun, Tuanku Kisa-i membawa anaknya ke Mekah untuk memperdalam pengetahuannya pada ulama-ulama Mekah. Menurut catatan Hamka, guru utama Muhammad Rasul ialah Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi. Beliau juga berguru kepada Syeikh Abdullah Jamidin, Syeikh Utsman Sarawak, Syeikh Umar Ba Junaid, Syeikh Saleh Ba Fadhal, Syeikh Hamid Jeddah, Syeikh Sa’id Yaman, dan seorang penganut paham pembaharuan Islam yaitu Syeikh Tahir Jalaluddin.



Saat belajar di Mekah, Muhammad Rasul menunaikan ibadah haji. Sesuai tradisi pada waktu itu, beliau mengganti namanya menjadi Karim Amrullah. Tetapi sepulang beliau ke Minangkabau (1901), Tuanku Kisa-i lebih senang memperkenalkan anaknya itu kepada masyarakat dengan kata-kata, “Inilah anakku Rasul yang telah berhaji,” sehingga orang lebih sering memanggilnya Haji Rasul.



Mengenai salah seorang guru Haji Rasul yang mempunyai pengaruh besar, Hamka menulis: “Dan pernah juga belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhani, pengarang kitab Al-Anwarul Muhammadiyah. Syeikh ini jadi terkenal kerana dia benci kepada Syeikh Muhammad Abduh! (Karangan-karangannya itu besar pengaruhnya di kalangan ulama-ulama tua di Indonesia, sehingga payah menghapuskannya).”



Dari keterangan Hamka di atas, hanya dua orang ulama yang berasal dari dunia Melayu yang menjadi guru Haji Rasul di Mekah. Mereka adalah Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi (Syeikh Ahmad Khatib yang berasal dari Minangkabau) dan Syeikh Utsman Sarawak. Namun Wan Mohd Shaghir Abdullah, ulama Malaysia asal Riau yang dijuluki “Penulis Ulama Nusantara” menyebut juga dari sumber-sumbernya bahwa Haji Rasul berguru kepada ulamaulama Melayu lain yang terkenal di Mekah ketika itu. Di antara mereka adalah Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani, Syeikh Wan Ali al-Kalantani, dan Syeikh Ahmad al-Fathani yang merupakan kakek Wan Mohd. Shaghir Abdullah.4)



Shaghir Abdullah, yang disebut-sebut sebagai “Perpustakaan Hidup Manuskrip Klasik Melayu” itu, menggarisbawahi catatan Hamka yang menyebut bahwa Haji Rasul “pernah juga belajar daripada Syeikh Yusuf Nabhani”. Berdasar penelitian yang dilakukannya, Syeikh Yusuf Nabhani adalah ulama di Beirut yang tidak pernah mengajar di Mekah. “Kemungkinan,” tulis Shaghir Abdullah, “Haji Rasul Amrullah pernah mendatangi dan belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhani di Beirut. Tidak terdapat keterangan lanjut baik dari Buya Hamka maupun literatur lain mengenai hal ini.”5)



Menilik masa-masa pembelajaran Muhammad Rasul di Mekah antara 1312 H/1894 M hingga musim haji 1323 H/Januari-Februari 1906 M dan kepulangan beliau ke Minangkabau tak lama setelah itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa Haji Rasul seangkatan dengan beberapa orang ulama Melayu yang agak berdekatan tahun kelahirannya dan sempat belajar kepada guru-guru yang sama di Mekah. Mereka ialah Syeikh Muhammad Sa’id dari Linggi, Kadi Haji Abu Bakar Hasan Muar, dari Johor, Syeikh Abdul Hamid Mahmud Talu, dari Minangkabau, Tengku Mahmud Zuhdi al-Fathani, dan banyak lagi.



Ulama-ulama tersebut di atas dikenal sebagai tokoh-tokoh golongan – menggunakan istilah populer masa itu- “Islam Tua” atau dalam istilah sekarang Islam Tradisional. Maka agak mengherankan ketika timbul pertentangan yang luar biasa antara Haji Rasul dengan ayahnya, Tuanku Kisa-i, sepulang beliau ke Minangkabau. Pertentangan itu disebabkan perbedaan tajam dalam jalan pemikiran dan pemahaman Islam di antara keduanya. Tuan Kisa-i yang berharap puteranya akan melanjutkan tradisi pemikiran “Islam Tua” ternyata mendapati di dalam diri Haji Rasul telah tumbuh pemikiran-pemikiran baru yang bertentangan dengan tradisi Islam di Minangkabau.



