Syarat dan Rukun Sah Gadai

SUDUT HUKUM | Perjanjian akad gadai dipandang sah dan benar menurut syari’at Islam memenuhi syarat dan rukun yang telah diatur dalam hukum Islam, yakni sebagai berikut:

a. Syarat Gadai

Menurut Sayid Sabiq, syarat sahnya perjanjian atau akad gadai itu ada 4 yaitu:

  • Berakal
  • Baligh
  • Barang yang dijadikan borg (jaminan) ada pada saat akad
  • Bahwa barang tersebut dipegang oleh orang yang menerima barang gadaian atau wakilnya.
Dari keempat syarat tersebut di atas dapat kita ambil satu kesimpulan bahwa syarat sahnya gadai tersebut meliputi dua hal yaitu:

1) Syarat Gadai Subyektif (Rahn dan Murtahin)

Bahwa dalam perjanjian gadai ini, orang yang melaksaknakan perjanjian gadai adalah harus memenuhi syarat cukup melakukan tukar menukar benda. Apabila ia berakal sehat (tidak gila) dan mumayiz (mencapai umur) orang yang berada di bawah pengampuan dengan alasan amat dungu (ghafah), hukumnya seperti mumayiz, tetapi tindakan-tindakan hukum sebelum mencapai usia baligh (15 tahun) diperlukan izin pengampuannya. Apabila pengampu mengizinkan maka perjanjian gadai dapat dilakukan. Dan bila wali atau pengampu tidak mengizinkan, maka perjanjian gadai tersebut batal.
Syarat dan Rukun Sah Gadai

2) Syarat Barang Gadai (Marhun)

Bahwa pada dasarnya segala sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual, maka boleh untuk dijadikan jaminan (borg) utang. Dan juga barang yang dijadikan jaminan sudah wujud pada waktu perjanjian terjadi. Sehingga memungkinkan bagi barang itu untuk diserahkan seketika itu pada murtahin dan juga barang tersebut mempunyai nilai menurut syara’, maksudnya adalah : Menurut Ibn Rusyd bahwa mengenai syarat-syarat gadai yang disebutkan dalam syarat ada dua macam, yaitu: syarat sah dan syarat kerusakan. Kemudian mengenai syarat-syarat sah yang disepakati pada garis besarnya, tetapi diperselisihkan segi kesyaratannya yakni penguasaan barang, kedua yang diperlukannya masih diperselisihkan.

Mengenai penguasaan terhadap barang yang digadaikan, maka garis besarnya pada firman Allah “maka hendaklah ada barang yang digadaikan (oleh orang yang berpiutang)” tetapi masih beselisih pendapat, apakah penguasaan barang ini merupakan syarat kelengkapan ataukah syarat sahnya gadai, diperlukan pemisahan tersebut adalah bahwa selama belum terjadi penguasaan, maka akad gadai tidak mengikat bagi orang yang menggadaikan. Sebaliknya bagi fuqaha’ yang menganggap penguasaan sebagai syarat kelengkapan akad gadai itu sudah mengikat dan orang yang menggadaikan dipaksa untuk menyerahkan barang, kecuali bila penerima gadai tidak mau penuntutan demikian.

Dari ketentuan di atas dapatlah penulis memahami bahwa khilafiyah atau perbedaan pendapat tersebut di atas bukanlah khilafiyah yang prinsip. Hal ini disebabkan karena sudut pandang yang berbeda antara mereka. Mereka berpendapat penguasan itu termasuk syarat sahnya gadai, karena sebelum terjadi penguasaan. Maka akad gadai itu tidak mengikat bagi orang yang berakad. Jadi dalam hal ini sebelum terjadinya perjanjian gadai dan bagi mereka yang berpendapat penguasaan merupakan syarat kelengkapan gadai, karena akad itu telah berlangsung, sehingga penguasaan menjadi syarat mutlak dalam gadai.

b. Rukun Gadai

Di samping syarat-syarat dalam perjanjian gadai di atas, kita juga mengenal adanya rukun dalam gadai. Menurut hukum Islam menyebutkan bahwa rukun gadai itu ada 4 (empat), yaitu:

  • Shighat atau perkataan
  • Adanya dua orang yang berakal
  • Adanya barang yang diakadkan
  • Adanya utang.

a) Shighat atau perkataan

Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, pengertian akad menurut bahasa adalah:

Rabath (mengikat) adalah mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan tali yang lain hingga bersambung, lalu keduanya menjadi sepotong benda”

“Perkataan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan keduanya (kedua belah pihak)”

Rukun gadai di sini adalah ijab dan qabul, sedangkan ijab dan qabul adalah sighat aqdi atas perkataan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak, seperti kata “Saya gadaikan ini kepada saudara untuk utangku yang sekian kepada engkau”, yang menerima gadai menjawab “Saya terima runggukan ini”

Sighatul aqdi itu memerlukan tiga ketentuan (urusan) pokok, yaitu:

  1. Harus terang pengertiannya
  2. Harus bersesuaikan antara ijab dan qabul
  3. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan.

Di samping itu ketentuan di atas akad gadai juga bisa dilakukan dengan bentuk bahasa, kata isyarat tersebut diberikan terhadap apa yang dimaksudkan, sebagaimana yang dikatakan oleh TM. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pengantar Fiqh Muamalah adalah sebagai berikut:

“Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah (sama dengan ucapan penjelasan dengan lidah)”.

b) Adanya dua orang yang berakal

Disyaratkan keduanya adalah ahli tasaruf (berhak membelanjakan harta) dan tidak diperselisihkan lagi bahwa sifat orang-orang yang menggadaikan adalah ia tidak dilarang untuk bertindak. Maka dari itu tiap-tiap orang yang boleh menggadaikan boleh menerima gadai.

c) Adanya barang yang diakadkan

Pada dasarnya benda yang boleh untuk dijual juga boleh untuk digadaikan. Begitu juga sebaliknya sesuatu yang boleh digadaikan juga boleh dijual-belikan. Oleh karena itu barang yang dijadikan jaminan harus mempunyai nilai dan manfaat dalam keadaan biasa, tidak dalam keadaan terpaksa.

Menurut pendapat ulama Syafi’i dalam kitab Bidayah al-Mujtahid barang yang dijadikan jaminan itu memiliki tiga syarat, yaitu:

  1. Barang itu nyata.
  2. Menjadi tetap, karena sebelum tetap barang tersebut belum bisa digadaikan.
  3. Barang yang digadaikan bisa dijual apabila pelunasan utang gadai telah tiba masanya.
  4. Adanya utang


Ada utang disyaratkan keduanya telah tetap.