Biografi Lengkap Buya HAMKA (bagian 1)

SUDUT HUKUM | Hajii AbdulMalik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Hamka, lahir 16 Februari 1908 di Ranah Minangkabau, desa Kampung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian danau Maninjau, Luhak Agam, Sumatera Barat. Nama kecilnya adalah Abdul Malik, sedangkan Karim berasal dari nama ayahnya, Haji Abdul Karim dan Amrullah adalah nama dari kakeknya, Syeikh Muhammad Amrullah.


Biografi Lengkap Buya HAMKA (bagian 1)Hamka seorang ulama multi dimensi, hal itu tercermin dari gelar-gelar kehormatan yang disandangnya. Dia bergelar “Datuk Indomo” yang dalam tradisi Minangkabau berarti pejabat pemelihara adat istiadat. Dalam pepatah Minang, ketentuan adat yang harus tetap bertahan dikatakan dengan “sebaris tidak boleh hilang, setitik tidak boleh lupa”. Gelar ini merupakan gelar pusaka turun temurun pada adat Minangkabau yang didapatnya dari kakek dari garis keturunan ibunya; Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, Penghulu suku Tanjung.
Sebagai ulama Minang, Hamka digelari “Tuanku Syaikh”, berarti ulama besar yang memiliki kewenangan keanggotaan di dalam rapat adat dengan jabatan Imam Khatib menurut adat Budi Caniago.1) Sebagai pejuang, Hamka memperoleh gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI. Sedangkan sebagai intelektual Islam, Hamka memperoleh penghargaan gelar “Ustadzyyah Fakhryyah” (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir, pada Maret 1959. Pada 1974 gelar serupa diperolehnya dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Pada upacara wisuda di gedung parlemen Malaysia, Tun Abdul Razak, Rektor Universitas Kebangsaan yang waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri menyebut ulama karismatik itu dengan “Promovendus Professor Doctor Hamka”. Ayah Hamka bernama Muhammad Rasul, pada masa mudanya lebih dikenal dengan sebutan Haji Rasul. Setelah menunaikan ibadah haji beliau mengganti namanya dengan Abdul Karim lalu melekat pada namanya gelar Tuanku.
Lengkaplah nama ayah Hamka itu menjadi Tuanku Syeikh Abdul Karim bin Amrullah. Beliau adalah pelopor gerakan pembaharuan Islam (tajdid) di Minangkabau. Terlahir pada Ahad, 17 Safar 1296 H/10 Februari 1879 M di Kepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Minangkabau, Luhak Agam, Sumatera Barat, Haji Rasul adalah putera seorang ulama berpengaruh di Nagari Sungai Batang yang kemudian lebih dikenal sebagai wilayah Nagari Danau (Maninjau) bernama Syeikh Muahammad Amrullah.
Menarik untuk disimak bahwa Syeikh Muhammad Amrullah yang bergelar Tuanku Kisa-i adalah pengikut kuat mahdzab Safi’i yang memimpin Thariqat Naqsyabandiyah di Minangkabau. Kaifiyat (tata cara peribadatan) yang diberlakukan dalam aliran-aliran thariqat, misalnya ajaran “Rabithah” yang mewajibkan pengikutnya “menghadirkan” sosok guru dalam ingatannya sebelum memulai menjalankan suluk, mendapat tentangan keras Haji Rasul yang meyakininya sebagai bid’ah. Hebatnya, walau berseberangan dalam pemahaman agama, hubungan ayah anak tetap berlangsung dengan mesra lantaran Haji Rasul adalah putera kesayangan Tuanku Kisa-i dan demikian hormat serta cintanya Haji Rasul kepada ayahanda Syaikh Amrullah.
Pertentangan antara “Kaum Tua” dengan “Kaum Muda” seperti itu sebenarnya telah berlangsung hampir satu abad lamanya, ditandai dengan dimulainya gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau yang dipelopori Haji Miskin dan tujuh orang ulama Minang lainnya yang termahsyur dengan julukan “Harimau Nan Salapan”. Gerakan pembaharuan Islam ini dipengaruhi kemenangan gerakan Salafiyah pada abad ke 18 di Timur Tengah yang didirikan oleh Syeikh Muhammad bin Abdil Wahab yang bertujuan memurnikan kembali agama Islam dari bid’ah, yakni amalan-amalan ibadah yang tidak pernah diajarkan Rasulullah S.A.W.