Padahal jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya hanya seorang saja guru Haji Rasul yang termasuk dalam golongan “Islam Muda” atau saat ini kita menyebutnya Islam moderen, yakni Syeikh Tahir Jalaluddin. Demikian juga kitab-kitab klasik yang didalami Muhammad Rasul seperti kitab Fath al-Mu’in, Tafsir Jalalain, dan lain-lain adalah rujukan utama golongan “Islam Tua”. Namun telah diketahui bahwa Syeikh Tahir Jalaluddin bersama Syeikh Muhammad Nur al-Fathani dan Syeikh Basiyuni Imran (Maharaja Imam Sambas) adalah murid-murid utama Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha, pelopor pembaharuan Islam di Mesir. Ajaran Tahir Jalaluddin rupanya sangat mempengaruhi pemahaman agama Muhammad Rasul. Haji Rasul sangat mengagumi kitab Tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridha. Kitab itu begitu mewarnai jalan pemikirannya, melebihi pendalaman ilmu dari kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan Syeikh Muhammad Abdul Wahhab. Dari sana, Haji Rasul pun mulai mendalami kitab-kitab karangan Syeikh Muhammad Abduh, tokoh yang kemudian menjadi patron ke-Islamannya.



Di dalam “Ayahku”, Hamka menguraikan dengan jujur pertentangan pemikiran Islam di antara dua tokoh yang tak lain adalah ayah dan kakeknya. Kejujuran Hamka ini mencerminkan kebesaran dirinya karena tak segan menyampaikan kepada khalayak “sesuatu yang tabu” menyangkut darah dagingnya sendiri. Namun demikian, kehalusan budi dan kebijakasanaan Hamka kuat tercermin dengan tidak menggambarkan pertentangan Tuan Kisa-i dengan Muhammad Rasul secara personal. Hamka hanya mengurai masalah perbedaan pemahaman agama yang memang harus disampaikan sebagai pelajaran untuk umat.



Tulis Hamka, “Kedatangan (Haji Rasul-pen) di kampung disambut dengan gembira oleh ayahnya dan orang kampung, baik kalangan lebai-lebai atau kalangan ninik-mamak. Tetapi kegembiraan itu akhirnya akan kecewa juga … Syeikh Ahmad Khatib (Minangkabauwi-pen) juga seorang sufi, tetapi beliau tidak menyetujui cara tarekat yang memakai kaifiat-kaifiat yang bidaah-bidaah itu. Padahal Syeikh Amrullah (Tuan Kisa-i) sendiri adalah Syeikh Thariqat Naqsyabandi.”6)



Meski dengan tegas Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi melarang praktik-praktik agama yang dicemari “kaifiat-kaifiat yang bid’ah-bid’ah” (dan hal itu pula yang kemudian diajarkan oleh Haji Rasul sepulang ke Minangkabau), tetapi banyak di antara murid-murid Syaikh Ahmad Khatib yang tetap konsisten mengamalkan thariqat. Di antara mereka yang terkenal ialah Syeikh Khathib Ali bin Abdul Muthalib al-Khalidi an-Naqsyabandi yang menyusun kitab “Miftah al-Din”. Juga ulama “Kaum Tua” lain bernama Syeikh Sulaiman ar-Rasuli. Kuatnya thariqat waktu itu menyebabkan ajaran Haji Rasul banyak mendapat tentangan dari ulama-ulama Minangkabau. Yang paling keras menentang adalah Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka.



Haji Rasul pernah meminta fatwa kepada guru besarnya, Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi mengenai kaifiat-kaifiat dalam thariqat Naqsyabandiyah. Pertanyaan Haji Rasul dijawab Syeikh Ahmad Khatib dengan menulis sebuah kitab yang mengupas kesalahan-kesalahan thariqat Naqsyabandiyah. Oleh Muhammad Sa’ad Mungka, kitab itu dibantah dengan menulis kitab tandingan yang membela thariqat. Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi sangat marah membaca kitab karangan Muhammad Sa’ad Mungka sehingga menulis lagi sebuah kitab yang “menguliti” dalil-dalil pembelaan thariqat Naqsyabandiyah yang dikemukakan Muhammad Sa’ad Mungka.



Haji Rasul gembira mendapatkan penegasan dari gurunya bahwa penentangannya terhadap praktik-praktik bid’ah “Kaum Tua” adalah benar. Kitab-kitab tulisan Syeikh Ahmad Khatib memberinya inspirasi untuk menulis kitab serupa guna mendukung usaha dakwahnya. Sejak saat itu, Haji Rasul rajin menulis. Setidaknya ada 26 judul kitab yang disusunnya. Oleh Hamka, karya-karya ayahnya dibagi dalam dua kategori periodisasi. Periode pertama, adalah kitab-kitab yang ditulis dalam rentang waktu 1908 hingga 1923 berjumlah 15 judul. Periode ke dua, yakni 11 judul kitab yang ditulis antara 1928 hingga 1943, yaitu setelah Haji Rasul mengikuti Kongres Islam di Mesir. Menurut Hamka, “Karangan-karangannya itulah yang menjadi ‘soal besar’ dan ‘membuat ribut’ dalam zamannya.”



Melalui kitab-kitabnya, Haji Rasul menyebaran ajaran-ajaran yang dianggap “ganjil” dan “moderen”. Ajaran-ajaran itu telah menggoncangkan masyarakat Minang pada 1920-an. Sebagai gerakan pembaharuan pada masa-masa yang sangat awal, penentangan datang dari banyak pihak yang tidak suka. Bahkan di Malaysia buku-buku karangan Haji Rasul dilarang beredar. Hamka menulis, “Sehingga bukubuku itu dilarang dibaca dalam kerajaan Melayu: Johor, Pahang, Perak, Kelantan, Terengganu, Perlis, Selangor, dan Negeri Sembilan. Sebab menyebarkan bibit Kaum Muda!”.



Peran Haji Rasul dalam gerakan pembaharuan Islam mencapai puncaknya ketika beliau menjadi salah seorang anggota redaksi Majalah Islam “Al Munir”. Majalah ini didirikan oleh rekan seperjuangan Haji Rasul yaitu Haji Abdullah Ahmad di Padang. Edisi perdananya terbit pada 1 April 1911. Haji Rasul mengasuh rubrik tanya jawab seputar agama Islam. Pemikiran-pemikiran beliau yang tertuang dalam rubrik itu begitu mengguncang paham Islam tradisional sehingga “Al Munir” mendapat sambutan luas dari pembaca. Di rubrik tanya jawab itu, Haji Rasul menggunakan nama pena H.A.K.A., akronim dari namanya setelah berhaji yaitu Haji Abdul Karim (bin) Amrullah.



Kedalaman wawasan agama H.A.K.A. memang telah diakui masyarakat luas, baik di kawasan Nusantara (Melanesia) bahkan sampai ke Timur Tengah. Pengukuhan atas intelektualitas Haji Rasul adalah dengan diterimanya penghargaan gelar Doktor Honoris Causa di bidang agama pada Konferensi Khilafah di Kairo, tahun 1926.7)



Selain itu beliau juga dikenal sangat berani melawan pemerintahan kolonial Belanda, juga kepada penjajah Jepang. Pada saat pendudukan Jepang, dia terangterangan menolak kewajiban seikerei (hormat bendera yang dilambangkan dengan dewa matahari), dengan ritual sejenis ruku’ dalam Islam sebagai bentuk penghormatan kepada Kaisar Jepang.



Luasnya wawasan dan keteguhan sikap seperti itulah yang kemudian diaktualisasikan ke dalam dakwah melaui “Al Munir”. Sebagai corong gerakan pembaharuan Islam, pengaruh “Al Munir” yang demikian hebat tidak hanya terasa di Minangkabau, tetapi seluruh Sumatera, bahkan hingga Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Malaysia. Di Yogyakarta, dengan meminta izin kepada Haji Abdul Karim, “Al Munir” diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh KH. Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan, tokoh gerakan pembaharuan Islam di Jawa, menggunakan “Al Munir” sebagai materi pelajaran bagi murid-muridnya dalam organisasi Muhammadiyah yang didirikannya pada 1912.



Sebaliknya, pertemuan Haji Abdul Karim Amrullah dengan KH. Ahmad Dahlan dalam kunjungannya ke Yogyakarta pada 1917, telah mengilhami berdirinya perguruan “Sumatera Thawalib”. Perguruan ini didirikan oleh muridmurid H.A.K.A. pada 1918 dan diikuti berdirinya perkumpulan-perkumpulan murid (thawalib) di berbagai daerah di Sumatera dengan nama masing-masing. Di “Sumatera Thawalib” yang mengadopsi model sekolah modern ala Muhammadiyah, H.A.K.A. mengajar sebagai guru kelas VII.



Majalah Islam pertama di Tanah Air itu diilhami Majalah Islamyang diterbitkan Muhammad Abduh dan Sayid Jamalludin Al-Afghani selama dalam masa pembuangan di Paris. Majalah berjudul “Al Urwatul Wutsqa” itu terbit perdana pada 13 Maret 1884, namun tidak berumur panjang. Kurang dari setahun dan hanya sempat terbit 18 edisi, “Al Urwatul Wutsqa” tidak lagi terbit. Sayid Jamalludin Al-Afghani wafat pada Maret 1896. Sebelumnya, Muhammad Abduh telah mendapat pengampunan dan kembali ke Mesir.


Rasyid Ridha, murid utama Muhammad Abduh menyusul gurunya ke Mesir kemudian menerbitkan kembali sebuah Majalah Islam berjudul “Al Manar” pada 1898 sebagai kelanjutan “Al Urwatul Wutsqa”. Majalah ini tutup pada 1937 setelah Rasyid Ridha wafat pada tahun yang sama.



Pengaruh kedua majalah itu mendunia. Seorang ulama Singapura bernama Muhammad bin Salim Alkalali bersama sahabatnya Muhammad Taher bin Muhammad Jalaluddin Al Azhari asal Minangkabau pun menerbitkan Majalah Islam “Al Imam” pada 1906. Salah seorang wakil (kontributor) adalah Haji Abdul Karim bin Tuanku Kisa-i. Majalah ini tutup pada 1909, disusul kemudian terbitnya “Al Munir” di Padang. Produktifitas Haji Abdul Karim Amrullah dalam menulis kitab dan kepiawaiannya berdakwah melalui dunia jurnalistik ini kelak menurun kepada Hamka, suatu kelebihan yang jarang dimiliki ulama-ulama seratus tahun setelah Hamka dilahirkan.