Haji Miskin yang berasal dari Pandai Sikat (Luhak Agam), beserta dua orang ulama seangkatannya yakni Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) pada masa awal gerakan pembaharuan Islam itu sedang berguru di Mekah. Pada 1802, mereka kembali ke Minang dan mempropagandakan gerakan pembaharuan Islam yang mereka dapati selama belajar di Mekah. Bersama lima orang ulama yang kemudian mendukungnya sehingga mereka dijuluki Harimau nan Salapan, Haji Miskin beserta pengikut-pengikutnya itulah yang kemudian dikenal sebagai “Kaum Paderi” yang menempati posisi penting dalam sejarah perjuangan di masa penjajahan Belanda. Di antara delapan ulama pemimpin Paderi, yang paling menonjol karena sikapnya yang tegas dalam berdakwah adalah Tuanku Nan Renceh. Beliau inilah yang mula-mula mengobarkan semangat perlawanan kepada Belanda.
Pada 1901, yakni seratus tahun setelah kembalinya Haji Miskin dari Mekah yang melahirkan gerakan pembaharuan Islam di Minang, Haji Rasul pun kembali dari Mekah ke kampung halaman membawa semangat serupa hingga mencapai puncaknya dengan didirkannya perguruan Sumatera Thawalib. Maka sebelum lebih lanjut menuturkan kehidupan Hamka, patutlah diuraikan secara singkat sosok Syeikh Muhammad Amrullah dan puteranya Haji Abdul Karim Amrullah. Diuraikan juga secara singkat tradisi keulamaan di dalam keluarga Amrullah yang menurut silsilahnya sampai kepada Tuanku Pariaman alias Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampat Koto. Tradisi keulamaan keluarga Amrullah dan pergeseran pemahaman Islam tradisional masyarakat Minangkabau menuju pemahaman Islam moderen (yang mencapai puncaknya di masa dakwah Haji Rasul) inilah yang kental mewarnai perjalanan hidup Hamka kemudian.
DARAH PEJUANG PANGLIMA PERANG TUANKU IMAM BONJOL
Tuanku Pariaman adalah seorang panglima perang Tuanku Imam Bonjol di masa perang melawan penjajah Belanda yang dikenal sebagai “Perang Paderi” (1821-1837). Dia seorang ulama dari Pauh Pariaman bernama Abdullah Arif yang datang ke Minangkabau dan bergiat dalam dakwah di “Ampat Koto Agam” yakni Koto Tuo, Koto Gadang, Bangka, dan Guguk. Tuanku Pariaman semula tidak tertarik melibatkan diri dalam konflik melawan Belanda yang telah dikobarkan Kaum Paderi, di bawah komando Tuanku Nan Renceh. Beliau menghindari konflik fisik yang akan merugikan rakyat jelata dan memilih bergiat dalam dakwah. Apalagi, gerakan pembaharuan Islam yang dibawa Harimau nan Salapan semula tidak mendapat simpati kalangan ulama tua. Tak heran kalau gelombang perang yang mereka pelopori melawan Belanda pun tidak mendapat sambutan.
Tetapi keadaan berubah setelah Tuanku Suruaso menyerahkan Alam Minangkabau ke tangan Belanda pada 10 Februari 1821 dan menimbulkan perlawanan di mana-mana. Minangkabau berubah menjadi lautan api, gerakangerakan dakwah terganggu karenanya sehingga para ulama terpanggil terjun ke garis depan peperangan. Perbedaan paham dalam dakwah lebur dalam semangat anti penjajahan.
Konflik senjata pertama antara Belanda dengan Kaum Paderi (ulama) terjadi setelah Nagari Sulit Air diserbu tentara Belanda pada April 1821. Setelah itu peperangan berkecamuk di mana-mana dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol yang dipilih para ulama sebagai pemimpin tertinggi Kaum Paderi. Pusat pertahanan Kaum Paderi berada di Bonjol, daerah strategis yang sulit dijangkau dan dibentengi tiga daerah yang sangat kuat yakni Lawang, Matur, dan Andalas.
Mustahil menjangkau Bonjol tanpa lebih dahulu menaklukkan tiga daerah yang pertahanannya dipercayakan ke pundak Tuanku Pariaman. Karena kalah dalam persenjataan dan mulai timbul bibit-bibit pembelotan membuat beberapa kantung perlawanan Paderi berhasil dikuasai Belanda. Matur pun kemudian ditaklukkan tentara Belanda yang setelah melakukan pengepungan ketat pada Agustus 1832, sepuluh tahun lebih setelah peperangan berkecamuk. Tuanku Pariaman menarik pasukan ke Andalas dan bertahan dengan gigih di sana. Belanda nyaris gagal menaklukkan Andalas karena medan yang sangat sulit. Dengan licik, Belanda mengerahkan pasukan dari Jawa yang merupakan sisa laskar Sentot Alibasya, yakni salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro saat berkecamuk perang Diponegoro di Jawa yang berakhir pada 1820.
Laskar Sentot yang telah dikuasai Belanda menyerang Andalas di bawah pimpinan Tumenggung Mondrosudiro. Meski pertahanan telah pecah dan benteng Andalas telah jatuh, empat ribu pasukan Paderi di bawah komando Tuanku Pariaman bertahan mati-matian dengan tombak dan parang. Sayangnya, kekuatan sudah tidak berimbang. Tuanku Pariaman dan beberapa pengiringnya ditangkap dan sisa laskar Paderi menarik diri ke Bonjol.
Setelah Andalas jatuh, Belanda merangsek ke Lawang, lalu menaklukkan Cubadak Lilin, Merambung, dan Sungai Puar. Di Sungai Puar Belanda berhasil menangkap panglima perang Kaum Paderi lainnya, yakni Tuanku Nan Tinggi. Tertangkapnya Tuanku Nan Tinggi menyebabkan seluruh Nagari Delapan Koto menyerah dan mengakui kekuasaan Belanda. Termasuk di antara yang menyerahkan diri adalah Tuanku Mansiangan, ulama tua paling berpengaruh yang kemudian dipenggal lehernya oleh Belanda karena dianggap sebagai biang pembakar semangat perlawanan para ulama.
Para panglima Paderi di Bonjol terpecah menjadi dua kubu. Yang pertama menghendaki tetap melanjutkan perlawanan sampai tetes darah terakhir, sementara yang lain menyatakan lebih baik menyerah dan melanjutkan perjuangan dengan cara lain. Tuanku Imam Bonjol sedih menghadapi perpecahan Kaum Paderi. Beliau pun memilih mengasingkan diri ke Lubuk Sikaping. Karena banyak pimpinan Paderi yang datang menyerahkan diri, Belanda dengan mudah menaklukkan Bonjol. Dari sana, Belanda mengirim pasukan menjemput Tuanku Imam di Lubuk Sikaping. Kolonel Elout yang menjadi pemimpin pasukan Belanda menawari Tuanku Imam Bonjol untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan atas Nagari Bonjol kepada angkatan muda mengingat usia beliau telah tua (60 tahun). Ini adalah akal licik Belanda untuk menguasai sepenuhnya negeri jajahan dengan mengangkat pemimpin yang telah tunduk kepada mereka.
Merasa tak mungkin lagi melanjutkan perlawanan, Tuanku Imam Bonjol menyetujui usul itu. Maka diangkatlah Tuanku Muda menjadi Regenf (setingkat Bupati) Alahan Panjang (Bonjol). Di luar sepengetahuan Belanda, peralihan kekuasaan itu hanyalah taktik Tuanku Imam Bonjol. Begitu Belanda melanjutkan penyerbuan ke Nagari Rao dan wilayah lainnya, Bonjol pun kembali bangkit. Tuanku Muda yang menjabat sebagai Regen mati dibunuh Tuanku Nan Garang. Tuanku Imam kembali tampil memimpin perjuangan Kaum Paderi hingga Bonjol kembali bisa ditaklukkan pada 1837, lima tahun setelah penaklukkan pertama.
Setelah pertahanan pecah, Tuanku Imam Bonjol diminta menghadap Residen di Bukit Tinggi. Ini adalah tipuan licik seperti yang digunakan Belanda saat mengundang Pangeran Diponegoro berunding di Magelang tetapi kemudian melucuti senjata dan menangkap Diponegoro. Di Bukit Tinggi, Tuanku Imam Bonjol tidak mendapai Residen, melainkan satu kompi tentara Belanda yang telah bersiaga dan langsung menangkapnya. Tuanku Imam dibawa ke Padang, lalu dibawa ke Jakarta. Dari Jakarta beliau diasingkan ke Cianjur, lalu ke Ambon.

Terakhir Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke Manado. Di sana ulama pemimpin Kaum Paderi yang harum namanya itu meninggal. Sedangkan Tuanku Pariaman yang lebih dahulu tertangkap kemudian dibebaskan setelah terjadi perjanjian-perjanjian pembebasan tawanan perang. Pemimpin-pemimpin Paderi banyak yang mendapat jabatan baru dari Belanda sebagai Regen atau Laras, jabatan adat buatan Belanda setingkat Camat di masa sekarang. Tawaran serupa diberikan kepada Tuanku Pariaman tetapi dijawab bahwa beliau akan kembali saja ke kampung-kampung yang pernah dikuasainya untuk kembali berdakwah sebagai ulama.

Bersambung…….